Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pidato dan wawancara presiden terpilih Prabowo Subianto di sejumlah forum nasional dan internasional menjadi bahan perbincangan di berbagai media. Prabowo berusaha membangun optimisme, bahwa Indonesia akan menjadi bangsa besar dan negara kuat. Ia optimis dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi 8 persen dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Ia berjanji akan bekerja sangat keras untuk itu.
Secara pribadi, Prabowo Subianto sudah meraih kedudukan tinggi dalam bidang ekonomi, sosial, dan juga politik. Sekarang saatnya ia berjuang untuk menerapkan gagasan-gagasan mulianya demi kemajuan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tentu semua sadar, termasuk Prabowo, bahwa tantangan yang dihadapi tidaklah ringan.
Saat ini, kondisi bangsa Indonesia bukan sedang baik-baik saja. Prabowo sudah menggambarkan kondisi itu dalam bukunya: “Paradoks Indonesia dan Solusinya” (Jakarta: PT Media Pandu Bangsa, 2022).
Tapi, buku itu baru memaparkan kondisi paradoks Indonesia dari aspek fisik. Aspek jiwa manusia Indonesia dan jiwa bangsa belum digambarkan secara rinci. Padahal, inilah akar masalah bangsa kita. Kondisi manusia Indonesia, menurut budayawan Mochtar Lubis, perlu mendapat perhatian serius. Sebab, katanya, karakter utama manusia Indonesia adalah MUNAFIK. Lain bicaranya, lain pula perbuatannya.
Kata Rasulullah saw, tanda orang munafik itu ada tiga: (a) jika berkata ia bohong, (b) jika berjanji, ia ingkar (c) jika diberi amanah, ia khianat. Intinya, adalah masalah minimnya sifat kejujuran (ash-shidqu). Masih ada penyakit-penyakit jiwa lainnya yang merusak manusia, seperti sifat cinta dunia (hubbud-dunya), dengki (hasad), malas (kasl), lemah (‘ajz), sombong (kibr), penakut (jubn), dan sebagainya.
Kondisi manusia Indonesia perlu dipahami secara utuh dan disusun program program yang jelas untuk membangun manusia Indonesia yang unggul. Selama “penyakit jiwa” itu tidak diberantas, maka tidak mungkin manusia Indonesia akan maju, secara hakiki. Mohammad Natsir menyebut, penyakit jiwa manusia Indonesia yang paling berbahaya adalah kecintaan kepada dunia yang berlebihan!
Konsep kemajuan manusia dan bangsa pun terkait dengan aspek jiwa dan raga. Karena itu, pesan lagu kebangsaan kita pun tegas: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Pepatah Latin menyatakan: “Mens sana in corpore sano!” (Pikiran sehat ada dalam badan yang sehat).
Jadi, kriteria “kemajuan” pun sepatutnya tidak hanya diukur dari aspek materi. Kemajuan jiwa adalah diraihnya kebahagiaan hidup. Dan itu hanya bisa diraih jika manusia semakin dekat dengan Tuhannya.
Bertambahnya duit, naiknya jabatan, atau meluasnya popularitas tak selalu sejalan dengan kebahagiaan (sa’adah/happiness). Kriteria kemajuan terpenting bagi seorang manusia adalah “kedekatannya kepada Tuhan Yang Maha Esa!” Sebab, semakin dekat dengan TUJUAN yang pasti dan abadi, maka itulah hakikat kemajuan sejati.
Jadi, problema bangsa kita sepatutnya dipandang dan dianalisis secara komprehensif; jiwa dan raga; aspek fisik dan meta-fisik. Maka, solusinya pun bersifat komprehensif. Imam al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulumiddin, sudah merumuskan konsep jatuh bangunnya suatu bangsa atau peradaban: “Rakyat rusak karena pemerintahnya rusak, pemerintah rusak karena ilmuwannya rusak, dan ilmuwan rusak karena cinta harta dan cinta kedudukan!”
Secara ekonomi, tantangan Indonesia pun tak ringan. Dengan jumlah Utang Luar Negeri yang sudah diatas Rp 8000 triliun dan birokrasi pemerintahan yang belum ideal, maka angka korupsi dan pemborosan anggaran sangat susah dicegah. Ini salah satu Pekerjaaan Rumah yang sangat berat bagi semua pemimpin di Indonesia.
Dalam menghadapi berbagai tantangan nasional dan internasional dewasa ini, ada baiknya kita merenungkan kembali Pidato Mohammad Natsir di Majelis Konstituante, pada 12 November 1957. Natsir menggambarkan Indonesia sedang berada di simpang jalan. Sepatutnya kita berhenti sejenak, berpikir cerdas dan bijak, apakah kita akan mengikuti jalan Tuhan Yang Maha Esa atau jalan sekuler.
Beginilah nasehat Mohammad Natsir untuk bangsa Indonesia: “Pada akhirnya pokok persoalan kembali kepada pilihan sebagai orang di persimpangan jalan, apakah akan meneruskan sekulerisme dengan segala akibatnya, ataukah akan kembali kepada tuntunan Ilahi…”
Dan di akhir pidatonya, Mohammad Natsir menawarkan pilihan untuk memilih jalan Ilahi, jalan Tuhan Yang Maha Esa: “…dengan penuh tanggung jawab kami ingin mengajak bangsa kita, bangsa Indonesia yang kita cintai itu, untuk siap siaga menyelamatkan diri dan keturunannya dari arus sekulerisme itu, dan mengajak dengan sungguh-sungguh supaya dengan hati yang teguh, merintis jalannya memberikan dasar hidup yang kukuh kuat sesuai dengan fitrah manusia, agar akal kita dan kalbunya, seimbang kecerdasan dengan akhlak budi pekertinya, yang hanya dapat dengan kembali kepada tuntunan Ilahi.”
Dan Tuhan Yang Maha Esa sudah menjanjikan: “Jika penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, pasti akan kami bukakan pada mereka keberkahan dari langit dan bumi…” (QS al-A’raf: 96).
Semoga kita tidak salah jalan. Amin! (Depok, 12 Mei 2024).