DONALD Trump, capres Partai Republik, dipastikan menang pilpres AS setelah mengumpulkan lebih dari 270 suara elektoral dari berbagai negara bagian pada Rabu (6/11) dini hari waktu setempat. Negara-negara bagian yang jadi swing state dengan jumlah elektoral, seperti Pennsylvania, Georgia dan Wisconsin, yang banyak jatuh ke pelukan Trump. Tidak hanya itu, setelah dua kali ikut pilpres (2016: menang, 2020: kalah), di kali ketiga ini Trump menang suara terbanyak (popular vote). Artinya, Trump menang mutlak.
Lalu, apa yang membuat Kamala Harris, kandidat lawan dari Partai Demokrat, kalah?
Orang dengan mudah bakal bilang, AS belum siap buat presiden perempuan apalagi seorang perempuan dari keturunan imigran kulit berwarna. AS nyatanya negeri rasis, anti imigran, dan misoginis.
Pendapat itu sebagian benar. Sebagian lagi mungkin bisa dirunut pada bagaimana Harris akhirnya terpilih sebagai capres Demokrat. Kamala Harris maju jadi capres setelah Joe Biden setengah dipaksa mengundurkan diri dari pencalonan. Biden, calon petahana yang mengincar masa jabatan kedua, sudah terlalu uzur dan hampir pikun. Demokrat butuh calon baru. Ketika akhirnya Biden bersedia mundur, ia sudah menetapkan wakil presidennya, Kamala Harris, yang bakal menggantikan. Hal itu membuat Demokrat urung pecah karena berebut tiket capres. Semua setuju dengan pilihan Biden dan bersatu di belakangnya.
Langkah yang dianggap genius beberapa bulan lalu itu, menjadi salah satu alasan Harris kalah. Tapi saya akan membahas soal ini nanti.
Elektabilitas Harris langsung naik usai ditunjuk jadi capres. Optimisme segera mengemuka. Ia menjadi lawan yang sepadan dan serba kebalikan dari Trump: Wanita, dari kalangan minoritas dan imigran, menghormati perbedaan pendapat, serta mengusung nilai-nilai demokrasi dan pluralisme.
Banyak yang menyamakannya dengan kebangkitan Barack Obama pada 2008. Akhirnya, Amerika siap untuk presiden wanita dan dari kulit berwarna pula.
Nyatanya kenyataannya tak demikian. Bila kita ingat waktu Obama menang di 2008, Amerika dibilang telah memasuki alaf baru, suatu masa di mana kesetaraan akhirnya terjadi. Amerika bangsa yang luhur yang telah melampaui perbedaan rasial.
Semua orang salah. Pada 2016, Trump yang mengusung kampanye nasionalis dan populis (“America first” dan “Make America Great Again”) justru menang pilpres lawan Hillary Clinton, kandidat perempuan.
Sampai sini sebetulnya kita harus sadar kemenangan Obama tempo hari mungkin cuma anomali. Warga Amerika sebetulnya tak peduli amat dengan tetek bengek pluralisme dan bahkan norma kepatutan.
Harap diingat, selama memerintah 2016-2020 Trump dua kali dimakzulkan dan saat ini ia divonis pengadilan melakukan 34 pelanggaran hukum. Toh dengan cacat hukum seperti itu, mayoritas rakyat Amerika tak peduli. Memangnya apa yang mereka pedulikan?
Sepanjang masa kampanye entah sudah berapa kali Trump melakukan blunder, menyatakan opini yang terlihat bodoh dan membahayakan. Telah banyak mantan pembantunya dan lawan politik separtai yang memperingatkan Trump anti-demokrasi dan penganjur fasisme. Banyak juga yang memperingatkan Trump dan orang-orangnya akan menjalankan Project 2025 yang rasis. Toh, sekali lagi, rakyat tak peduli.
Di sini kita sampai pada alasan lain Kamala Harris kalah. Harris, sebagai wapres Joe Biden dianggap penerus Biden. Sedangkan Biden bukan presiden populer selama empat tahun memerintah. Sebagian besar orang Amerika merasa keadaan ekonomi di masa Biden lebih buruk. Mereka merasa kian terpinggirkan oleh imigran dari luar Amerika. Isu kebebasan berbicara ataupun hak aborsi yang didengungkan Harris kalah memikat dibanding hal yang terkait perut dan rasa aman.
Maka, sejatinya, Obama menang tahun 2008 bukan lantaran orang Amerika kian terdidik dan menghargai pluralisme. Tapi pemerintahan Republien yang dilakoni Bush Junior selama 8 tahun dirasa bikin ekonomi terpuruk. Harap diingat saat Obama naik jadi presiden, Amerika dilanda krisis ekonomi terburuk sejak masa Depresi di tahun 1930-an.
Jadi, berbalikan dengan kita diana capres pemenang pilpres berkampanye sebagai penerus rezim lama, di Amerika Harris ingin mencitrakan sebagai sosok baru. Sedangkan kampanye Trump berhasil mencapai Harris sebagai bagian pemerintahan incumben. Jadi, mungkin, andai Demokrat membiarkan kader terbaiknya bertarung secara adil di pemilihan pendahuluan (primary election) atau berkontes saat Konvensi, Demokrat mungkin menang pilpres. Mungkin. *