Catatan Cak AT

Bayangkan sebuah dongeng klasik. Ada seorang tukang kayu yang bermimpi membuat boneka kayu yang hidup, boneka yang, alih-alih jujur, selalu memanjangkan hidung setiap kali berbohong. Kini, mari kita berpindah dari dunia dongeng ke dunia nyata. Kita punya seorang “Pinokio” yang, menurut beberapa pihak, telah menyempurnakan seni berbohong dalam dunia politik. Ya, siapa lagi kalau bukan si dia yang sebentar lagi lengser.

Ironisnya, sebelum beristirahat dengan damai di kursi pensiunan, dia yang dulunya memang tukang kayu harus menghadapi serangkaian gugatan perdata yang cukup unik dan berbobot —dan tidak, ini bukan perkara sepele. Rizieq Shihab dkk telah menyeret Jokowi sebagai pribadi ke pengadilan atas nama “kebohongan”.

Mengapa sih kita bisa sampai ke tahap ini? Jawabannya ada pada sederet kebohongan yang disebut Habib Rizieq dalam gugatannya dilakukan Jokowi selama belasan tahun berkuasa. Beberapa di antaranya cukup memikat, seperti janji bahwa dirinya tidak akan menjadi “kutu loncat” dari Gubernur DKI Jakarta ke panggung nasional. Tapi, nyatanya, janji itu melayang seperti asap yang dihembus angin saat dia mencalonkan diri sebagai presiden.

Lalu, ada kebohongan soal mobil Esemka —”mobil nasional” yang katanya bakal diproduksi ribuan unit. Hasilnya? Sama sekali tak sesuai perkataan Jokowi yang disiarkan. Belum lagi soal utang luar negeri yang dalam janji kampanyenya akan ia tolak mati-matian, hanya untuk kemudian pemerintahannya mencatatkan rekor utang terbesar dalam sejarah Indonesia.

Sebuah artikel dari majalah Tempo bahkan menampilkan Jokowi dalam visual yang lebih ‘ikonik’ —menjadi sosok Pinokio dengan hidung yang memanjang. Seorang cendekiawan, Sukidi, dengan tajam menyebut penguasa itu, tanpa menyebut nama, sebagai “Pinokio Jawa” yang dengan cerdik membungkus kebohongan dengan kesantunan ala Jawa. Sebuah tuduhan yang, kalau boleh jujur, terdengar seperti plot twist sebuah drama politik yang tragis namun lucu.

Tidak cukup hanya dengan retorika dan artikel-artikel sinis yang beredar lepas, kini Habib Rizieq dan timnya mengambil langkah lebih jauh. Mereka mengajukan gugatan perdata dengan nilai yang tidak main-main: setara dengan utang negara selama masa kepemimpinan Jokowi. Ya, Anda tidak salah baca. Mereka meminta ganti rugi sebesar Rp5.246 triliun. Kalau ini berhasil, mungkin Habib Rizieq akan menjadi tokoh dengan kemenangan ganti rugi terbesar sepanjang sejarah peradilan Indonesia—atau bahkan dunia.

Gugatan ini menarik bukan hanya karena jumlahnya, tetapi juga karena sifatnya yang sangat personal. Mereka menggugat Jokowi sebagai pribadi, bukan sebagai presiden. Dengan kata lain, mereka ingin dia bertanggung jawab secara langsung, tanpa embel-embel kekuasaan negara yang melindunginya.

Sidang perdana gugatan ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sempat ditunda, bukan karena keabsahan gugatan, tapi karena pihak tergugat salah membawa dokumen. Bayangkan, sebuah pertempuran hukum yang besar dimulai dengan kesalahan administratif kecil. Mungkin pengacara Jokowi sedikit terjebak dalam kebiasaan birokrasi, berpikir mereka masih mewakili ‘presiden’, padahal kali ini yang dihadapkan adalah ‘Joko Widodo, pribadi’.

Sebagai seorang yang akan lengser, Jokowi tentunya berharap bisa pensiun dengan tenang, menikmati masa-masa santai sambil bercengkerama dengan cucu di kediaman pribadi, yang disiapkan negara di lahan seluas tiga hektar. Tapi, alih-alih, ia malah harus menghadapi gugatan yang berat.

Lucunya, gugatan ini tidak akan hilang meski ia tak lagi berstatus presiden. Sebuah beban besar yang harus dibawa, bahkan setelah berakhirnya masa kekuasaannya. Ini seperti titah terakhir seorang “Raja Jawa” yang akhirnya harus berurusan dengan pengadilan, bukan hanya dengan sejarah.

Habib Rizieq, sosok kontroversial yang pernah berurusan dengan hukum di Indonesia, kini mencoba membuktikan bahwa “kebohongan Jokowi” bukan sekadar rumor belaka. Gugatan ini jelas bukan hanya soal uang, tapi juga soal prinsip: sebuah upaya untuk membuka mata publik bahwa, di balik senyum dan sikap santun seorang Jokowi, tersembunyi serangkaian kebohongan yang selama ini ditutupi.

Dengan semakin mendekatnya tanggal 20 Oktober 2024, hari di mana Jokowi resmi menyerahkan jabatan presiden kepada penerusnya, gugatan ini bikin deg-degan. Mungkinkah Jokowi akan pensiun dengan damai, atau harus terus bolak-balik ke pengadilan menghadapi gugatan yang tampaknya tak main-main? Yang pasti, Jokowi mungkin tidak akan bisa tidur nyenyak dalam waktu dekat, meskipun telah meletakkan jabatan. Kegelisahan ini bukan lagi karena urusan politik, tapi karena urusan pribadi.

Di tengah semua drama ini, rakyat Indonesia hanya bisa menunggu. Apakah gugatan fantastis ini akan berjalan mulus ataukah akan terhenti di tengah jalan seperti janji-janji Jokowi yang dulu? Yang jelas, lepas dari apa pun hasilnya, perjalanan Jokowi dari seorang pemimpin merakyat menjadi “Pinokio Jawa” ini adalah sebuah narasi politik yang takkan terlupakan dalam sejarah republik.

Siap atau tidak, Indonesia akan menyaksikan babak baru dalam politik hukum, di mana seorang mantan presiden harus menghadapi serangkaian tuduhan yang tak terduga. Entah bagaimana akhirnya, satu hal yang pasti: kisah ini belum akan selesai dalam waktu dekat.

Ala kulli hal, siapa pun yang berkuasa, di level mana pun, penting mendengar Ibnu Khaldun. Dalam kitabnya Muqaddimah yang monumental, Ibnu Khaldun menekankan pentingnya kejujuran, integritas, dan keadilan dalam pemerintahan. Menurutnya, salah satu fondasi utama sebuah negara yang kuat adalah kepercayaan rakyat kepada penguasanya.

Ketika penguasa suka berbohong atau bertindak tidak jujur, hal itu akan merusak kepercayaan tersebut, yang pada akhirnya dapat melemahkan legitimasi penguasa dan bahkan menghancurkan negara. Penguasa yang suka berbohong dianggap sebagai pemimpin yang gagal menjaga amanah, karena tugas penguasa adalah memimpin dengan moral yang kuat dan memberikan pelayanan yang adil kepada rakyat.

(Catatan Cak AT/ Ahmadie Thaha [10.10.2024])
Advertisement

Tinggalkan Komentar