Oleh : Ade Irwansyah
BUKU INI “Confidence Man” disebut biografi Donald Trump paling otoritatif. Lengkap dan tanpa filter membedah baik-buruk Trump. Saya merasa harus baca buku ini karena Trump kemungkinan terpilih lagi jadi presiden AS. Apalagi setelah melihat penampilan inkumben Presiden Joe Biden dalam debat pertama Jumat (28/6) kemarin.
Di situ kelihatan Presiden Biden adalah seorang kakek yang mulai pikun dan dimakan usia. Ia menjawab pertanyaan moderator debat dengan tidak nyambung, kalimatnya banyak yang tak selesai dan kacau, serta suaranya tipis nyaris berbisik. Biden berusia 81 tahun, maka sebetulnya wajar bila ia menunjukkan ciri-ciri orang tua yang mulai pikun karena dimakan usia. Sstt… Trump sendiri berusia 78 tahun.
Selama berbulan-bulan, kubu lawan Biden yang Demokrat, yakni kubu Republik, selalu bilang Biden terlalu pikun untuk menjadi “leader of the free world–pemimpin dunia merdeka”, sebutan bagi negeri Abang Sam. Sewaktu awal tahun ia menyampaikan pidato kenegaraan (state of the union) dengan berapi-api, Republikan menuduh Biden mengonsumsi obat kuat. Tuduhan serupa telah mereka siapkan jika di debat tempo hari ia tampil penuh energi.
Namun justru Biden tampil loyo. Tuduhan kubu lawan ia tak layak jadi presiden terbukti. Sebelum debat, hasil polling menunjukkan Biden dan Trump sama kuat. Penampilan Biden di debat kemarin akan menjauhkannya untuk terpilih kembali.
Oleh karena itu muncul wacana ia mundur dari pencalonan. Masalahnya, sistem pemilu di AS sedikit berbeda dengan negara demokratis lain. Untuk jadi capres Demokrat atau Republik, dua partai terbesar di AS, seorang kandidat harus menang pemilihan pendahuluan di masing-masing partai. Suara konsituen kemudian dikonversi ke dalam delegasi-delegasi yang akan mensahkan capres pilihan partai di dalam konvensi. Biden telah mengantongi hampir seluruh delegasi. Artinya, langkahnya jadi capres partai tinggal disahkan. Artinya lagi, hampir tak mungkin elit Demokrat menggulingkannya.
Mundur dari pencalonan harus datang dari itikad Biden seorang. Lain tidak.
Kalaupun ia mundur, Demokrat tak punya tokoh yang menyatukan partai dan punya kharisma kuat buat bertarung melawan Trump. Tokoh Demokrat saat ini terlalu progresif (Bernie Sanders) ataupun terlalu lemah. Hanya mantan Presiden Obama yang punya kharisma dan kekuatan buat mengalahkan Trump, tapi ia tak mungkin ikut pemilu karena sudah jadi presiden dua kali.
Maka, dunia harus bersiap untuk masa jabatan kedua Trump. Pertanyaannya, mampukan dunia menanggungnya?
Ada yang bilang, masa pemerintahan pertama Presiden Trump penuh kekacauan lantaran baik Trump maupun Republik tak menyangka ia bakal menang. Hasil suara terbanyak (popularity vote) sebetulnya menunjukkan Hillary Clinton, lawan Trump di 2016, menang. Namun, sekali lagi, sistem pemilu AS beda. Yang menang pemilu bukan yang dipilih rakyat paling banyak, tapi siapa yang menang delegasi elektor di tiap negara bagian. Jadi, walaupun penduduk California demikian besar, jumlah elektornya sama dengan negara bagian yang jumlah penduduknya lebih kecil. (Konon, sistem ini dirancang agar negara bagian yang penduduknya banyak tak mendominasi negara bagian yang lebih sedikit jumlah penduduknya. Maka sistem elektoral dipakai guna mencegah hal itu.)
Balik ke Trump. Jika menang kali ini, kaum Republikan telah melakukan persiapan matang. Elit partai mafhum meskipun Trump tak bisa dipegang omongannya, suka berbohong, dimakzulkan dua kali, dan divonis bersalah atas 34 pelanggaran hukum, toh ia sosok paling populer di kelas bawah, konsituen Republik di akar rumput. Mereka telah menyiapkan agenda konservatif yang bakal terwujud jadi kebijakan di masa periode kedua Presiden Trump. Ia juga berjanji bakal memberangus lawan politik sebagai kebijakan balas dendam. Kita pantas khawatir ini bakal menjerumuskan AS jadi negara otoriter. Trump digadang bakal jadi Hitler baru, yang seperti Hitler, juga lahir dari bilik suara.
Ya, demokrasi AS terancam bila Trump terpilih lagi. Namun, andai Biden yang terpilih pun dunia tak otomatis serasa di surga. Kita ingat, Obama dipuja bal ratu adil ketika terpilih. Toh selama delapan tahun berkuasa dunia tak jadi lebih baik seperti di surga. Selama empat tahun berkuasa, Biden juga tak membuat dunia lebih baik. Di masanya, Rusia perang dengan Ukraina dan Israel membom Gaza tanpa merasa berdosa. Dan Biden tak punya kuasa mendamaikan semuanya. Biden menganggap Rusia musuh tapi tak berani frontal. Sedangkan Israel dibela mati-matian meskipun ribuan wanita dan anak-anak Palestina jadi korban tak berdosa.
Dulu, di zaman Orde Baru, ada anggapan kita, Indonesia, lebih senang AS diperintah presiden dari Republik. Karena Demokrat biasa mensyaratkan klausul HAM bila ingin memberi bantuan. Kalau Republikan tidak. Anda tahu sendiri, Orde Baru Suharto adalah pelanggar HAM kelas wahid.
Di zaman Reformasi, kita tak terlalu peduli presiden AS dari Republik atau Demokrat. Kita kini lebih bergantung pada Tiongkok ketimbang AS. Hubungan dengan AS tetap penting untuk mengimbangi dominasi Tiongkok.
Siapapun presiden AS, mau Trump atau Biden, dunia takkan baik-baik saja.***