Oleh : Jacob Ereste
Puisi itu bukan satra yang memonopoli bahas yang indah, ekspresif dan menghunjamkan makna yang dalam, karena karya puisi memang dominan mengekspresikan perasaan sehingga kata ucapnya memakai bahasa hati, nyaris tidak memakai otak. Karena itu pula karya puisi sangat imajinatif dan memiliki ritme dan rimanya yang khas.
Lebih dari itu, karya puisi agak lebih ekspresif memuat perasaan dan emosi manusia yang membuatnya dengan gaya dan tampilannya yang sangat personal. Tak kecuali karya puisi klasik, puisi modern atau yang kontemporer atau yang paling Avantgarde sekalipun. Namun yang lebih jelas, karya puisi dapat lebih asyik untuk dinikmati, karena karya puisi memberi ruang yang lebih luas untuk diinterpretasikan dengan berbagai cara atau bahkan suka cita selera dan keinginan serta hasrat para penikmatnya.
Jadi karya puisi seperti pelayan untuk memanjakan penikmatnya sebagai majikan untuk dilayani dan didengar suara hatinya dan dapat dijadikan sarana yang paling efektif dan kita untuk mengungkapkan perasaan, tanpa harus terlalu patuh dan taat pada otoritas pikiran yang yang acap otoriter dan menindas kebebasan dan kemerdekaan.
Karena itu karya puisi adalah ungkapan dari bahasa hati, bukan bahasa otak, apalagi yang sok ilmiah. Lalu disinilah pertautan perkawinan bahasa hati dengan bahasa otak yang melahirkan anak keturunan bernama puisi esai. Sebab esai itu asli turunan langsung dari otak, sehingga jenis DNA-nya (Dioxyribo Nucleic Acid) sangat fanatis pada kekuasaan akal pikiran. Jadi dalam perkawinan silang antara jenis kelamin puisi dengan jenis kelamin esai — posisinya bisa lelaki dan perempuan atau sebaliknya — hingga kelak ketika membuahkan hasil dari perkawinan silang itu tinggal kromizom mana yang lebih kuat dan dominan, akan sangat tergantung kekuatan dari jenis kelamin mana yang lebih unggul birahinya.
Artinya, bila kromosom — struktur yang membangun fungsi genetik danv protein untuk mereproduksi sel pembuahan — akan sangat menentukan hasil (produk) yang dilahirkan. Jika yang dominan adalah puisi, maka nuansa dan frekuensi sastra akan lebih menonjol, tapi bila sebaliknya, maka yang dominan menandai kegantengan atau kecantikan karya puisi esai itu pun jadi sebaliknya.
Pendek kata, puisi esai itu bagi saya persis seperti perkawinan manusia dari suku bangsa yang berbeda hingga membangun suku bangsa baru — blasteran — antara pikiran hati dengan pikiran otak. Jadi, semacam perkawinan antara dua suku bangsa Jawa dengan Lampung, atau suku bangsa Lampung dengan Jawa.
Yang pasti, kalau yang dominan itu adalah jenis kelamin puisi, maka anak turunan dari karya puisi esai itu akan dominan mempunyai ciri khas sastra yang kental. Tapi kalau sebaliknya — esai yang dominan — maka bahasa otak yang akan lebih mewarnai watak dan karakter karya yang disebut puisi esai itu.
Dari pemahaman dan pengertian serta kesadaran terhadap kehadiran puisi esai ini dapat dimengerti adanya keganjilan dari perkawinan sejenis yang naib dan muskil, sebab perkawinan sejenis itu menjadi terkesan aneh bahkan diharamkan. Sebab artinya bisa disebut LBGT — justru tidak hanya sulit untuk dimengerti apalagi hendak diterima oleh akal dan budaya sastra yang waras. Karena hanya untuk menjelaskan tentang lebihan, gay, biseksual dan transgender (LGBT) itu perlu studi 6 semester di perguruan tinggi yang mempunyai mata kuliah tentang penyebab dari kelainan dari penyimpangan kodrat yang aneh ini. Maka itu, mendalami puisi esai ada baiknya ditekuni lebih serius, agar khazanah sastra Indonesia yang terkesan sedang mati suri tidak mati sungguhan.
Banten, 27 Mei 2025
Advertisement