Oleh: Lukas Luwarso
Rakyat Indonesia bakal menderita nausea berkepanjangan, jika Fufufafa terus menjadi orang nomor dua. Nausea adalah istilah medis yang merujuk pada perasaan tidak nyaman, pening kepala dan mual perut, sering disertai keinginan untuk muntah.
Nausea bukan penyakit, tetapi gangguan psikosomatis akibat sejumlah faktor penyebab. Dalam konteks politik kontemporer, Nausea Fufufafa adalah kemuakan akut akibat perilaku seseorang yang kini kebetulan menjadi wakil presiden. Publik mual karena kembali melihat tontonan pertunjukkan politik banyak tingkah seorang anak muda yang mengingatkan, deja vu, perilaku politik bapaknya.
Fufufafa, sebagai avatar Wapres Gibran di dunia digital, akan terus menjadi tontonan publik, karena perilaku antik-non-simpatik. Ia telah menjadi virus informasi, meme, yang viral menyebarkan pandemi kebanalan, kekonyolan, dan kejengkelen publik, karena selalu memancing kontroversi. Yang terbaru adalah soal membagi bansos dengan label bantuan wakil presiden. Aksi politik tidak etis, upaya mempromosikan diri, berkampanye, jauh sebelum pemilu.
Sebelumnya juga viral, Fufufafa menyebarkan video pencitraan kunjungan kerjanya ke Semarang. Dengan gaya berpakaian kasual, ala backpacker, memakai penerbangan komersial. Ingin mengesankan sebagai “warga biasa”. Ia ingin dikesankan merakyat, seperti akal-akalan gaya pencitraan bapaknya. Ia perlu melalui metal-detector dan menjinjing ranselnya sendiri, tapi dikelilingi ajudan dan pengawalnya. Ingin terkesan merakyat dalam sorotan video untuk diviralkan di media sosial. Sebuah akting buruk aktor epigon yang tidak orisinil.
Sejumlah isu viral terbaru terkait Fufufafa, seperti “Lapor Mas Wapres”, “Bansos Wapres” dan ‘Blisukan Wapres’ , “lempar kaos bagi-bagi amplop” (termasuk video check-in penerbangan sok merakyat), sekadar tiruan cetak biru akal-akalan banal Moelyono, bapaknya. Like father like son.
Aksi-aksi politik banal Fufufafa itu, selain cuma replikasi akting murahan, juga menunjukkan ketidakpahamannya sebagai pejabat negara. Ia tidak bisa membedakan posisi antara yang personal dan publik, hal formal dan informal. Ia ingin menunjukkan politik adalah urusan personal, suka-suka saya, sekadar unjuk kekuasaan. Sifat henetik yang pasti diturunkan dari bapaknya.
Kira-kira Indonesia dapat ganjaran apa, dari gaya kepemimpinan cacat-genetik, bapak anak Moelyono-Fufufafa, 10 tahun terakhir dan lima tahun ke depan? Pastilah sebuah distopia. Masa depan Indonesia yang buruk, rusak, dan suram. Distopia adalah kebalikan dari utopia–konsep masa depan gemilang, makmur, sejahtera, yang lazim menjadi harapan manusia dalam bernegara.
Utopia Indonesia, seperti yang tertulis dalam konstitusi, untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera, di era Moelyono-Fufufafa di-rebranding menjadi “mencapai Indonesia Emas” pada 2045. Harapan itu diinternalisasikan dengan mitos “bonus demografi’ dan politik “keberlanjutan”.
Namun harapan itu kini semakin terasa jauh panggang dari api. Alih-alih menuju era emas, kini Indonesia semakin menunjukkan sedang di era cemas. Dalam semua aspek, peradaban Indonesia mengalami kemunduran, kebudayaan menunjukkan kebangkrutan. Budaya politik, ekonomi, hukum, dan sosial, berada di titik nadir.
Hukum kini hanya dipakai sebagai alat sandera politik (sprindik). Norma etika sosial dan politik lebih mengedepankan sanjungan dan dukungan pada kekuasaan. Ekonomi hanya menyejahterakan segelintir kroni dan mereka yang dekat kekuasaan. Itu sebabnya organisasi pemerintahan dibuat gemuk, karena ingin memanen dukungan dan pujian dari para kroni.
Ekonomi Indonesia kini mirip seperti ungkapan politikus Nigeria, Peter Obi, yang menyatakan: “Negara mustahil maju, jika politik lebih menguntungkan ketimbang rindustri. Di negara yang para politikusnya lebih makmur ketimbang pengusaha, pasti mereka mem-budi-pedayakan kemiskinan dan keadilan.”
Rakyat Indonesia 10 tahun terakhir menyaksikan naiknya dinasti Moelyono dalam kancah politik dan bisnis. Melesat menjadi elit baru politik secara cepat. Dengan “menjual” kemiskinan” masa lalunya, merekayasa politik, memanipulasi hukum, dan “”merevolusi mental” masyarakat agar abai etika dan nilai sosial.
Moelyono sukses mengkloning dirinya dalam diri Fufufafa, untuk melanjutkan kegilaan ambisi kekuasaannya. Menyebar-viralkan aksi-aksi politik banal nir-etika sebagai “meme”, tayangan foto dan video, melalui media sosial, sebagai norma baru budaya politik pragmatis-oportunis menghalalkan segala cara demi keberlanjutan kekuasaan.
Warga Indonesia, yang masih memiliki nalar sehat, harus mengalami Nausea Fufufafa. Dan mengantisipasi datangnya distopia Indonesia. Jika membiarkan Moelyono-Fufufafa, dengan minion aparat kekuasaannya, bersimaharajalela, melakukan politik nggasruh mempedaya Indonesia. Atau, jika ingin lepas dari nausea dan distopia, rakyat Indonesia harus menghentikan mereka.
photo : suara.com