Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik


Kisruh pengelolaan tambang oleh Ormas, tidak ditempatkan dalam konteksnya secara benar. Terlebih lagi, perspektif pengelolaan tambang bukan didesain berdasarkan ajaran syariah Islam.

Padahal, jika tambang itu diizinkan dikelola oleh rakyat, maka tak lagi dibutukan entitas ormas untuk mengelolanya, karena rakyat secara individu bisa langsung mengelolanya. Sebaliknya, jika tambang terlarang untuk dikelola rakyat, maka swasta, korporasi, asing dan aseng pun harus dilarang mengelola tambang. Semua tambang yang terlarang dikelola rakyat, wajib dikelola negara.

Bukan rakyat dilarang menambang, negara tidak hadir mewakili rakyat, akhirnya yang untung beliung menambang adalah swasta, korporasi, asing dan aseng. Rakyat hanya melongo melihat harta tambang yang berlimpah dijarah swasta, asing dan aseng. Rakyat hanya kebagian polusi dan kerusakan lingkungannya.

Dari sisi faktanya, realitas tambang hanya terbagi menjadi dua, yaitu: pertama, tambang dengan deposit (cadangan material) melimpah dan tak terbatas, dan kedua, tambang dengan deposit terbatas.

Dalam Islam, tambang dengan deposit melimpah merupakan harta jenis milik umum (Al Milkiyatul Ammah). Rakyat memilikinya secara bersama-sama, sehingga hanya negara (Khilafah) yang berhak mengelolanya sebagai wakil rakyat, dan mengembalikan hasilnya kepada rakyat dalam berbagai bentuk layanan dan fasilitas yang diberikan kepada rakyat, hingga santunan langsung yang didistribusikan negara kepada rakyat.

Bentuk pengembalian hasil tambang kepada rakyat bisa dalam bentuk layanan fasilitas umum seperti pembangunan jalan dan jembatan, pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan, subsidi pendidikan dan kesehatan, hingga santunan untuk diberikan langsung kepada rakyat yang menjadi kewajiban negara seperti santunan dalam bentuk bantuan sandang, pangan dan papan.

Tambang jenis ini, tak boleh ditambang oleh rakyat secara individu, haram dikelola korporasi, swasta, asing maupun aseng. Tambang dengan kategori harta jenis milik umum ini menjadi mutlak kewenangan negara sebagai wakil rakyat, untuk mengelolanya.

Adapun tambang dengan deposit terbatas, dapat dikelola rakyat secara langsung, individu per individu, tak membutuhkan izin khusus dari negara. Rakyat bisa menambang secara langsung, dengan catatan harus menyerahkan 1/10 (humus) dari hasil tambang kepada Baitul Mal (Kas Negara).

Tambang jenis kedua ini, menjadi sarana bagi rakyat secara individu untuk bekerja dan mencari penghasilan untuk menanggung kewajiban nafkah untuk dirinya dan keluarga. Negara, tidak boleh menghalangi rakyatnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan nafkahnya.

Negara (Khilafah) hanya memberikan pengaturan umum, tentang status tambang apakah masuk kategori milik umum dengan deposit melimpah, yang hak pengelolaannya hanya ada pada negara. Atau, negara menetapkan suatu wilayah yang mengandung tambang yang terkategori milik pribadi dengan deposit terbatas, yang setiap individu rakyat boleh menambangnya.

Tambang dengan deposit terbatas, seperti menambang batuan kali, batian andesit, batuan cadas, yang banyak dilakukan dikampung kampung, yang biasanya ada disekitar sungai, lereng-lereng sawah, yang jumlahnya terbatas, adalah contoh tambang yang bisa dikelola oleh rakyat secara langsung. Siapapun rakyat, yang memiliki tanah, yang didalamnya terdapat batuan ini, boleh menambangnya atau menjualnya, mengambil hasilnya untuk menjadi sumber penghasilan dalam rangka mencukupi kebutuhan dirinya dan orang yang dalam tanggungan nafkahnya.

Batuan sungai dan cadas ini, biasanya dijadikan bahan pondasi bangunan rumah, pengerasan jalan atau struktur jalan onderlag. Menambang batuan ini, tidak dilarang dilakukan oleh individu, asalkan dikeluarkan hak Baitul Mal berupa 1/10 (humus) sebagai sumber penerimaan APBN Khilafah.

Adapun tambang yang depositnya melimpah, proses menambangnya membutuhkan teknologi dan biaya yang besar, seperti tambang minyak dan gas, semuanya tidak boleh ditambang oleh rakyat, tidak boleh pula dikuasai oleh swasta, koporasi, asing dan aseng. Semua jenis tambang ini, harus dikelola Negara sebagai wakil rakyat dan menjadikan seluruh hasilnya sebagai sumber penerimaan APBN Khilafah yang ditempatkan di Baitul Mal (Kas Negara).

Sayangnya, realitasnya saat ini, ketika negara dikuasai sistem kapitalisme sekuler, Rakyat terzalimi. Rakyat diharamkan menambang, sementara korporasi, swasta, asing dan aseng kenyang menikmati tambang. Negara tak punya daya, karena seluruh hasil penambangan oleh swasta, korporasi, asing dan aseng, tidak menjadi sumber APBN melainkan menjadi sumber kekayaan oligarki.

Sementara negara, membiayai pemerintahan dengan memungut pajak dari rakyat. Rakyat sudah tidak diizinkan menambang, masih pula di palak pajak untuk membiayai APBN. miris.

Note:
Dalil pembagian tambang menjadi milik umum dan pribadi, adalah hadits Abyad Bin Hammal tentang tambang garam.

عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ.

Dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan meminta beliau ﷺ agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi ﷺ pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang lelaki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah ﷺ mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan At-Timidzi)

Hadis ini adalah dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum dan tidak boleh dimiliki oleh individu. (Syekh Abdul Qadim Zallum. Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah. Hlm. 54—56).

Ini karena dalam hadis tersebut, beliau ﷺ menarik kembali tambang garam yang beliau berikan pada Abyadh bin Hammal ra. setelah beliau ﷺ mengetahui bahwa tambang garam tersebut depositnya melimpah sehingga tambang garam tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu dan merupakan milik kaum muslim.

Ini berlaku bukan untuk garam saja—seperti dalam hadis di atas—melainkan berlaku pula untuk seluruh barang tambang. Mengapa? Karena larangan tersebut berdasarkan ilat yang disebutkan dengan jelas dalam hadis tersebut, yakni “layaknya air yang mengalir”. Walhasil, semua barang tambang yang jumlah depositnya “layaknya air yang mengalir” melimpah, tidak boleh dimiliki oleh individu (privatisasi).

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar