Oleh : Dr. Sobirin Malian
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan)
Akrobatik partai politik menjelang Pilpres dan Pilkada pada tahun 2024 tak pelak membuat sebagian masyarakat gerah, kecewa bahkan marah – khususnya setelah Anies Baswedan sengaja “dicampakkan” oleh parpol terutama oleh PKS yang masih dianggap “partai tegak lurus.”
Sejatinya kalau dirunut kebelakang, akrobatik partai-partai itu telah dilakukan sejak tahun 2016 tatkala pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla terpilih. Kala itu Partai Golkar, Partai Amanat Nasioal dan Partai Persatuan Pembangunan bergabung menjadi koalisi besar.
Kekuatan pendukung pemerintah di parlemen mencapai 386 kursi atau 68 prosen dari total 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Karena begitu besarnya koalisi saat itu, para politisi itu sendiri berseloroh, “Sekarang kalau pemerintah ada maunya, sudah tidak sulit. DPR ini sudah menjadi miliknya pemerintah” (Republika, 20/12/2016).
Melihat kondisi itu apalagi jika dikaitkan dengan Pilkada November mendatang, benarlah apa yang ditulis Charles E Merriam dalam Political Power: Its Composition and Incidence , bahwa esensi politik itu adalah kekuasaan. Mengejar kekuasaan bukan hal yang tabu dalam politik. Kekuasaan itu idealnya diarahkan untuk mewujudkan kebijakan publik berdasar kebutuhan dan aspirasi rakyat. Pertanyaannya, apakah partai-partai yang ada sekarang masih menampung aspirasi rakyat itu ?!
Pragmatisme
Melihat sepanjang perjalanan masa rezim Jokowi 10 tahun ini, menunjukkan alih-alih menjadi penyalur aspirasi rakyat, parpol gagal mereformasi diri dan tenggelamnya dalam pragmatisme. Puncak pragmatisme itu terjadi ketika Anies Baswedan “dicampakkan” oleh PKS dan justru PKS bergabung dengan KIH yang selama ini menjadi rivalnya. Dari sini jelas politik itu sangat absurd istilah Albert Camus dalam The Mith of Sisifus (1942). Politik telah terdegradasi_sangat relevan dengan pandangan ilmuwan Amerika, Harold D Lasswell; politik memang hanya urusan siapa yang mendapat apa, dan dengan cara bagaimana.
Keabsurdan dan terdegradasinya politik dan ketidak berdayaan partai politik bukanlah muncul begitu saja, kondisi itu hadir karena by design – sebagian ahli politik menyebutnya karena adanya algoritma kekuasaan. Contoh yang paling jelas ketika Partai Golkar tiba-tiba melakukan Musyawarah Nasional dan secara aklamasi memilih Bahlil sebagai Ketua Umum dan banyak peristiwa politik lain yang mengiringinya.
Dari semua fenomena politik itu, ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan. Pertama, institusi politik kita belum sepenuhnya lepas dari “model’’ Orde Baru_kalau tidak bisa dikatakan bahkan lebih parah. Suap, berbagai mafia, KKN masih kental terjadi di level birokrasi. Institusi yang diharapkan mampu menerobos agar birokrasi menjadi bersih—justru menjadi aktor yang korup itu. Presiden dan lingkarannya seolah menjadi gurita yang merambah kemana-mana demi kekuasaannya. Ada putusan MK yang kontroversial, ada Putusan MA yang bikin gerah, ada mafia tambang yang sulit dilacak, ada gratifikasi tapi tak mampu tersentuh oleh hukum (untouchble). Berbagai kejadian itu menjadi salah satu akar iblisnya, the root of evils. Kedua, lemahnya politik nilai. Uang dan kekuasaan masih menjadi determinan utama dalam proses politik – kasus pencalonan Gubernur di DKI sangat nampak dalam hal ini. Kita belum terbiasa dengan persaingan politik sehat berupa nilai dan gagasan. Fenomena ini sangat terasa dalam persiapan menjelang Pilkada November 2024 – setidaknya nampak dari hasil beberapa lembaga survei.
Ketiga, kultur nepotisme terutama kultur “kekeluargaan” melemahkan kewibawaan hukum dan kekuasaan koersif negara. Jika anak pejabat menerima gratifikasi berupa “naik pesawat jet pribadi” atau “mendapat izin tambang” melalui jalur siluman kendati telah viral – sangat sulit bagi KPK atau aparat hukum bertindak. Bukan karena institusi hukum lemah terhadap kasus-kasus itu tetapi sangat terasa ada komunikasi “kekeluargaan” by design antara aparat berwenang termasuk penegak hukum dengan penguasa (koersif) tadi.
Model permisif dari penguasa ini yang membuat mafia tambang, mafia hukum makin berkembang dan yang jelas tidak membuat pengusaha hitam menjadi takut. Sejatinya praktik-praktik ilegal macam inilah yang mengekalkan kesemrawutan. Hal yang tidak kalah penting, dibalik semua fenomena mafia –mafia itu ada segelintir “orang kuat” dalam istilah Sidel (1999) sebagai ”para bos” yang membaking kerjanya.
Pentingnya Partai Baru
Kembali pada isu partai politik seperti diawal tulisan ini. Telah beredar luas wacana kuat agar Anies Baswedan dan kawan-kawan segera membentuk partai politik baru sebagai solusi menghadapi kejumudan politik saat ini. Parpol baru menjadi penting bukan saja karena partai yang ada sangat pragmatis, tidak bisa diharapka – lebih dari itu masyarakat kini butuh figur yang benar-benar menjadi representasi mereka dalam memimpin negara, seperti menjadi pemersatu, tulus untuk kepentingan rakyat dan bermoral kuat.
Bila ditelaah ada beberapa model kepemimpinan politik menurut Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962).Pertama, tipe administrator (pengelola) yakni sosok yang memiliki kemampuan teknis dalam mengatur organisasi.
Tipe itu umumnya diwakili figur terdidik yang menguasai suatu bidang tertentu serta ahli dalam pengelolaan organisatoris sekaligus mampu meraih simpati dan atensi publik.
Selama ini di Indonesia tipe pengelola tidak memiliki elektabilitas yang cukup mumpuni untuk menarik apalagi mempengaruhi atensi publik. Ini terbukti seringkali ketua partai justru tidak menjadi pilihan untuk dicalonkan, misalnya sebagai kandidat Presiden, Gubernur atau Menteri. Kedua, tipe pemersatu (solidarity maker) yakni sosok figur yang mampu mendekati, mempengaruhi hingga mendapatkan perhatian, simpati dan atensi publik. Para pemimpin dengan tipe pemersatu biasanya cukup mumpuni dalam menarik dukungan dan atensi hingga kemudian berhasil mempengaruhi publik. Model pemimpin parpol seperti ini di masa lalu adalah Soekarno, tapi dia lemah dalam proses pengelolaan administrasi organisasi.
Untuk pembentukan partai politik baru nanti, jika merujuk pada apa yang diurai Herbert Feith semua ada dalam diri Anies Baswedan (ARB). Dia terdidik, bersih (tidak tersandera oleh masa lalu), cinta lingkungan, berwawasan luas, tidak emosional, sangat commited pada rakyat miskin, administrasinya pun baik – terbukti selama memimpin DKI tidak ada masalah mal-administrasi dan berakhlak. Bahkan ada yang menyatakan ARB adalah sosok negarawan yang sangat dibutuhkan Indonesia saat ini, wallahu’alam bissawab.
Selamat Datang Parpol Baru
Andaikan saja, benar-benar terwujud partai baru itu dibawah kepemimpinan Anies Baswedan (ARB), maka diyakini dia menjadi solusi dari kejumudan (pragmatisme) politik yang tengah melanda jagat politik Indonesia.
Diyakini pula – partai baru akan lebih berkualitas karena ARB mengusung politik nilai (moral) dan bebas dari KKN. Artinya, pemimpin partai politik sebenarnya adalah contoh – keteladan bagi publik. Selama ini kita tahu hampir tidak ada partai politik atau sosok personal (Ketua Parpol) di Indonesia yang bersih sehingga membuat ruang gerak mereka terkadang menjadi terbatas. Kalaupun partai itu tetap berjalan dengan platform mereka sendiri, telah muncul image dari masyarakat yang kemudian mempunishment partai itu sehingga tidak mendapatkan kursi, contohnya PPP. Diyakini PKS pun akan mengalami nasib yang sama dengan PPP….tinggal nunggu waktunya saja – suara PKS pun akan melorot. Bagaimanapun yang namanya konstituen (pendukung) partai itu sangat sensitif terhadap keinginan dan aspirasinya. Oleh karena itu, mereka sangat mudah “menghukum” partai itu jika dianggap telah melenceng dari misi dan visi (ideologi) partai itu sendiri. Ibarat judul buku yang ditulis Ramadhan KH di masa Orde Baru, “Siapa Menebar Angin Akan Menuai Badai”, begitulah yang dialami partai yang inkonsisten dan cenderung abai pada aspirasi konstituennya.
Akhirnya, selamat datang partai baru, gebraklah Indonesia dengan program, nilai sehingga mampu keluar dari berbagai krisis politik, hukum, ekonomi dan lain-lain. Kami rindu partai bersih, bernilai dan memiliki program yang jelas.