Oleh: NN
Pada tahun 1930-an, ada seorang anak sekitar usia SD, merasa heran melihat banyak orang di lingkungan ia tinggal yang lebih suka berbahasa Belanda daripada bahasa Melayu.
Ada sebagian orang pribumi berbicara dengan bahasa Belanda secara lengkap dan benar, ada juga yang sepotong-potong saja, dicampur dengan bahasa Melayu. Kata-kata yang sering diucapkan bercampur bahasa melayu tersebut seperti “ikke” menggantikan kata “saya” dan kata “ij” yang bunyinya sering “i” menggantikan kata “Kamu”, “Engkau” atau “kau”. Lucunya banyak orang yang tidak pernah mempelajari bahasa Belanda, ikut-ikutan menggunakan kata-kata dari bahasa Belanda.
Anak yang serba ingin tahu itu bernama Sabirin, lahir di Bukittinggi pada 5 Agustus 1917. Sabirin sejak kelas tiga Sekolah Dasar sudah sering membaca mingguan Pandji Poestaka, keluaran Balai Pustaka. Kebetulan ayahnya berlangganan mingguan tersebut. Buku-buku yang ada di Perpustakaan sekolahnya banyak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Di era itu, sekolah-sekolah khususnya di Sumatera Barat, ada pelajaran bahasa Indonesia yang ditulis dengan huruf Arab. Begitu pula sekolahnya Sabirin. Kalau sore Sabirin mengaji, maka pelajaran bahasa Melayu ditulis dengan huruf Arab termasuk pelajaran yang mudah baginya. Ditambah lagi, ia termasuk murid yang suka membaca. Sabirin suka pelajaran bahasa, ia memiliki ketelitian dalam mencermati kata-kata atau kalimat yang kurang pantas dalam pemakaiannya.
Pada tahun 1939 di Padang dibentuk “Jeughd Organisatie Minangkabau” atau Organisasi Pemuda Minangkabau yang pertama dan Sabirin ikut. Pada kesempatan itu Sabirin menyampaikan isi hatinya tentang banyaknya orang Indonesia yang menggunakan kata-kata dari bahasa Belanda dalam kesehariannya. Mengapa tidak memakai bahasa Indonesia saja secara baik. Selesai berbicara, orang yang hadir menyambutkan dengan tepuk tangan dan tertawa. Tetapi tidak ada yang menanggapi sedikitpun.
Waktu terus berjalan, Pemuda Sabirin pantang menyerah. Ia mencoba mengutarakan isi hatinya melalui tulisan dalam rublik Pikiran Pembaca di Harian Penerangan pada hari Rabu 20 Juli 1949. Ia sertakan juga sebuah pantun, dengan harapan akan terjadi perubahan, berikut pantunnya:
Bahasaku:
Bisa kuterima sepuluh jari
Kugenggam sejak dari rahim ibuku
Kuberbahasakan setiap hari
Kukarangkan mudah bersajak ruku
Kendati cangung kau tuturkan
Tetapi fasihlah di lidah saya
Kendati basa tak kau ragakan
Kuanggap juga bahasa raja
Kalau ada nan menanyakan
Wahai kau bangsa apa?
Maka bahasakulah yang menyala
Bahwa aku anak Indonesia Raya
SABIRIN
Tulisan Sabirin tidak ada yang menggapi, meskipun tentu saja banyak yang membaca.
Pada tahun 1953 di Padang diselenggarakan ceramah tentang Bahasa Indonesia. Saat itu Sabirin sudah menjadi anggota TNI-AU berpangkat Letda. Kembali Sabirin menyampaikan unek-uneknya menyangkut bahasa Indonesia. Sayang keburu dipotong seorang Letnan yang duduk di sebelahnya. Itupun tidak mematahkan semangatnya.
Letnan Sabirin berusaha mencari kata ganti orang kedua, asli dari bahasa Indonesia. Bukan dari bahasa asing seperti “you” atau “U”.
Pada 14 Desember 1955, ia membeli kamus modern Bahasa Indonesia yang disusun oleh Sutan Muhammad Zaid. Beberapa kali kamus ini dibaca dengan cermat. Di halaman 36, Ia menemukan sesuatu yang dianggap menarik. Ia mendapatkan kata “anakanda” beserta keterangannya. Bahwa anakanda atau anakda atau ananda, artinya anak yang mulia. Tambahan anda, nda atau d. Awalnya dari bahsa Kawi yang artinya yang mulia. Mula-mula anakanda dipakai untuk anak-anak raja saja. Kemudian dipakai sehari-hari, jika orang menghormati orang yang patut dipanggil anak.
Berhari-hari Sabirin memperhatikan kata anda. Ia mencoba menulis sesuatu konsep yang ada hubungannya dengan anda. Konsep demi konsep diperbaiki dan disempurnakan.
Singkat cerita, pada 21 Februari 1957, ia mengirim naskah ke redaksi koran Pedoman yang beralamat di jalan Budi Kemuliaan Jakarta. Tembusannya dikirim ke Ketua Lembaga Bahasa dan Budaya Fakultas Sastra dan Filsafat UI, Ketua Seksi E.P.P. dan DPR waktu Mr. Moh. Yamin, Prof Mr. Sultan Takdir Alisjahbana dan Mayor Udara Suryono.
Pada tanggal 28 Feberuari 1957 di harian Pedoman no. 300, tulisan Pak Sabirin tampil dengan judul: Memperkenalkan kata baru “ANDA”.
Berikut potongan artikel nya:
Memperkenalkan kata baru:
“Anda” kepada siapa saja
* Seperti “you” bahasa Inggris
* Kalau “kamu” dan “kau” dianggap terlalu akrab dan masih “dipergunakannya “jij”, “U”, “ente” dan “you’
Oleh: Sabirin
Demikian sedikit kisah ringkas bagaimana Pak Sabirin menemukan kata “ANDA” serta perjuangan memperkenalkannya kepada masyarakat Indonesia.
Sumber: Suara Karya, 14-7-1981 hal 5. Koleksi Surat Kabar Langka Salemba, Perpustakaan Nasional RI.
