Oplus_16908288

Stabilitas Negara, Ketahanan Ekonomi, dan Arsitektur Risiko

Oleh: Radhar Tribaskoro

Saya telah menulis tentang Purbaya sebagai menteri keuangan yang tidak saja peduli dengan kecukupan mata air uang tetapi juga dengan alirannya sehingga tidak mengendap, boros dan bocor. Tetapi apa kata Purbaya tentang UMKM tempat 97% pekerja Indonesia memperoleh penghidupannya?

Selama ini ada yang terlewat dalam perbincangan tentang UMKM. Kita menyebut mereka sebagai tulang punggung ekonomi, sebagai penyerap tenaga kerja, bahkan sebagai simbol ketahanan bangsa. Tetapi kita sering lupa memandang mereka sebagai bagian dari arsitektur fiskal negara; sebagai fondasi yang menentukan apakah APBN mampu bertahan menghadapi badai global atau justru goyah ketika gejolak harga dunia datang tak terduga. Di sinilah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menekankan cara baca baru yang jauh lebih strategis tentang UMKM.

Purbaya, dalam berbagai kesempatan sepanjang kariernya—mulai dari Deputi Menko Perekonomian, Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), hingga kini menjadi Menkeu—berulang kali menekankan bahwa kekuatan ekonomi Indonesia tidak terletak pada segelintir korporasi besar, melainkan pada sebaran ekonominya (Purbaya, CNBC Indonesia, 2022).

UMKM Penyangga Stabilitas Makro

Ekonomi Indonesia kuat karena tersebar, karena hidup dari jutaan unit usaha kecil, rumah tangga, dan pekerja mandiri yang setiap hari menjalankan roda produksi dan konsumsi tanpa banyak terlihat.

Dalam salah satu wawancaranya, Purbaya menyebut bahwa resiliensi Indonesia selama pandemi adalah hasil dari daya adaptasi ekonomi rakyat, bukan semata kebijakan makro. Pernyataan ini bukan retorika. Ia berdiri di atas analisis struktural mengenai bagaimana konsumsi domestik, jaringan produksi kecil-menengah, serta adaptasi mikro-ekonomi berperan sebagai peredam kejut (shock absorber) terhadap gejolak global. Fakta bahwa Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang tidak masuk resesi pada 2020–2021, misalnya, dijelaskan Purbaya sebagai akibat dari ketangguhan ekonomi rakyat dan struktur konsumsi domestik yang luas (KSSK Press Briefing, 2021)

Pandangan ini menggeser cara kita melihat UMKM. Mereka bukan sekadar bagian dari sektor informal, penerima bantuan pemerintah, atau sering dileceh sebagai kelompok residual. Mereka adalah stabilizer alami perekonomian. Dalam konteks pandemi, misalnya, UMKM dengan cepat menyesuaikan diri: pedagang makanan berpindah ke penjualan daring, produsen kecil mengubah bahan baku ketika harga naik, dan usaha rumahan mengambil alih permintaan yang ditinggalkan sektor formal. Adaptasi semacam ini, menurut Purbaya, adalah kualitas unik yang tidak dimiliki korporasi besar. Bukti dari “fleksibilitas ekstrim” sektor UMKM. Ia menggerakkan ekonomi dari bawah, menjaga aliran transaksi harian, dan secara langsung menahan tekanan inflasi yang lebih dalam.

Di luar masa pandemi, ketangguhan ini juga terlihat pada cara UMKM menyerap fluktuasi harga global. Ketika perang Ukraina memicu lonjakan harga energi dan pangan, para pelaku usaha kecil tidak menunggu instruksi pemerintah. Mereka menyesuaikan ukuran porsi, mengganti pemasok, mengubah komposisi barang, atau bahkan memindahkan lini produk. Di balik statistik inflasi yang tampak terkendali, terdapat jutaan keputusan kecil yang menyelamatkan kestabilan harga. Purbaya menggarisbawahi hal ini dalam beberapa pernyataan publiknya, bahwa stabilitas inflasi Indonesia tidak hanya lahir dari kebijakan moneter dan fiskal, melainkan dari kecerdasan adaptif sektor rakyat (CNBC 2023). Ada kecerdasan kolektif di sana yang tidak dirumuskan dalam rapat kabinet, tetapi bekerja seperti mekanisme otomatis masyarakat.

UMKM sebagai Arsitektur Risiko Negara


Jika demikian, maka UMKM harus dipahami bukan hanya dalam kategori sosial atau ekonomi, tetapi juga dalam kategori risiko fiskal (Wawancara Tempo, 2024). Dalam kerangka berpikir Purbaya, UMKM adalah bagian dari peta risiko negara. Mereka rentan terhadap perubahan harga input seperti pupuk, pakan ikan, gandum, atau gas—komoditas strategis yang fluktuasinya ditentukan oleh peristiwa ribuan kilometer jauhnya. Mereka juga rentan terhadap perubahan regulasi yang sering bergerak cepat di tingkat pusat tanpa terjemahan yang memadai bagi tingkat akar rumput. Purbaya berulang kali mengingatkan bahwa kebijakan yang baik bukan hanya yang dirumuskan dengan niat baik, tetapi yang dapat diprediksi dan dipahami oleh pelaku ekonomi kecil. Ketidakpastian administratif dapat mematikan usaha sama cepatnya dengan kenaikan harga impor (KompasTV, 2023).
Ada pula dimensi geopolitik yang tak bisa diabaikan. Dalam beberapa tahun terakhir, Purbaya berkali-kali menyoroti bagaimana perang Ukraina, ketegangan AS–Cina, hingga perubahan kebijakan suku bunga Amerika berpengaruh langsung terhadap nilai tukar rupiah dan harga komoditas domestik. Pelaku UMKM mungkin tidak mengikuti berita internasional, tetapi mereka adalah pihak yang paling merasakan dampak dari perubahan global ini. Ketika harga kontainer internasional naik empat kali lipat, usaha kecil yang menjual produk impor dan ekspor langsung tercekik. Ketika nilai rupiah melemah, margin usaha kecil tergerus lebih cepat daripada perusahaan besar yang punya lindung nilai dan kontrak jangka panjang. Dalam konteks inilah edukasi risiko menjadi penting: negara membutuhkan sebuah mekanisme yang menghubungkan analisis makro dengan realitas mikro, agar pelaku UMKM tidak berjalan dalam gelap.

UMKM sebagai Infrastruktur Ketahanan Nasional

Pada titik ini kita dapat melihat mengapa Purbaya menyebut kekuatan utama Indonesia bukan pada ukuran, tetapi pada sebarannya. Ekonomi yang tersebar—atau dalam istilah Nassim Nicholas Taleb, distributed economy—memiliki kualitas antifragile: ia tidak hanya tahan terhadap guncangan, tetapi sering justru menemukan cara untuk tumbuh dari tekanan.

Ketika perusahaan besar melakukan pemutusan hubungan kerja, sektor informal menyerap tenaga kerja yang terdampak. Ketika ada gangguan rantai pasok global, usaha kecil di tingkat lokal menemukan cara untuk menghubungkan kembali produksi dengan bahan baku yang tersedia. Ketika pemerintah perlu menjaga kestabilan sosial, UMKM bertindak sebagai bantalan antara tekanan ekonomi dan potensi keresahan masyarakat.

UMKM Sebagai “Objek Penerima Bantuan”

Kita seharusnya tidak lagi memandang UMKM sebagai objek bantuan. Pendekatan lama yang berbasis proyek dan subsidi kecil terbukti tidak menciptakan ketahanan jangka panjang. Purbaya mengkritik pendekatan seremonial ini sejak lama: bantuan tunai, pelatihan generik, atau pembiayaan tanpa analisis risiko tidak menciptakan ekosistem yang sehat. Yang dibutuhkan UMKM adalah prediktabilitas harga input, akses pembiayaan yang adil, kepastian regulasi, pemahaman tentang arah kebijakan fiskal, serta kemampuan membaca risiko global. Dengan kata lain, UMKM membutuhkan arsitektur informasi, bukan hanya insentif.

Persoalan terbesar sektor UMKM hari ini bukan terletak pada kemiskinan atau kurangnya kreativitas, tetapi pada kesenjangan informasi. Pemerintah mengetahui arah kebijakan fiskal, mengetahui risiko global, mengetahui tekanan komoditas, tetapi informasi ini jarang turun dalam bentuk yang operasional bagi usaha kecil. Di sinilah peran institusi seperti Great Institute menjadi relevan.

Tugasnya bukan sekadar menjelaskan kebijakan, tetapi menerjemahkan kompleksitas makro menjadi wawasan yang dapat dipakai dalam keputusan harian: kapan membeli stok, kapan menaikkan harga, bagaimana mencari pemasok alternatif, bagaimana memprediksi dampak nilai tukar, atau bagaimana menilai risiko dari regulasi baru.

UMKM sebagai Modal Demokrasi


Pada akhirnya, pembacaan terhadap UMKM tidak bisa dilepaskan dari pembacaan terhadap demokrasi. Sebuah negara hanya dapat stabil apabila pelaku ekonominya tidak hidup dalam ketakutan akan kehilangan penghasilan setiap hari. Purbaya, dalam beberapa kesempatan, mengingatkan bahwa stabilitas sosial adalah produk dari stabilitas ekonomi rumah tangga. UMKM adalah tulang punggung itu: mereka menyediakan pekerjaan, mereka menciptakan kelas menengah, mereka memungkinkan masyarakat memiliki kebebasan untuk membuat pilihan politik yang rasional.

Banyak negara yang runtuh demokrasi dan ekonominya justru karena keruntuhan usaha kecil dan menengah, bukan karena kegagalan korporasi besar. Demokrasi, dalam pengertian modern, membutuhkan fondasi ekonomi yang tidak rapuh.

Melihat dari semua itu, UMKM bukan lagi entitas kecil dalam panorama pembangunan. Mereka adalah infrastruktur fiskal. Mereka adalah peredam gejolak global. Mereka adalah sistem distribusi kesejahteraan yang menjaga legitimasi negara. Mereka adalah bagian dari mekanisme stabilisasi APBN. Dan yang tak kalah penting, mereka adalah modal moral bagi keberlanjutan demokrasi. Jika negara ingin kuat, maka fondasinya harus kuat; jika fiskal ingin stabil, maka rumah tangga harus stabil; jika demokrasi ingin hidup, maka pelaku ekonomi harus memiliki martabat dan kemandirian.

Dalam perspektif inilah institusi seperti Great Institute bisa membantu: membangun jembatan antara dunia besar kebijakan fiskal dan dunia kecil keputusan harian warga. Menjadikan informasi sebagai daya, dan daya sebagai ketahanan. Membantu UMKM membaca risiko, agar mereka bukan lagi sekadar objek perubahan, tetapi subjek yang mampu menyusun masa depan mereka sendiri.

Inilah saatnya narasi tentang UMKM berubah: dari cerita tentang ketertinggalan menjadi kisah tentang kapasitas; dari belas kasihan menjadi strategi; dari bantuan menjadi arsitektur kebijakan.

Karena UMKM bukan hanya bagian dari ekonomi nasional. Mereka adalah denyutnya. Dan dalam denyut itulah masa depan fiskal dan demokrasi Indonesia menemukan bentuknya.===

Cimahi, 9 Desember 2025

Penulis adalah:
– Berijasah asli dari Jurusan Studi Pembangunan FE-Unpad
– Anggota Komite Eksekutif KAMI
– Ketua Komite Kajian Ilmiah Forum Tanah Air

Advertisement
Previous articleSastra Sebagai Narasi Reflektif Mitigasi Bencana
Next articleTanah Untuk Orang Miskin

Tinggalkan Komentar