Oleh : Agus Wahid
Keputusan politik sudah diambil. Dan DPP PKS – untuk pilkada Jakarta – telah mengusung kadernya sendiri: Suswono sebagai calon wakil gubernur (cawagub), mendampingi Ridwan Kamil (RK).
Sebagai kader dan atau keluarga besar PKS tentu menghormati keputusan yang telah diambilnya. Lebih dari itu, juga harus bahu-membahu bagaimana mengamankan keputusan itu. Berarti, harus ikut serta memperjuangkan kemenangan para kader dan atau nonkader yang diusung PKS, baik di Jakarta ataupun daerah-daerah lainnya, termasuk pilkada Jawa Barat, yang kebetulan mengusung presiden partainya sendiri, yaitu Ahmad Syeichu selaku calon gubernur dan Ilham Habibie (calon wakil gubernur).
Sebaga rasa hormat (ta`dzim), sudah selayaknya seluruh komponen kader PKS dan jaringannya berikhtiar maksimal untuk memenangkan para kader dalam kontestasi pilkada serentak. Inilah bukti rasa sayang.
Namun demikian, kita juga harus memahami kekecewaan keluarga besar PKS, dari anasir kader ataupun simpatisannya. Sebagian besar mereka kecewa dengan keputusan PKS yang batal mengusung Anies Baswedan, padahal telah resmi mendeklarasikan pasangan Anies -Shohibul Iman (AMAN).
Kekecewaan mereka tentu akan berdampak negatif. Prospek perolehan suara pasangan Ridwan Kamil – Suswono (RK-Sus) tak bisa diharapkan. Beberapa waktu waktu lalu, Republika online merilis proyeksi perolehan suara RK-Sus hanya sekitar 12%. Memang tertinggi dibanding pasangan Pramono Anung – Rano Karno (7%) dan calon independen (Dharma – Kun) hanya 1 persen. Lainnya, sekitar 73% menyatakan tidak memilih. Atau, secara ekstrim, total 80% itu akan memilih (dicoblos semua). Pertanda kertas suara tidak sah.
Dalam sistem pemilu dan atau pilkada, sekecil apapun prosentase partisipan tidak menganulir hasil suara yang sah. Artinya, siapa yang tertinggi dari suara sah itulah yang terpilih. Namun, demikian, hal ini menjadi problem legitimasi.
Maka, apapun argumentasinya, dinamika politik pilkada di Jakarta yang menyingkirkan Anies menjadikan kualitas demokrasi tereduksi secara serius. Sah secara hukum. Tapi, cacat serius secara politik. Ada krisis legitimasi.
Yang memprihatinkan, dampak dari keputusan DPP PKS yang membatalkan usung Anies berdampak serius bagi pilkada di seluruh daerah. Tak bisa dipungkiri, seluruh kader dan atau nonkader yang diusung PKS akan terkena getahnya. Sebagian publik yang cerdas akan membalas kekecewaannya. Masih bisa dimaklum jika pilih semua, berarti suara tidak sah. Tapi, jika sikap politiknya tidak mau pilih pada calon yang diusung PKS, inilah bahanya.
Tidak tertutup kemungkinan, sikap politik “pokoknya tolak pilih calon yang diusung PKS” akan terjadi di Jabar. Jika hal ini terjadi, hal ini sungguh menampar PKS. Tak bisa terbayangkan, kader terbaik karena posisinya sebagai Presiden PKS diperlakukan begitu.
Salahkah mereka yang kini menunjukkan kekecewaan terhadap PKS seperti itu? Tidak bijak menyalahkan. Sikap politik mereka, harus kita hormati, sebagaimana kita berharap mereka menghormati keputusan politik DPP PKS yang akhirnya mengusung RK-Sus.
Akhirnya, kita perlu merenung, jika pilkada 2024 ini menjadi titik balik sukses PKS, maka grafik kemunduran suara ini harus dijadikan pelajaran (mau`idzah) yang berharga. Kita perlu introspeksi, besarnya PKS hingga saat ini karena PKS berhasil menjaga inegritasnya sebagai partai dakwah yang menjunjung tinggi moral.
Moralitas politik ini haruslah dipertahankan, sampai kapanpun. Moralitas di sini perlu diterjemahkan bagaimana berpolitik dalam rel ilahiah dan nubuwwah. Sebisa mungkin, menjauh dari perilaku politik pramgatis. Kita tak bisa memungkiri tudingan bahwa PKS kini sudah berubah dari cita-cita yang committed sebagai partai dakwah.
Idealitas dakwah adalah mengajak untuk ketakwaan kita. Yaitu, menaati perintah-Nya yang menyerukan kebenaran, keadilan dan kebaikan. Sebaliknya, menjauhi larangan-larangan-Nya. Di antara larangan itu adalah bersekutu dengan pihak yang selama ini sudah jelas track-recordnya dalam panggung kekuasaan yang tidak berpihak pada seruan Allah dan Rasulnya.
Akhirnya, kita perlu menegaskan, dalam mengarungi pilkada 2024 ini, kita perlu mendukung kebijakan PKS yang telah diambil. Karena itu, tidaklah lebai ketika menyatakan PKSku sayang….
Tapi, tidaklah elok ketika mengabaikan riak-riak reaksi publik yang sangat menyesalkan keputusan depak Anies. Dampaknya sungguh serius. Tak ubahnya menghancurkan pembangunan yang telah dilakukan puluhan tahun lalu, tiba-tiba harus runtuh oleh sebuah keputusan politik yang sarat dengan dimensi pragatisme. Sungguh malang PKSku…. Semoga menjadi muhasabah yang bijaksana. Barangkali, Allah mengingatkan kita. Agar kita tidak terlalu jauh terpeleset lebih dalam. Ambil hikmah.
Jakarta, 03 September 2024
Penulis: Analis Politik
photo: kumparan