Oleh : Salamuddin Daeng

Meningkatkan pajak itu bukan merupakan tujuan dari semua negara. Banyak negara tidak terlalu mengedepankan pajak untuk membangun ekonominya. China misalnya malah penerimaan pajaknya hanya 7,7 persen GDP. China malah memperbesar subsidi atau menolak mencabut subsidi dengan alasan negaranya bukan negara maju. Para akademisinya dikerahkan agar pemerintah tetap memiliki legitimasi kuat untuk tetap menjalankan subsidi termasuk subsidi energi dan pangan. Jadi Indonesia pun jangan terlalu memfokuskan diri untuk memperbesar pajak. Namun sebaliknya menggunakan instrumen pajak untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi bukan melemahkannya.

Karena berdasarkan pengalaman sistem pajak makin lama sudah pasti akan membuat pemerintah makin kering kerontang, tidak akan meningkat kapasitasnya. Namun sebaliknya sistem pajak akan membuat pengusaha makin tambun dan gemuk. Nah, ada yang lebih bahaya lagi sistem pajak akan membuat aparat negara yang ditugasin memungut pajak akan bisa punya rekening gelap yang sangat besar jumlahnya. Ujungnya negara akan bergantung pada utang. Karena pajak membuat ekonomi negara melemah, hati dan perasaan masyarakat melemah, merasa dikuras oleh pemerintah.

Dalam sistem pajak Indonesia banyak sekali akal-akalannya, agar setoran ke negara kecil sekali. Ini pekerjaan gampang bagi pengusaha dan penguasa atau petugas pajak. Intinya akal-akalan ini adalah dengan memperbesar biaya-biaya sehingga laba sebelum pajaknya makin kecil. Maka setelah itu bayar pajaknya bisa sangat kecil. Ditambah berbagai kecurangan utama seperti kecurangan jumlah produksi, kecurangan jumlah ekspor, dan lain sebagainya.

Jangankan pengusaha swasta BUMN saja bisa mengakali agar setoran pajak kepada negara kecil. Caranya memperbesar biaya yang basisnya kira-kira. Coba periksa laporan Keuangan Pertamina misalnya. Biaya penyusutan Pertamina bisa mencapai 15 miliar dolar setahun, sementara aset pertamina hanya 91 miliar dollar. Jadi usia ekonomis semua aset pertamina hanya 6-7 tahun. Ini tidak mungkin. Bisa jadi ini untuk meningkatkan tagihan dana kompensasi dan dana subsidi kepada pemerintah. Jadi biaya penyusutan yang besar akan mengurangi pajak kepada negara. BUMN yang lain juga demikian. Jadi periksa yang teliti. Setelah itu simpulkan secara benar.

Apa bukti sejarah bahwa sistem pajak tidak akan membantu negara untuk bisa dapat uang banyak. Lihat saja tax rasio Indonesia terhadap GDP makin lama makin kecil. Tahun 1981 tax revenue Indonesia terhadap GDP 21 persen. Kalau sekarang GPD Indonesia sekarang 21 ribu triliun maka jika 21 persen adalah penerimaan negara, maka penerimaan negara sekarang bisa mencapai 4426 triliun. Sekarang pendapatan negara terhadap GDP hanya Rp.2443 triliun. Jadi negara tidak perlu utang lagi jika merancang APBN 2025.

Apa arti data ini bahwa sistem penerimaan negara yang direformasi sejak tahun 1998 justru menyebabkan penerimaan negara terhadap GDP makin menurun. Apa inti dari reformasi sistem penerimaan negara, yakni mengubah atau menyerahkan kekayaan negara kepada swasta, menyerahkan sumber daya alam untuk dikelola swasta, lalu negara memungut pajaknya atas hasil ekploitasi sumber daya alam tersebut.

Pengalaman sejarah bahwa Indonesia pernah mendapatkan banyak uang dari minyak. Minyak sendiri menggunakan sistem bagi hasil. Ini adalah sejarah yang penting untuk dijadikan pelajaran. Namun belakangan produksi migas menurun? Mengapa karena banyak sekali pajaknya dalam usaha minyak ini. Bahkan sekarang pajaknya melebar ke sana kemari, dari ekploitasi, ekplorasi sampai penjualan minyak. Semua diintip dengan pajak. Akhirnya penerimaan minyak kalah jauh dengan penerimaan cukai tembakau.

Selepas minyak sebetulnya Indonesia tidak kekurangan sumber yang lain, negara ini berada pada urutan terbatas sebagai penghasil komoditas. Nomor 1 eksportir batubara terbesar di dunia, eksportir sawit nomor satu terbesar di dunia, penghasil Nikel terbesar di dunia, perusahan emas dan tembaga terbesar di dunia ada di Indonesia. Apalagi sekarang era transisi energi Indonesia adalah pemilik panas bumi terbesar di dunia, gas alam, dan cadangan hutan serta bio massa terbesar di dunia. Apalagi dan banyak lagi. Semua ini tidak akan berhasil kalau negara mengandalkan atau bertumpu pada usaha menggenjot pajak. Apalagi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang langsung dikeruk dari rakyat. Itu akan sangat kontra produktif.

Hal yang lebih fundamental lagi terkait pajak adalah bahwa sistem pajak itu memiliki cita rasa kolonial. Pertama kali pajak sedesa-desa diperkenalkan oleh Raffles Gubernur jenderal Inggris di Jawa 1811). Hasilnya ini menimbulkan pemberontakan Diponegoro yang merupakan akumulasi perlawanan terhadap pajak kolonial (1825-1830). Coba nonton film perlawanan Datuk Maringgih, perang di Sumatera itu adalah perlawanan terhadap sistem pajak Belanda waktu itu. Jadi pajak ini memiliki cita rasa kolonial. Sejarah ini tidak terlupakan. Ada di lubuk hati bangsa Indonesia.

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar