Catatan Cak AT

Esai ini mencoba melihat fenomena premanisme dengan sudut pandang satir, namun tetap berbasis pada realitas yang ada. Jika Anda merasa lucu, itu karena realitanya memang terkadang sangat ironis.

Kita tahu, Kapolri marah besar. “Sikat habis,” perintah pak Listyo Sigit Prabowo mengenai preman kuncir, yang baru saja ditangkap dalam kasus penyerangan diskusi Forum Tanah Air di Hotel Kemang, Jakarta. Kita tunggu, seberapa manjur perintah pak Sigit mengatasi premanisme di Tanah Air.

Tapi, coba bayangkan sejenak Indonesia tanpa preman. Sulit, bukan? Premanisme di negeri ini sudah seperti sambal di nasi goreng—meskipun pedas, orang tetap mencari. Di pasar, terminal, atau bahkan di arena politik, preman telah menjadi aktor penting dalam narasi kehidupan kita.

Mereka bukan sekadar penjaga parkir liar atau penguasa terminal bus. Tidak, mereka adalah stakeholders —tokoh penting dalam demokrasi yang berfungsi seperti “kunci” politik. Kalau tidak percaya, tanya saja politisi-politisi kita yang kerap “dijaga” oleh mereka. Anda tahu, si preman kuncir dan kawan-kawannya divideokan pernah hadir di acara satu partai kuning.

Lalu, juga ada tokoh-tokoh preman terkenal seperti John Kei dan Hercules. Mungkin bagi sebagian orang, nama mereka lebih dikenal daripada para wakil rakyat di parlemen. Dan ironisnya, kadang mereka memang lebih bisa diandalkan. Ketika aparat tidur siang, para preman ini bekerja keras menjaga “keamanan” di wilayah yang mereka kuasai.

Preman pasar, preman terminal, bahkan preman politik! Tidak ada yang tidak dijaga oleh mereka. Para politisi bahkan tampak seperti “kuncen” yang menjaga stabilitas wilayah dengan jasa para “kuncir” (sebutan satir untuk preman yang pernah menghebohkan publik belakangan ini).

Apakah kita sedang bercanda? Tentu saja tidak. Ini adalah realitas yang suram, dibalut dengan humor kelam. Premanisme tidak hanya menciptakan ketakutan di jalanan, tetapi juga telah mengakar ke dalam politik. Dalam istilah halus, mereka adalah “pengaman.” Dalam istilah kasar, mereka adalah kunci dari banyaknya kebijakan yang tak kunjung beres.

Jika ada seorang politisi yang ingin terpilih, dia tidak hanya memerlukan dukungan rakyat, tetapi juga preman lokal yang siap mendukungnya. Kalau tidak, siapa yang akan mengamankan spanduk kampanye dari tangan jahil kompetitor? Juga, siapa yang akan mengamankan suara di Pemilu?

Di tengah peliknya masalah premanisme ini, ada satu solusi yang mulai dilirik oleh banyak pihak: Bukele Model. Bagi yang belum tahu, ini adalah model manajemen preman ala El Salvador yang diperkenalkan oleh Presiden Nayib Bukele.

Model ini tidak menggunakan tangan lembut, melainkan tangan besi (atau mungkin lebih tepatnya, tangan keplak). Bukele dengan tegas memberantas geng kriminal di negerinya dengan cara yang sangat straight to the point: tangkap, penjarakan, dan kalau perlu, buang kunci selnya jauh-jauh.

Bukele berhasil mengurangi angka kriminalitas di El Salvador ke tingkat yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Tingkat pembunuhan turun drastis, geng-geng kriminal yang dulunya seperti raja jalanan, sekarang meringkuk di balik jeruji. Dan, tentu saja, tingkat persetujuan rakyat terhadap Bukele melonjak sampai 90 persen. Siapa yang tidak suka melihat preman digelandang tanpa ampun?

Hanya saja, mungkin ada sedikit masalah: untuk mengatasi kriminalitas, Bukele harus mengorbankan demokrasi. Sedikit banyak, ia harus menangguhkan hak-hak dasar rakyatnya, seperti kebebasan berserikat, kebebasan pers, dan kebebasan untuk bernapas lega tanpa merasa diawasi tentara di setiap sudut jalan.

Tentu kita bisa berspekulasi. Di Indonesia, di mana kebebasan bersuara itu seperti menu wajib setiap makan siang, apakah pendekatan semacam ini bisa diterima?

Bayangkan saja, kita tiba-tiba mendapati pasukan polisi dan tentara patroli di setiap terminal, setiap pasar, atau bahkan di ruang tunggu kantor partai politik, memastikan tidak ada preman yang berkeliaran. Sedangkan saat ini, preman dan politisi justru seringkali berjalan beriringan, seperti aktor dan pengawalnya.

Premanisme, kalau kita lihat dengan kaca mata lebih jernih (dan mungkin sedikit satir), adalah hasil sampingan dari demokrasi yang belum matang. Demokrasi mengandalkan penegakan hukum, transparansi, dan keadilan.

Tapi di Indonesia, di mana hukum sering kali seperti “karet,” preman justru mendapat panggung. Mereka mengambil peran sebagai “penegak hukum” alternatif di wilayah-wilayah yang terabaikan oleh negara. Di saat polisi sibuk mengurus rapat dengan politisi, preman sudah bergerak cepat menyelesaikan masalah dengan cara yang “efektif.”

Mungkin inilah mengapa banyak politisi tampak “bersahabat” dengan preman. Siapa lagi yang bisa menyelesaikan masalah tanpa berbelit-belit, kalau bukan mereka? Di saat birokrasi terjebak dalam putaran kertas-kertas perizinan, preman langsung menyelesaikan masalah dengan satu kali tatapan sinis atau tendangan maut. Efisien? Tentu saja. Sesuai hukum? Tunggu dulu.

Lantas, apakah kita perlu meniru Bukele Model di Indonesia? Mari kita lihat lebih dalam. Bukele berhasil di El Salvador, tetapi dengan harga mahal: hak asasi manusia. Ia menciptakan “keamanan” dengan mengorbankan kebebasan.

Di Indonesia, di mana kita sudah merayakan kebebasan sejak era reformasi, tindakan seperti ini akan memancing protes besar-besaran. Bayangkan saja jika seorang pemimpin di sini menangguhkan hak-hak konstitusional untuk memberantas preman. Bukannya preman yang tertangkap, justru masyarakat sipil yang akan turun ke jalan.

Selain itu, Bukele Model mengandalkan kekuatan negara yang terpusat, sementara Indonesia memiliki sistem desentralisasi yang membuat setiap daerah memiliki otonominya sendiri. Ini berarti, meskipun di satu daerah preman bisa diberantas, di daerah lain mereka bisa tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Lagi pula, siapa yang menjamin bahwa setelah preman hilang, tidak akan muncul preman-preman baru dengan model bisnis yang lebih canggih? Preman 2.0, mungkin?

Jika kita tidak ingin jatuh ke dalam jebakan tangan besi ala Bukele, mungkin kita perlu pendekatan yang lebih “berhati.” Mengatasi premanisme bukan hanya soal menangkap dan menendang mereka ke balik jeruji, tetapi juga memberdayakan masyarakat.

Bukankah premanisme tumbuh karena adanya celah? Ketika negara absen dalam memberikan rasa aman, ketika kemiskinan merajalela, ketika keadilan tidak bisa ditegakkan, preman hadir sebagai solusi alternatif. Ironisnya, solusi ini lebih diterima oleh sebagian masyarakat dibandingkan sistem hukum resmi.

Jadi, daripada kita mengandalkan “tangan besi,” kenapa tidak memperkuat sistem hukum, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memperbaiki pendidikan? Dengan demikian, preman akan kehilangan panggung mereka. Mereka tidak akan lagi dibutuhkan sebagai “penegak hukum informal” karena negara hadir di setiap sudut, memberikan rasa aman dan keadilan yang sebenarnya.

Dan siapa tahu? Mungkin suatu hari kita bisa berkata: “Indonesia, negeri yang bebas dari premanisme.” Tapi sampai hari itu tiba, kita mungkin masih harus berhadapan dengan para preman yang bercokol di pasar, terminal, dan —tentu saja— di arena politik.

(Catatan Cak AT/Ahmadie Thaha [05.10.2024])

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar