Biaya dan Manfaat

(Sekolah Filsafat Ekonomi 15)

Oleh: Suwarsono Muhammad, Waston, dan Bambang Setiaji


Ekonomi tidak hanya memiliki kapitalisme semu (ersatz capitalism) seperti yang dikemas dan disajikan oleh Yoshihara (1988) dalam menjelaskan karakter keunikan kapitalisme Asia Tenggara, tetapi juga mengenal kemungkinan ada atau tidaknya pluralisme semu dalam metodologi ekonomi. Pluralisme metodologi sesungguhnya telah mulai diajukan sebagai agenda perdebatan dalam dunia ilmu pengetahuan sejak empat puluhan tahun lalu (Salanti, 2020: 287-288) sebagai tanggapan untuk menolak kehendak serba ketunggalan ilmu pengetahuan atau adanya dominasi madzab tertentu, tetapi sepertinya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa agenda tersebut hanya berjalan di tempat, tidak kunjung beranjak jauh untuk menemukan gambaran kasar realitasnya. Adakah akan berhenti sebagai janji semu pelipur lara? Siapa yang menderita lara? Atau dikenal adanya tingkatan kedalaman dan keluasan pluralisasi.

Fenomena serupa yang tidak jauh berbeda juga ditemukan dalam ilmu ekonomi. Jalan sempit yang telah dibuka dengan hati-hati oleh beberapa ekonom metodologis (misalnya Caldwell 1994/1982: 226-230) sejak kurang lebih sekitar awal dasawarsa 1980an ternyata tidak pernah pernah berkembang lebih jauh menjadi jalan lapang berkecepatan tinggi tanpa hambatan.

Yang ada tetap saja berupa jalan sempit, licin, dan bahkan kini terkesan memiliki banyak kelokan tajam yang membahayakan dan membuka kemungkinan penyesatan perjalanan. Ada fenomena anti-pluralisme, yang menolak kemungkinan pergeseran dan perubahan ajaran inti (ontologi) ekonomi – individual atomistik dalam ekonomi neoklasik. Setidaknya inilah yang disinyalir oleh Davis (2014: 495). Ini tidak berarti tidak ada lagi perdebatan akademik tentang pluralisme metodologi ekonomi, justru malah sebaliknya, tulisan ilmiah tentang persoalan tersebut mengalir dan meningkat deras selama lebih dari dua puluhan tahun atau lebih. Belum ada tanda-tanda signifikan untuk mengering. Ditegaskan oleh Lari dan Maki (2024: 412-413) bahwa “The rise in the popularity of pluralism in economics shows no sign of halting.”

Sampai dengan tahun awal dasawarsa pertama abad dua puluh satu ditegaskan oleh Davis (2014: 477) bahwa perdebatan akademik tentang pluralisme dalam ilmu ekonomi dinilai memiliki karakter yang aneh, tidak lazim dan bahkan tampak tidak sehat. Setidaknya diajukannya dua alasan. Pertama, diskusi tentang tema tersebut terlihat satu arah, bukan dua arah. Di satu sisi, ekonom heterodoks tampak begitu antusias terlibat, sementara di sisi lain terlihat bahwa “….. almost universally ignored by mainstream economist.” Baru dalam masa belakangan ini ekonom arus utama secara bertahap dengan irama pelan mulai terlibat.

Pendapat serupa dengan nada yang lebih ringan ditemukan pada tulisan Dow (2008: 74): “Plurality has been an accepted norm in hetverodox economics…… It is inevitable when an approach is counterposed to an orthodoxy that there is a sense of ‘otherness.’ But there have been suggestion that these divisions are lessening.”

Dalam ilmu pengetahuan eksakta pluralisme atau keterbukaan dinilai sebagai praktik ideal yang diidamkan yang oleh karena itu akan memiliki kecenderungan mendapatkan tanggapan positif dari banyak pihak, tidak demikian halnya dalam ilmu ekonomi. Yang ditemukan dalam ilmu ekonomi malah terkesan sebaliknya, sepertinya pluralisme hanya sebagai salah satu penanda penting meningginya polarisasi. Tidak berlebihan jika kemudian ditegaskannya lebih jauh bahwa ilmu ekonomi justru menjadi “rigidly segmented discipline.” Pandangan serupa juga ditegaskan oleh Bouwel (2004: 299) bahwa dalam batas-batas tertentu esensi pluralisme sesungguhnya hanya merupakan serangan “against the mainstream.”

Alasan pertama ini membawa akibat lanjutan yakni kecanggungan dalam perumusan dan pemilihan strategi perdebatan. Persoalan ini dapat dikategorikan sebagai alasan kedua mengapa pertukaran wacana di antara mereka menjadi terlihat aneh. Jika memberlakukan pluralisme metodologi sebagai tipe ideal maka pemeluknya dengan sendirinya dianggap sebagai pemeluk ekonomi heterodoks, demikian pula sebaliknya jika menolak maka dengan sendirinya dinilai sebagai pembela ekonomi arus utama. Bukan itu saja, sekiranya pilihan strategi ini yang dipilih – memberlakukan pluralisme sebagai yang ideal – maka dengan sendirinya akan membangkitkan perlawanan sengit dari ekonom arus utama, tidak cukup sekedar sampai pada tahap mengabaikannya.

Kemungkinan lain yang masih terbuka adalah ekonom heterodoks tidak meletakkan posisi pluralisme sampai pada posisi idealisme mereka, tetapi mengarahkan strategi pada penilaian bahwa teori ekonomi arus utama dibangun dalam sistem tertutup, yang dinilai tidak menggambarkan realitas ekonomi yang hendak djielaskan. Kecanggungan pemilihan strategi ini pada gilirannya membawa akibat pada tidak mudahnya memperjuangkan status pluralisme ekonomi, tidak dapat dilakukan dengan sepenuh energi dan ambisi. Ujungnya, disimpulkan oleh Davis (2014: 478) bahwa “At least at this point, there is no special reason to expect thestatus of pluralism to change within the mainstream.”

Pertanyaan yang segera muncul adalah bagaimana jalan keluar yang mungkin dapat diajukan untuk mengurangi perbedan pendapat dari dua madzab besar ekonomi ini – ekonomi arus utama (ekonomi ortodoks) dan ekonomi heterodoks – dalam memandang dan memperlakukan pluralisme metodologi dalam ilmu ekonomi. Setidaknya diharapkan dapat mengurangi ketegangan antarpihak, tidak
kembali berkembang lebih jauh menjadi konflik, yang sesungguhnya sudah berlangsung jauh sebelum pluralisasi mengemuka. Setidaknya ditemukan dua usulan jalan keluar, yang pertama terkait dengan usaha melakukan pengenalan tingkatan kedalaman pluralisasi (level of pluralism atau scope of pluralism) yang diajukan oleh Sheila Dow (2008) dan luasan atau skala pluralisasi (scale of pluralism) untuk melakukan klarifikasi dan klasifikasi keluasan makna pluralisasi yang disajikan oleh Teemu Lari dan Uskali Maki (2024).

Sebelum menjelaskan berbagai usulan strateginya, uniknya, Dow (2014: 75) mengidentifikasi tiga gejala utama yang sepertinya memberikan dorongan pada kemungkinan perkembangan pluralisme dalam ekonomi ortodoks. Tiga gejala tersebut dinilai selalu muncul dalam dirkusus filsafat dan metodologi ekonomi yang dinilainya sebagai tiga tema pokok yang diperbincangkan, muncul sejak awal tahun 1990an. Pertama, ilmu ekonomi sepertinya lebih leluasa dan dewasa menerima masukan sumber (inputs) dari disiplin lain, terutama sosiologi dan psikologi. Ilmu ekonomi juga mengirimnya ke disiplin lain. Ada migrasi berkelanjutan. Kedua, peningkatan spesialiasi dalam ilmu ekonomi menjadikan lahirnya fragmentasi dalam komunitas ekonom, yang kemudian tidak lagi dilihat sebagai kejanggalan.

Terakhir, meningkatnya kohesifitas prinsip-prinsip dalam teori yang dibangun dan metodologi yang digunakan yang oleh karena itu dapat memperjelas posisi masing-masing pihak yang selama ini telah berbeda – mengarah pada kejelasan positif, perbedaan tidak selalu bermakna negatif.

Di samping itu, juga telah ditemukan beberapa alasan kuat untuk memberikan justifikasi perlunya pluralisme. Pertama, fenomena sosial ekonomi selalu memiliki dejat kompleksitas tinggi. Oleh karena itu mustahil dapat dan cukup dijelaskan hanya dengan menggunakan satu pendekatan atau satu paradigma saja. Kedua, pikiran ekonom dipastikan terbatas secara kognitif dan oleh karena itu dipastikan tidak mampu menangkap dan menjelaskan fenomena ekonomi secara komprehensif. Dua alasan ini dibuat lebih terang oleh Larue (2022: 297-305) dengan menyatakan adanya kemungkinan membuka peluang manfaat epistemologi – rigorius, akurasi, dan manfaat – yang diakui oleh komunitas ilmuwan yang terlibat aktif di dalamnya.

Ia sebut sebagai pluralisme sehat (reasonable pluralism). Dengan hanya membatasi diri pada pluralilasi komplementer yang ditujukan pada aliran pemikiran (school of thought), Lari92021: 322-335) mengemukaan dua jenis pluralisasi komplementer, yakni komplementer lemah dan kuat (weak and strong complementarity). Manfaat lebih mudah ditemukan pada jenis komplementer kuat.

Pluralisasi oleh Dow (2008: 74) dibagi dalam empat tingkatan, yakni: (1) tingkatan realitas (the level of reality atau is there variety in nature?), (2) tingkatan pengetahuan atau meta- metodologi (level of knowledge or meta-methodology atau variety of methodological approaches), (3) tingkatan metodologi (variety of methods), dan (4) tingkatan teori dan aplikasi (variety of theories/applications). Uskali Maki juga memiliki pemikiran serupa.

Dalam bahasa yang sudah lazim digunakan dalam buku ini jenis tingkatan pertama dapat disebut juga dengan tingkatan ontologi, sedangkan tingkatan kedua dapat disebut juga dengan tingkatan epistemologi. Untuk mengetahui ada tidaknya pluralisasi tidak perlu harus ditemukan secara total atau komprehensif pada tiga tingkat kedalaman tersebut, cukup secara parsial pada salah satu atau dua tingkat kedalaman saja. Mungkin dapat disebut sebagai pluralisasi parsial. Tidak serta merta dinyatakan sebagai pluralisme semu.

Serupa dengan upaya yang dilakukan oleh Dow (2008), Lari dan Maki (2024) juga mengajukan usulan serupa dengan lebih memperhatikan pada cakupan atau luasan atau skala pluralisasi. Mereka berdua memulainya dengan menjelaskan dan membedakan pengertian antara pluralitas, pluralisme, dan diversitas (2024: 414-417). Sebuah entitas dinyatakan plural dan oleh karena itu dapat disebut sebagai pluralitas atau ada pluralisasi jika ditemukan realitas yang memang lebih dari satu. Sedangkan pluralisme diartikannya sebagai tesis atau prinsip atau sikap tentang pluralitas. Keduanya – pluralitas dan pluralisme – tidak selalu berada dalam posisi dan jalan yang sama. Jika pluralitas lebih menunjuk adanya kemungkinan beberapa realitas dari satu entitas – beberapa X – maka diversitas diartikannya sebagai perbedaan yang ada dan ditemukan dari semua X.

Disamping itu juga diperkenalkan istilah pluralitas datar (plain plurality) yang diartikan sebagai “…..having more of the same.” Sedangkan pluralitas diversitas dimaknai sebagai adanya keragaman pluralitas (many different things). Pertanyaan pokok yang kemudian dipersoalkan adalah berapa banyak perbedaan yang dijumpai (how many?) dan sejauh mana derajat perbedaaan yang ditemukan (how different?). Dari dua pertanyaan ini diharapkan akan dapat dikenali keluasan pluralitas yakni pluralitas kecil (small plurality) dan pluralitas besar (large plurality). Yang disebut pluralitas, dengan demikian tidak harus pluralitas besar, dapat saja hanya berupa pluralitas minimal. Di dalam pluralitas kecil disebutnya kemungkinan ditemukan diversitas minor (minor diversity), dan di dalam pluralitas besar kemungkinan ditemukan diversitas besar (major diversity). Paling akhir, mereka mengajukan kemungkinan adanya otonomi pluralitas dan interaktif pluralitas, serta pluralitas komplementer dan pluralitas pengganti (substitusi). Semua konsep di atas mempengaruhi perhitungan manfaat (benefits) dan biaya (costs) pluralitas.

Manfaat dan Biaya Pluralisasi

Tulisan tentang pluralisme ekonomi memiliki kecenderungan memberikan tempat dan harapan yang besar pada aspek (sisi) manfaat yang hendak dihasilkan, dan sepertinya di sisi lain aspek biaya yang ditimbulkannya yang juga dapat dipastikan adanya kurang mendapatkan perhatian. Perhatian pada dua aspek yang merupakan dua sisi dari satu mata uang terlihat tidak berimbang. Setidaknya itulah yang disinyalir oleh Lari dan Maki (2024:412) dengan menyatakan bahwa “The literature on pluralism in economics has focused on the benefits expected form the plurality of theories, methods, and frameworks. This overlooks half of the picture: the costs.” Sekalipun mereka berdua (2024: 435) mengingatkan dengan keras untuk memperhatikan sisi biaya pluralisme, tidak kemudian berarti bahwa mereka berkehendak membiarkan ilmu ekonomi untuk terus menerus berada pada posisi tidak berubah dan “….. to preserve the status quo of economics.” Seperti kelaziman yang selama ini telah melekat erat menjadi merek dagangnya, ekonomi selalu melakukan analisis dengan cermat pada aspek manfaat dan biaya.

Mereka menunjuk empat kemungkinan manfaat epistemik yang hendak diperoleh dalam proses pluralisasi ekonomi, yakni manfaat komprehensivitas, asuransi, stimulasi, dan reliabilitas. Di sisi yang berbeda, mereka mendeteksi adanya lima kemungkinan biaya yang akan ditanggung sebagai akibat pluralisasi, yakni biaya produksi, penelitian dan evaluasi, interaksi, otoritas, dan kesempatan. Masing-masing manfaat dan biaya tersebut secara berurutan hanya akan diuraikan secara ringkas dan sederhana, karena pada masa sekarang ini mereka juga menyadari bahwa persoalan manfaat dan biaya pluralisasi masih perlu kajian lebih lanjut yang mendalam.

Advertisement

Tinggalkan Komentar