Oleh: Maria A. Alcaff
Kadang saya merasakan lelah justu di pagi hari, saat membuka berita-berita di berbagai media.
Bagaimana tidak, belakangan ini semakin tampak bahwa kebijakan penguasa negeri ini benar-benar tidak berpihak pada rakyat. Rakyat? Ah siapa lah rakyat…
Jika dari bahasa Inggris, terjemahannya adalah “people”, dalam pengertian bahasa Indonesia, rakyat adalah bagian dari suatu negara atau unsur penting dari suatu pemerintahan.
Ya! Bukan kah rakyat itu juga penduduk? Bukan kah jika tidak ada penduduk, maka tidak mungkin berdiri suatu negara?
Bahkan jika suatu wilayah dengan kekayaan alam melimpah pun, jika tidak ada kerja sama antar manusia di lingkungan tersebut untuk mengeksplorasinya tidak akan ada produk alam apapun yang bisa dimanfaatkan.
Betul, bahwa di samping penduduk atau rakyat, suatu negara harus memiliki “pemerintahan” agar ada fungsi pengaturan dan ketertiban, yang pada akhirnya mereka yang menjalankan fungsi ini disebut sebagai pemerintah.
Dan betul juga pemerintah tidak mungkin mengatur “tiap individu” dalam wilayah politiknya.
Maka kemudian disepakati mekanisme perwakilan rakyat yang kemudian lewat pemilihan para wakil rakyat ini menjadi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Dan tentunya fungsi DPR serta pemerintah adalah paling tidak mencapai konsensus untuk menyatukan “aspirasi rakyat” dan kewenangan pengaturannya. Lewat DPR apa yang dibutuhkan rakyat disampaikan, lewat pemerintah, dibuatkan regulasinya.
Maka kemudian, harapannya adalah mencapai tujuan bernegara yaitu pelaksanaan amanah Konstitusi UUD 1945, melindungi segenap tumpah darah, kemakmuran yang adil dan merata, mencerdaskan kehidupan bagsa serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ya, tentunya untuk mencapai suatu tujuan, kita semua punya hak dan kewajiban. Dan secara alamiah, kita sepakat setelah kita tunaikan kewajiban, maka kita pantas memperoleh hak-hak kita.
Ini jelas dan tidak boleh dilanggar.
Namun bagaimana kedudukan hak dan kewajiban itu? Mana yang lebih dulu ditunaikan? Baik oleh rakyat maupun oleh pemerintah. Jika rakyat telah menunaikan kewajibannya berupa, melimpahkan suara pada wakil-wakil rakyat, melimpahkan kewenangan dalam pengaturan negara, maka rakyat berhak atas manfaat pengelolaan negara ini, bukan?
Secara sederhana, bidang yang paling bersentuhan antara pemerintah dan rakyat adalah bidang ekonomi.
Jika rakyat bisa mendapatkan akses untuk bekerja, mendapatkan penghasilan, maka kewajiban-kewajiban seperti membayarkan pajak, dan lain-lain akan dipenuhi secara berkelanjutan.
Tapi, apakah kesepakatan itu terjadi? Apakah regulasi yang kemudian diturunkan sebagai kebijakan-kebijakan pemerintah menjadi jalan tujuan tadi?
Mari kita intip Pasal 33 UUD 1945, (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan , kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Perekonomian menurut para ahli, adalah serangkaian besar kegiatan produksi dan konsumsi yang saling terkait yang membantu dalam menentukan bagaimana sumber daya yang langka dialokasikan.
Sedangkan tujuan utama kegiatan ekonomi yaitu memaksimalkan kepuasan manusia, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Maka, tujuan ekonomi diukur dengan seberapa besar kebutuhan manusia yang terpenuhi melalui kegiatan ekonomi.
Dan jika Pasal 33 ayat 1 di atas diterapkan, tentu yang diuntungkan adalah kedua belah pihak. Karena pemerintah bukan saja keluarga (jika relevansinya azas kekeluargaan), melainkan pemerintah lahir dari rakyat juga. Artinya dengan kekayaan melimpah seperti negara Indonesia ini, baik pejabat pemerintahan maupun rakyatnya sudah terpenuhi tingkat kepuasan dari hajat hidupnya.
Tapi, apakah realisasinya seperti itu?
Duh, pada bagian ini saya benar-benar harus menata tulisan saya, karena saya juga rakyat, rasanya ada yang ingin saya tumpahkan, bukan sebatas suara hati saya, melainkan mereka yang juga rakyat, yang juga merasakan “terpental jauh” dari azas kekeluargaan seperti pada ayat 1 Pasal 33 tersebut.
Ya, karena pada ayat 2, terdapat “dikuasai oleh negara”. Jika kita lihat cabang-cabang penting yang meliputi hajat hidup orang banyak memang sudah dikuasi oleh negara!
Baik perdagangan, pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan, transportasi, kesehatan, dan lain-lain bukan kah sudah dikuasai negara? Untuk mendapatkan akses ke bidang-bidang tersebut bukan kah rakyat sudah memenuhi kewajiban?
Pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan, pajak badan usaha, iuran asuransi kesehatan, iuran jaminan hari tua dan pensiun, pajak perbankan, pajak dalam segala tagihan atas kebutuhan hidup seperti listrik, air, gas, telepon, bahkan untuk membeli 1 botol air mineral pun, tiap orang membayar pajak barang kebutuhan dan pajak pelayanan?
Maka jika dari pajak-pajak tersebut rakyat mendapatkan layanan yang baik, semua adalah “kewajaran”.
Sekalipun kemudahan dan manfaat yang rakyat dapatkan di bidang-bidang ekonomi itu, itu suatu kewajaran, tidak ada yang istimewa karena itu adalah kausalitas semata. Rakyat tunaikan kewajiban, maka dapatkan haknya!
Bahasa sederhana rakyat atau netizen di media sosial, bukan kah rakyat selalu bayar cash untuk kebutuhan hidup?
Lagi-lagi apakah realisasinya seperti itu?
* Dari buku Ilmu Negara (2019) karya Agussalim Andi Gadjong dan kawan-kawan, G.S. Diponolo mendefinisikan bahwa rakyat hanyalah sebagian dari bangsa, yakni manusia yang tidak berada di pucuk pimpinan.
* Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa rakyat adalah otonom yang mempunyai hak dan kewajiban, seperti yang telah dijelaskan dalam konstitusi sebuah negara.
* Emha Ainun Najib menyatakan bahwa rakyat adalah sekumpulan orang yang diatur oleh pihak yang berkuasa. Sehingga rakyat wajib serta dipaksa tunduk pada kebijakan yang dibuat oleh pihak penguasa.
* Sementara kita bisa temukan narasi-narasi netizen di medsos yang menyatakan bahwa rakyat adalah pendaringan penguasa, mangsa dari drakula penghisap darah, dan lain-lain.
Ya, tentu saja keresahan rakyat akan terus disuarakan mana kala “kewajaran” hasil kausalitas antara hak dan kewajiban tidak dirasakan rakyat. Jangankan kewajaran, yang ada justru hanyalah kesulitan yang mendera.
Harga barang pokok yang mahal. Baru-baru ini pun terdapat antrian orang yang membeli beras.
Negara kaya dengan SDA melimpah semua harga serasa mencekik.
Akan terlalu panjang jika saya tumpahkan semua keluhan. Dan ini, baru di bidang ekonomi.
Belum lagi pendidikan, UKT yang kini mahal meski di perguruan tinggi negeri. Belum lagi keluhan pertengahan tahun ini dengan diterapkannya sistem zonasi yang tidak berkeadilan.
Di bidang kesehatan, meski rakyat sudah membayar iuran BPJS Kesehatan, layanan tetap saja terkesan tidak manusiawi. Mekanisme antri dan dipontang panting begitu memilukan dirasakan pasien dan keluarganya.
Ah, lelah sekali jika terus mengucap keluhan ini setiap hari, namun di lain sisi bagaimana jika suara ini tidak tersampaikan?
Belum lagi mimpi buruk PSN (Proyek Strategis Nasional) yang kini justru menjadi momok bagi rakyat.
Tidur malam menjadi tak nyenyak karena kuatir pemerintah tiba-tiba mengumumkan wilayah mana yang diklaim sebagai PSN. Ketakutan akan tergusur dari ruang hidup dan tanah ulayat dirasakan di banyak tempat. Tuban, Papua, Wadas, Trenggalek, Manado, Pulau Komodo, dan yang sekarang sedang panas yaitu Rempang. Menyusul kemudian di Bandung, Sumatera Barat dan entah di wilayah mana lagi.
Di mana wakil rakyat? Di mana pemimpin-pemimpin yang setiap 5 tahun mengemis suara pada rakyat? Menebar janji manis seolah dewa penolong dari kesulitan? Apakah mereka hanya butuh suara sebagai legitimasi untuk duduk di kursi terhormat lalu saat menjabat jadi lupa daratan? Lupa kepada siapa yang telah melimpahkan kewenangan dan menghantarkan mereka bekerja dengan segala fasilitas mewah yang mereka dapatkan?
Jika rakyat adalah unsur penting dalam suatu negara, jika seluas atau sekaya apapun suatu wilayah, jika tidak ada penduduk atau rakyat, maka tak kan ada negara. Artinya, rakyat sebenarnya lah penentu adanya sebuah negara. Rakyat melahirkan pengelola atau pemerintahan yang mencerminkan berdaulatnya negara tersebut, jelas rakyat sebenarnya lah penentu atau pemegang kedaulatan penuh.
Kedaulatan adalah konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Teori kedaulatan rakyat, yakni teori yang menyatakan bahwa kekuasaan suatu negara berada ditangan rakyat sebab yang benar- benar berdaulat dalam suatu negara adalah rakyat.
Nah, adanya Trias Politika yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif dalam demokrasi di Indonesia, dasarnya adalah rakyat melimpahkan kekuasaannya kepada mereka yang dipilih untuk mengelola kekayaan negara.
Bak majikan kaya, sang majikan melimpahkan kewenangan mengatur rumah tangganya kepada koki untuk memasak, kepada tukang kebun untuk mempercantik taman di pekarangan rumah, kepada akunting untuk mengatur cash flow rumah tangga, kepada baby sitter untuk menjaga anak, kepada supir untuk mengantar ke manapun, kepada juru bersih untuk membersihkan dan merapikan rumah, kepada satpam untuk menjaga keamanan rumahnya.
Majikan hanya perlu menyiapkan kewajibannya untuk membayar pekerjaan sesuai job desk masing-masing pekerja.
Jika mereka tidak kompeten atau secara ekstrim malah merugikan majikan, maka majikan tinggal memecat dan menggantinya dengan yang lebih proper.
Sesederhana itu. Sederhana namun jika dikerjakan dengan penuh tanggung jawab, maka akan terjalin hubungan kerjasama saling menguntungkan.
Tapi, ya rakyat Indonesia memang pernah punya sejarah dijajah bangsa asing.
Rumah mewahnya disatroni maling, digerus kekayaannya, ditangkap lalu disekap sang majikan dan para pekerjanya dialihkan bekerja kepada si maling (penjajah) bahkan tanpa dibayar karena diancam nyawanya untuk mematuhi semua keinginan si maling. Namun sejarah juga mencatat, bahwa kebangkitan kesadaran dari sang majikan akhirnya bisa menyulut perlawanan. Lalu bersama-sama majikan dan pekerja untuk mengenyahkan si maling.
Sejarah seharusnya jadi pembelajaran agar kita mawas untuk tidak terulang lagi pengalaman menyakitkan itu. Tetapi tak jarang mental bekas jajahan, takut akan ancaman dan tekanan, menjadikan pekerja-pekerja ini sebatas anjing penjaga rumah. Memang mereka menggonggong jika terjadi suatu yang mengganggu, namun ketika si maling datang membawa daging segar untuk dilahapnya, para anjing penjaga lebih memilih melahapnya agar kenyang tak peduli lagi si maling berpesta pora menggasak seluruh kekayaan rumah yang dijaganya.
Legislatif yang mewakili rakyat kini seolah tak lagi jadi perpanjangan lidah rakyat, apakah lidahnya hanya menjulur buat sesiapa yang memberi daging segar lebih banyak?
Eksekutif yang seharusnya bekerja sesuai job desk mereka , hanya memanfaatkan stok barang di rumah mewah itu dan dikerjakan sekena hati. Menuliskan anggaran belanja setinggi mungkin, kadang mencatut harga-harga barang, lau menuliskan laporan seolah pekerjaan beres, kemudian minta upah setinggi-tingginya.
Kadang mereka berkhianat dengan kasak kusuk kepada pengasong-pengasong kebutuhan rumah, mengelabui nota belanja, dan pada akhirnya majikan merugi.
Itu lah wajah Eksekutif yang tidak amanah, korup dan khianat.
Sementara Yudikatif pun, sudah bekerjasama dengan Legislatif dan Eksekutif. Mereka saling korup saling khianat demi daging segar yang jumlahnya lebih banyak.
Berbagai produk kebijakan yang tidak pro rakyat diloloskan oleh Legislatif yang terkesan sebagai stempel legalisasi saja. Lalu menjadi perundang-undangan yang justru menjerat rakyat.
Dan karena pengelola negara adalah pekerja yang memegang pelimpahan kewenangan, bak penguasa yang mengatur dan menekan rakyat untuk patuh pada semua aturan.
Saat kita evaluasi atas nama hukum dan keadilan, maka Yudikatif hanya membenarkan apa yang dilaksanakan pemerintah.
Rakyat miskin, harga-harga barang pokok yang mencekik leher, BBM yang naik terus, inflasi, utang luar negeri yang terus membengkak, lapangan kerja yang semakin minim akibat peluangnya justru diberikan untuk asing, UU Omnibus Cipta Kerja yang merugikan rakyat kecil dan membersarkan para cukong, kekayaan alam yang secara ugal-ugalan diserahkan pada asing, kebebasan berpendapat yang dibelenggu serta penerapan hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas, dan semua ketidak adilan yang saat ini dirasakan rakyat bukan hanya membuat raga dan sukma ini lelah.
Mereka yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru berpesta pora memperkaya diri, korupsi, nepotisme hingga membangun politik dinasti, sudah cukup menjadi alasan bahwa fungsi para pemangku jabatan pelaksana Trias Politika tidak berjalan semestinya.
Mereka khianat, mereka merampas apa yang dimiliki rakyat.
Lalu apa yang harus dilakukan rakyat? Secara sederhana, teori kedaulatan memang di tangan rakyat.
Tapi mampu kah rakyat melawan? Mengambil kembali kekuasaan tertinggi yang memang melekat padanya?
Ya, cabut mandat.
Jeffrey Winters, pengamat politik Indonesia dari AS, menyebutkan ada mekanisme cabut mandat pada DPR lewat jalan recall. Namun ini pun sulit diterapkan saat ini mengingat partai-partai di DPR sudah membangun koalisi-koalisi. Mereka sudah lekat berselingkuh dari rakyat dan tidur seranjang dengan Eksekutif. Karenanya, Eksekutif merasa bebas menindas rakyat terlebih Yudikatif pun sudah menjadi selingkuhan pula. Mereka mengumbar hawa nafsu terlarang untuk terus menindas rakyat.
Impeachment atau pemakzulan nampaknya menjadi jalan buntu karena mereka sudah menjadi kroni-kroni yang merasuk ke semua bidang kerja pemerintahan.
Aksi unjuk rasa masih menjadi andalan bagi beberapa pihak, baik mahasiswa, aktivis buruh, emak-emak dan elemen rakyat lainnya. Bahkan demo berjilid-jilid pun sudah dilaksanakan.
Namun nampaknya, perselingkuhan yang amoral ini sudah membuat gelap mata para pejabat yang semestinya pengemban amanah rakyat.
Dulu mereka mengemis suara blusukan ke jalan-jalan sempit, ke gang-gang kumuh, hingga masuk gorong-gorong semata “menjual diri” untuk dipinang rakyat. Bahkan kadang dengan money politics melakukan serangan fajar di komunitas rakyat miskin.
Kini, semua kepercayaan dan amanah itu telah jadi kubangan nafsu maksiat. Pengkhiatan besar-besaran yang dilakukan tanpa mempedulikan lagi tujuan melindungi segenap tumpah darah, memberikan kemakmuran yang adil dan merata, mencerdaskan kehidupan bangsa dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Cinta sejati pengabdian pada NKRI hanya janji manis tanpa bukti, justru melacurkan harga diri merendahkan martabat kepada asing.
Bagi saya, saat pengkhianatan terjadi dan jelas-jelas nampak, wajar lah jika dalam rumah tangga akan terjadi gempa lokal.
Akan ada piring-piring beterbangan, perabot rumah yang porak poranda, serta raungan rasa sakit akibat pedihnya pengkhianatan.
Alih-alih bertanggung jawab saling kerjasama membesarkan mimpi rumah tangga di masa depan, namun impian itu kandas. Hasil jerih payah selama ini malah dipersembahkan kepada pelakor, bahkan membawa pelakor ke dalam rumah tangga bak permaisuri, sementara pemilik sah rumah tangga jadi tergeser dan tergusur. Rasanya tidak ada yang bisa mengungkap rasa tersakiti ini.
Cerai? Ya, jika pengkhianatan dibiarkan, menggerus rasa cinta, mencerabut harga diri, mengkhianati dan menguras harta simpanan, daripada semakin tercederai dan merugikan, pilihan adalah cerai, talak 3 langsung jika perlu.
Jangan beri ruang untuk terjadi lagi. Karena jika diberi ruang atau kepercayaan lagi, maka akan mungkin
terjadi seperti dalam film A Perfect Murder yang diperankan oleh Michael Douglas dan Gwyneth Paltrow. Sebuah rekayasa pembunuhan dengan dalih perselingkuhan.
Ya! Cerai meski porak poranda namun jadi pembelajaran untuk memulai kehidupan lebih baik. Bukan kah cerai dibolehkan dalam hukum?
Jika cerai itu diibaratkan dengan People Power, maka People power adalah istilah politik yang mengacu pada gerakan sosial oleh sebagian besar publik dengan cara tanpa kekerasan (dikutip dari laman Collins).
Ini juga bisa diartikan sebagai kekuatan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk demonstrasi massal atau bentuk lain dari aksi sipil yang bertujuan untuk menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah atau sistem yang ada.
Sementara itu, people power juga didefinisikan sebagai gerakan massa (rakyat) untuk mendesak perubahan politik atau pergantian kekuasaan di suatu negara.
Umumnya istilah people power digunakan untuk menggulingkan rezim berkuasa yang melanggar konstitusi, dianggap diktator, korup, berkuasa relatif terlalu lama, sewenang-wenang, dan menyengsarakan rakyat.
Rakyat adalah bagian dari suatu negara atau unsur penting dalam pemerintahan, bukan?
Karena pemerintah lahir dari rakyat, maka kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.
Jadi, kapan saja rakyat bisa menunjukkan kekuasaan tertingginya!
Ketel berisi penuh air sudah berada di atas tungku, dia akan berbunyi nyaring manakala airnya mendidih lalu meletupkan tutup ketel dan air mendidih pun meluap.
Hanya masalah waktu, kapan rakyat memantik api ke tungkunya…
Jakarta, 3 Oktober 2023.