Oleh: Radhar Tribaskoro

Di Indonesia, berita tentang polisi kerap datang berbarengan dengan luka. Luka fisik, luka batin, juga luka kepercayaan. Setiap kali demonstrasi besar meletus, kita nyaris bisa menduga bahwa akan ada korban yang jatuh. Setiap kali ada kasus besar, nama Polri masuk ke dalam pusaran berita—bukan sebagai penegak hukum yang dipercaya, melainkan sebagai aktor yang dipersoalkan.

Kasus Ferdy Sambo adalah puncak gunung es. Seorang jenderal bintang dua, Kadiv Propam, divisi yang mestinya mengawasi integritas internal Polri, justru menjadi otak pembunuhan seorang ajudannya sendiri, Brigadir J. Peristiwa itu bukan hanya tentang pembunuhan, tetapi juga tentang manipulasi bukti, rekayasa alibi, hingga keterlibatan jaringan puluhan personel lain dalam menutupi kebenaran.

Belum selesai publik mengingat peristiwa itu, nama Irjen Teddy Minahasa, Kapolda Sumatera Barat yang kala itu baru saja ditunjuk menjadi Kapolda Jawa Timur, terseret ke pengadilan karena menjadi dalang dalam kasus perdagangan narkoba. Ia dituntut hukuman mati. Ironis: seorang jenderal tinggi yang seharusnya memimpin perang melawan narkoba, justru ikut dalam jaringan yang ia lawan.

Kita masih bisa menambahkan tragedi Kanjuruhan di Malang, 1 Oktober 2022. Malam itu, 135 nyawa melayang akibat gas air mata yang ditembakkan aparat ke arah tribun, memicu kepanikan, berdesakan, dan akhirnya kematian massal. Protokol pengamanan massa dipertanyakan. SOP ternyata lebih mirip lembar formalitas daripada pedoman nyata yang menuntun keputusan di lapangan.

Dan siapa bisa lupa kasus KM50? Enam anggota laskar FPI ditembak mati oleh aparat kepolisian di ruas tol Jakarta–Cikampek, 7 Desember 2020. Versi resmi menyebut ada perlawanan, versi lain menyebut eksekusi. Hingga kini, kasus itu masih menyisakan noda pada catatan penegakan hukum.

Tambahkan juga kerusuhan pasca pemilu 2019 dan 2024, ketika demonstrasi berubah jadi bentrokan. Gas air mata, peluru karet, bahkan peluru tajam, bercampur dengan teriakan massa. Puluhan orang tewas. Ratusan luka-luka. Di banyak mata, polisi lebih tampak sebagai alat kekuasaan ketimbang pelindung warga.

Dan ada satu istilah yang kini makin sering terdengar: Parcok—Partai Coklat. Istilah ini dipakai publik untuk menunjuk aparat kepolisian yang secara terang-terangan atau tersamar mengintervensi proses elektoral demi memenangkan kandidat yang dikehendakinya. Parcok, dalam banyak hal, adalah bukti paling telanjang bahwa masalah Polri bukan sekadar soal “fungsi yang tergelincir”, melainkan soal sifat struktural. Sebab ketika kepolisian sudah dipersepsikan publik sebagai “partai politik” sendiri, netralitas institusi runtuh dan profesionalisme tak lagi bisa diharapkan.

Jika daftar ini diperpanjang, barisan kasus akan terasa menyesakkan:
– Kasus Sambo, 2022, pembunuhan dan rekayasa bukti.
– 27 personel Polri terlibat dalam upaya cover-up kasus Sambo.
– Enam perwira yang pernah dihukum dalam kasus Sambo kemudian justru mendapat promosi jabatan.
– Irjen Teddy Minahasa, Kapolda Sumbar, dalang perdagangan narkoba.
– Tragedi Kanjuruhan, 135 korban jiwa akibat salah urus pengamanan.
– KM50, eksekusi atau baku tembak? Publik tak pernah puas dengan jawaban resmi.
– Kerusuhan Pemilu 2019 & 2024, bentrok berdarah dengan demonstran.
– Parcok, kepolisian sebagai “partai politik” de facto dalam kontestasi elektoral.

Daftar di atas lebih dari sekadar deretan peristiwa. Ia adalah pola.

Haedar Nashir: Jangan Bongkar Struktur

Dalam konteks inilah pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, terasa kontras. Dalam keterangannya yang dimuat Detik.com pada 14 September 2025, dengan judul “Muhammadiyah Ingatkan Pemerintah Jaga Soliditas Institusi, Tak Asal Bongkar Struktur”, Haedar mengatakan:

“Jangan setiap ada kasus terus muncul ide membongkar struktur. Bahwa harus ada yang dibenahi itu lebih pada fungsinya, lebih baik semua dikonsolidasikan, tidak asal membongkar struktur yang sudah ada.”
Di satu sisi, pernyataan itu bisa dibaca sebagai suara kebijaksanaan. Ia mengingatkan agar negara tidak gegabah. Jangan sampai amarah publik membuat negara mengambil langkah yang justru mengganggu stabilitas. Haedar menyinggung contoh Nepal: demonstrasi yang salah kelola bisa menghancurkan negara. Pesannya jelas: jangan sampai Indonesia menuju jurang yang sama.

Namun di sisi lain, suara itu terasa menutup mata dari luka yang lebih dalam. Sebab, bagaimana mungkin publik percaya bahwa yang rusak hanya “fungsi” ketika yang terlihat adalah pola berulang: kekerasan, penyalahgunaan wewenang, pelanggaran etika, keterlibatan dalam kejahatan, hingga intervensi dalam pemilu lewat Parcok?

Perbaikan fungsional artinya membenahi implementasi. Aturannya ada, strukturnya ada, hanya saja tidak berjalan baik. Polisi salah menafsirkan SOP. Komando salah memberi instruksi. Pengawasan internal kurang ketat. Hukuman sudah ada, tetapi tidak dijalankan konsisten.

Pernyataan Haedar menempatkan masalah pada ranah ini. Ia percaya bahwa bila fungsi dijalankan benar, struktur tidak perlu dibongkar. Hukuman disiplin, sidang kode etik, peradilan umum—semua itu dianggap cukup untuk menegakkan kembali integritas.

Dalam kerangka ini, kasus Sambo adalah deviasi. Teddy Minahasa adalah penyimpangan. Kanjuruhan adalah kesalahan prosedural. KM50 adalah insiden operasional. Semua bisa diperbaiki dengan memperkuat fungsi pengawasan, mempertegas komando, mengawasi pelaksanaan.

Struktural: Menyentuh Akar

Tetapi kritik publik melihat hal lain. Jika kesalahan berulang di berbagai tempat, di berbagai waktu, oleh berbagai orang, apakah itu masih bisa disebut sekadar deviasi? Atau justru menunjukkan bahwa sistem itu sendiri memang memfasilitasi deviasi?

Itulah perbedaan mendasar antara kerusakan fungsional dan kerusakan struktural.
Fungsional: ada aturan yang benar, hanya implementasinya yang salah.
Struktural: aturan, budaya, relasi kekuasaan, bahkan insentif yang ada justru memungkinkan atau mendorong kesalahan.

Dalam kasus Sambo, masalah bukan sekadar seorang jenderal yang tega membunuh ajudannya. Masalahnya adalah bagaimana sebuah institusi bisa membiarkan manipulasi bukti, menyusun narasi palsu, dan menempatkan puluhan orang dalam jaringan yang saling menutupi. Itu bukan sekadar fungsi yang tergelincir. Itu struktur yang mendukung kebohongan.

Dalam kasus Teddy Minahasa, publik terperangah karena seorang Kapolda bisa terlibat langsung dalam bisnis narkoba. Bagaimana mungkin seorang pejabat setinggi itu bisa lolos dari mekanisme pengawasan? Bukankah struktur promosi dan pengawasan seharusnya mencegahnya?

Tragedi Kanjuruhan lebih terang lagi: penggunaan gas air mata dalam stadion sebenarnya dilarang oleh FIFA. Tapi aturan itu tidak pernah dijadikan acuan. Mengapa SOP Polri tidak mengacu pada standar internasional yang melindungi nyawa? Itu bukan sekadar pelaksanaan, melainkan struktur kebijakan yang salah.

KM50 pun demikian. Hingga kini, publik tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi. Ketika kebenaran tak pernah hadir, yang cacat bukan sekadar fungsi, melainkan struktur akuntabilitas.

Dan Parcok? Di sinilah publik kehilangan batas sabarnya. Polisi yang seharusnya netral dalam pemilu justru dipersepsikan sebagai “partai politik” tersendiri. Itu bukan sekadar fungsi yang gagal dijalankan. Itu bentuk struktural dari hubungan Polri dengan kekuasaan yang menyimpang dari prinsip demokrasi.

Fungsi Menambal, Struktur Menentukan

Di sinilah dilema itu terasa. Perbaikan fungsional memang penting. Tanpa fungsi yang berjalan, struktur sehebat apa pun tak berarti. Tetapi perbaikan fungsional sering kali hanya seperti menambal ban bocor di jalan berlubang. Ban bisa ditambal, tapi kalau jalanan tetap rusak, ban akan bocor lagi.

Struktur adalah jalan itu sendiri. Ia menentukan ke mana kendaraan melaju, seberapa aman penumpangnya, dan seberapa cepat sampai tujuan. Struktur yang salah akan membuat semua fungsi terseret ke dalam kesalahan yang sama, lagi dan lagi.

Itulah mengapa kritik publik terus menekankan adanya kesalahan struktural. Bukan hanya soal oknum. Bukan hanya soal pelaksanaan. Tetapi soal pola yang tertanam dalam cara kerja institusi: budaya impunitas, loyalitas yang lebih dihargai daripada integritas, pengawasan internal yang tidak independen, dan hubungan yang terlalu erat dengan kekuasaan politik.

Penutup

Haedar mungkin benar dalam satu hal: negara tak boleh gegabah. Membongkar struktur tanpa arah bisa menimbulkan kekacauan baru. Tetapi menganggap semua masalah cukup dengan perbaikan fungsi juga berbahaya. Sebab publik sudah berkali-kali melihat bahwa perbaikan fungsi tak menghentikan pola kekerasan.

Pertanyaannya kini: sampai kapan kita menganggap semua ini sekadar deviasi? Berapa banyak nyawa harus melayang sebelum kita berani menyebut bahwa masalahnya bukan hanya fungsi, melainkan struktur?===

Advertisement
Previous articleJokowi dan Sepuluh Tahun Rezim Maling di Indonesia
Next articlePerayaan Identitas

Tinggalkan Komentar