Oleh: Dr. Sobirin Malian*

Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih jalan di tempat. Hal itu terlihat dari stagnannya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di tahun 2023 dengan skor 34 (corruption perceptions index 2023). Salah satu penyebab stagnannya pemberantasan korupsi di Indonesia adalah cara pandang (point of view) dan sudut pandang (perspektif) dalam pemberantasan korupsi terutama dari putusan pengadilan (jaksa dan hakim). Koruptor di samping sulit diseret ke pengadilan_ – terutama karena alasan politik juga jikapun bisa diadili hukumannya sangat ringan sehingga tidak memiliki efek apapun, korupsi tetap marak.

Sebenarnya, sudah ada beberapa gagasan dan saran dari para ahli (expert) agar bagaimana hukum dalam memberantas korupsi dapat efektif. Hanya saja, gagasan dan saran mereka tak diikuti oleh para hakim, jaksa dan akademisi sehingga kendati korupsi telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) tapi komitmen dan perspektif itu masih berjalan di tempat (stagnan). Tulisan berikut kembali mengingatkan apa dan bagaimana gagasan Profesor Satjipto Rahardjo dan Artidjo Alkostar pernah efektif di Mahkamah Agung sehingga membuat ciut (keder) para koruptor mengajukan Kasasi ke MA.

Menyatunya Hukum dan Sosiologi


Awalnya mustahil memadukan hukum dan sosiologi menjadi perspektif akademik dan praktis karena ilmu hukum identik dengan ilmu normatif, hitam putih. Studi hukum terutama di Indonesia – sangat normatif yang dalam batas-batas tertentu sangat dipengaruhi oleh teori hukum murni Hans Kelsen. Dalam konteks inilah kemudian orang yang melakukan studi hukum mengalami kekecewaan-kekecewaan – kalau tidak boleh dibilang menemui jalan buntu – ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua femomena sosial dapat dijelaskan dengan teori hukum. Dan pada gilirannya mendorong orang untuk meminjam dan meng-appropriasi teori lain yang dikembangkan dalam ilmu sosial untuk menjelaskan sejumlah fenomena sosial yang tidak dapat dijelaskan secara memuaskan oleh teori hukum yang dikembangkan di kampus-kampus di Indonesia. Memadukan ilmu hukum dan ilmu sosiologi atau politik ternyata memang masih sulit diterima hingga menjelang awal tahun 80-an.

Adalah Profesor Satjipto Rahadjo yang berusaha mendobrak kejumudan model kekakuan itu. Dengan pendiriannya yang kuat, Prof Tjip commited dan concern menjadikan sosiologi sebagai tool of analysis dalam fenomena yang ia kaji. Oleh karena begitu konsisten dan komitmennya Prof TJip dengan analisis ini maka lama-kelamaan ide-ide Prof Tjip dapat diterima. Salah satu gagasan penting Prof Tjip adalah hukum progresif. Hukum progresif merupakan pemikiran perkembangan hukum yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo, berpandangan bahwa hukum dibentuk untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Dasar pemikiran beliau bahwa kajian hukum saat ini telah mencapai ekologi dalam yang mendasar pada pemikiran antroposentrisme.

Ide hukum progresif Prof Tjip diantaranya lahir karena kegerahan beliau terhadap praktik-praktik hukum di pengadilan yang terkesan hakim hanya menjadi corong undang-undang. Hakim terkesan terbelenggu oleh rumusan undang-undang. Tentu saja vonis-vonis hakim itu seringkali jauh dari rasa keadilan atau dengan kata lain substansi hukum menjadi tidak mengena. Atas dasar itulah, penerapan hukum progresif oleh hakim untuk mewujudkan keadilan sosial adalah melalui metode penemuan hukum yaitu interpretasi dan argumentum, dengan menempatkan keadilan sosial masyarakat di atas peraturan perundang-undangan.

Hasil gagasan Prof Tjip akhirnya menemukan bentuk bahwa kebutuhan hukum yang utama adalah mampu membawa hukum ke arah putusan ber-keadilan.

Gagasan Artidjo Alkostar

Sosok lain yang juga kontroversial dalam berperspektif hukum adalah Artidjo Alkostar. Bahkan Artidjo Alkostar tidak berhenti pada teori, dia menerapkan hukum dalam praktik (putusan Mahkamah Agung). Bagi Artidjo, hukum itu tidak hanya bersifat sentrifugal tetapi juga sentripetal. Sentrifugal berarti bahwa hukum itu harus bergerak ke luar, ke arah masyarakat. Bahwa hukum tidak bisa dilepaskan atau melepaskan diri dari realitas sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.Dalam konteks korupsi, Artidjo melihat tidak hanya pelanggaran hukum an-sich, tetapi juga sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia; merusak sendi-sendi ekonomi dan menghancurkan peradaban bangsa. Bahkan seringkali ia mengatakan seorang koruptor tidak lain juga adalah seorang pengkhianat bangsa. Pandangan Artidjo ini semakin jelas “concern”nya ketika dia menulis disertasinya. Bagi Artidjo, korupsi yang dilakukan oleh Menteri, anggota DPR atau pejabat negara itu telah mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga, merosotnya nilai-nila moralitas, rusaknya kehidupan sosial dan budaya. Tidak ada satu pun negara yang bertahan lama bila terjangkiti virus korupsi.

Hukum dalam pandangan Artidjo juga harus sentrifugal, bergerak ke arah nilai. Mirip dengan perspektif Prof Tjip, bahwa undang-undang itu adalah teks, dan ia benda mati.

Oleh karenanya, ia harus ditafsirkan (dihidupkan) dengan mengacu kepada nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai yang ada suatu teks hukum perlu dihubungkan dengan realitas sosial, budaya dan ekonomi masyarakat, Tanpa itu hukum hanya untuk dirinya sendiri. Dalam konteks putusan korupsi, hakim dituntut untuk mampu membongkar nilai yang ada di balik suatu teks hukum dan sekaligus mengkaitkannya dengan konteks sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang semakin terpuruk akibat korupsi.

*)Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan

Advertisement

Tinggalkan Komentar