Oleh: Indro Suprobo
Nuklir tak selalu berarti senjata, namun trauma kolektif akibat holocaust telah melahirkan pengalaman kehilangan yg radikal dan rentan, yg membuat Israel cenderung melihat nuklir sebagai sesuatu yang mengakibatkan keretakan fantasi kolektif tentang keamanan, keberdaulatan dan pengaruh dirinya. Serangan terhadap Iran adalah cermin dari retaknya fantasi kolektif itu. Ini merupakan tanda dari kerapuhan. Maka prinsip “never again” yang lahir dalam sejarah Israel, yang pada dasarnya bersifat mulia, menjadi eksklusif dan inkonsisten. Mengapa demikian? Karena prinsip “never again” atau jangan terjadi lagi holocaust atau genosida itu, tidak berlaku sebagai prinsip etik universal bagi semua orang, melainkan hanya berlaku bagi dirinya sendiri namun pada saat yang sama ia bisa mempraktikkannya, yakni mempraktikkan apa yang sebenarnya tak boleh terjadi lagi itu.
Pantas dicermati juga perbedaan antara “program pengembangan nuklir” dan “program persenjataan nuklir”. Iran merupakan salah satu negara yang meratifikasi konvensi tentang non-proliferasi nuklir. Artinya ia menghormati dan tunduk kepada kesepakatan internasional tentang pengelolaan nuklir. Sementara Israel adalah negara yang menolak konvensi itu meskipun memiliki program nuklir. Tetapi, sekali lagi, trauma kolektif yang melahirkan pengalaman kehilangan radikal itu telah membuat nuklir Iran sebagai sesuatu yang sangat sensitif yang mengoyak dan menimbulkan retaknya fantasi kolektif Israel sebagai negara yang memiliki kedaulatan, jaminan keamanan dan pengaruh bagi dunia. Program nuklir Iran telah melahirkan fantasi tentang tercurinya jaminan rasa aman dan pengaruhnya (the theft of enjoyment), bahkan menganggap bahwa Iran memiliki apa yang sebenarnya menjadi hasrat bagi Israel, dan memilikinya secara berlebihan (surplus enjoyment). Fantasi ini melahirkan pilihan tindakan operasi penyerangan, yang dengan demikian justru menghancurkan prinsip etiknya sendiri, yakni “never again”.
Ini akan menambah lahirnya korban kemanusiaan yg sebenarnya dapat dihindari. Iran yang memandang Israel sebagai bagian dari kolonialisme dan imperialisme barat, pasti akan membalasnya sebagai bentuk mempertahankan harga diri. Iran memang sangat anti Zionis namun tidak anti Yahudi, oleh karenanya Iran menjamin hak hidup komunitas Yahudi di Iran sebagai warga negara lengkap dengan seluruh ibadah keagamaannya yang khas.
Yang pantas dilakukan adalah menghentikan kedua serangan, terutama serangan Israel yang dilandasi oleh motivasi irasional sebagaimana ia melakukannya terus-menerus untuk Palestina.
Penderitaan Palestina belum usai, mengapa Israel masih mau menambah lagi? “Never again” terbukti tak punya arti karena ia terus-menerus melanggarnya sendiri. Inkonsistensi seringkali disebabkan oleh adanya trauma atau gangguan mental yang bersemayam di dalam diri sendiri.
Advertisement