Oleh: Radhar Tribaskoro – Mantan Komisioner KPU Jawa Barat
Dalam demokrasi modern, peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangatlah vital. KPU bukan hanya sebuah lembaga teknis yang bertugas menjalankan pemilu, tetapi juga menjadi simbol keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Namun, di tengah sorotan publik terhadap kinerja KPU, terdapat kesalahpahaman yang sering kali muncul terkait apa yang menjadi tanggung jawab utama lembaga ini, terutama dalam hal partisipasi pemilih.
Tanggung Jawab KPU: Di Antara Mekanisme dan Undang-Undang
KPU beroperasi berdasarkan mekanisme yang telah diatur dalam undang-undang. Tugas utamanya mencakup penyelenggaraan tahapan pemilihan umum, seperti penyusunan daftar pemilih, pencalonan, kampanye, pemungutan suara, hingga penetapan hasil. Dalam hal ini, kinerja KPU diukur dari seberapa baik mereka memastikan tahapan tersebut berjalan sesuai dengan aturan, tanpa konflik, dan menghasilkan legitimasi politik yang kuat.
Namun, sering kali, fokus publik teralihkan pada isu partisipasi pemilih. Padahal, partisipasi ini adalah salah satu hasil dari proses pemilu, bukan tugas utama KPU untuk menjamin angka tertentu. Artinya, keberadaan partisipasi pemilih tidak secara langsung menjadi indikator kinerja KPU, melainkan indikator keberhasilan demokrasi secara keseluruhan.
Partisipasi Pemilih: Substansi Demokrasi atau Beban KPU?
Partisipasi pemilih adalah inti dari substansi demokrasi. Di dalamnya terkandung makna bahwa setiap individu memiliki hak untuk memilih atau tidak memilih berdasarkan pertimbangan pribadi. Hak ini mencerminkan kebebasan individu dalam sebuah masyarakat demokratis. Namun, apakah rendahnya partisipasi pemilih merupakan kegagalan KPU?
Di sinilah kita perlu mendalami dua perspektif:
1. KPU sebagai fasilitator, bukan pemaksa. Tugas KPU adalah memastikan semua proses pemilu berjalan secara adil dan transparan. Mereka tidak dapat memaksa warga negara untuk memilih, karena partisipasi adalah keputusan sukarela yang lahir dari kesadaran individu.
2. Partisipasi sebagai refleksi kondisi masyarakat. Tingkat partisipasi pemilih lebih mencerminkan situasi politik, ekonomi, dan sosial masyarakat daripada kinerja teknis KPU. Misalnya, ketidakpercayaan terhadap institusi politik atau figur kandidat tertentu bisa menjadi alasan utama rendahnya partisipasi, yang berada di luar kendali KPU.
Mengurai Kompleksitas Tahapan Pemilu
KPU menghadapi tantangan besar dalam melaksanakan tahapan-tahapan pemilu. Dari segi teknis, mereka harus memastikan daftar pemilih akurat, logistik pemilu tersedia tepat waktu, dan proses pemungutan suara bebas dari kecurangan. Setiap tahapan ini memerlukan kerja keras dan koordinasi yang intensif dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, aparat keamanan, dan masyarakat sipil.
Di sisi lain, tahapan ini sering kali diwarnai dengan berbagai tantangan, seperti:
Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap proses pemilu. Banyak pemilih yang masih belum memahami pentingnya pemilu sebagai bagian dari sistem demokrasi.
Hoaks dan disinformasi. KPU kerap menjadi sasaran tudingan tidak adil atau berpihak, meskipun tudingan tersebut sering kali tidak berdasar.
Tekanan politik. Dalam beberapa kasus, KPU menghadapi tekanan dari berbagai kelompok untuk menggiring hasil pemilu ke arah tertentu.
Dalam konteks ini, fokus KPU seharusnya adalah memastikan integritas tahapan pemilu, bukan semata-mata mengejar angka partisipasi. Kinerja KPU tidak boleh dinilai hanya dari jumlah pemilih yang hadir di TPS, tetapi dari sejauh mana mereka menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Partisipasi 100%: Sebuah Utopia Demokrasi?
Ada argumen yang menyatakan bahwa KPU seharusnya berupaya untuk mencapai partisipasi 100%. Namun, apakah itu realistis? Secara teori, tingkat partisipasi yang tinggi memang diinginkan karena mencerminkan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan politik. Namun, dalam praktiknya, mencapai partisipasi 100% adalah hal yang mustahil, bahkan di negara-negara dengan tradisi demokrasi yang kuat.
Beberapa faktor yang memengaruhi partisipasi pemilih meliputi:
1. Kondisi sosial-ekonomi. Pemilih dari kalangan miskin atau terpencil sering kali menghadapi hambatan logistik atau ekonomi untuk datang ke TPS.
2. Ketidakpercayaan terhadap sistem politik. Apatisme politik menjadi alasan utama sebagian orang enggan memilih.
3. Pilihan untuk tidak memilih. Dalam demokrasi, tidak memilih juga merupakan hak yang dilindungi. Hal ini mencerminkan kebebasan individu untuk tidak terlibat dalam proses politik, jika mereka merasa tidak ada kandidat yang mewakili aspirasi mereka.
Mengukur Keberhasilan Demokrasi
Jika partisipasi bukan satu-satunya indikator, lalu bagaimana kita mengukur keberhasilan demokrasi? Jawabannya adalah dengan melihat sejauh mana sistem pemilu memberikan peluang yang adil bagi semua pihak, menghasilkan pemimpin yang sah, dan mencerminkan aspirasi rakyat.
Keberhasilan demokrasi juga dapat diukur dari elemen-elemen berikut:
Integritas pemilu. Apakah pemilu berjalan tanpa kecurangan? Apakah hasilnya dapat diterima oleh semua pihak?
Keterwakilan. Apakah sistem pemilu memungkinkan berbagai kelompok masyarakat untuk terwakili dalam pemerintahan?
Keadilan prosedural. Apakah proses pemilu dilakukan sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip demokrasi?
KPU, dalam hal ini, memainkan peran kunci sebagai penjaga sistem. Namun, mereka tidak bisa bekerja sendiri. Keberhasilan demokrasi juga bergantung pada peran partai politik, masyarakat sipil, dan media massa.
Refleksi: Peran KPU dalam Demokrasi yang Berkembang
Dalam demokrasi yang sedang berkembang seperti Indonesia, KPU menghadapi tantangan yang unik. Selain harus menangani kompleksitas tahapan pemilu, mereka juga dituntut untuk menghadapi ekspektasi yang tinggi dari masyarakat dan tekanan politik yang tidak sedikit. Dalam kondisi ini, penting untuk memahami bahwa KPU adalah bagian dari sistem demokrasi yang lebih besar.
Beberapa langkah yang dapat diambil untuk memperkuat peran KPU meliputi:
1. Meningkatkan edukasi pemilih. KPU perlu bekerja sama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemilu.
2. Membangun kepercayaan publik. Transparansi dalam setiap tahapan pemilu adalah kunci untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat.
3. Memperkuat independensi. KPU harus mampu menjaga jarak dari tekanan politik, sehingga dapat bekerja dengan integritas.
Kesimpulan
Kinerja KPU tidak bisa hanya dinilai dari tingkat partisipasi pemilih. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu, fokus utama KPU adalah memastikan setiap tahapan berjalan dengan baik dan menghasilkan pemilu yang kredibel. Partisipasi pemilih memang penting, tetapi itu adalah hasil dari proses demokrasi secara keseluruhan, yang melibatkan banyak faktor di luar kendali KPU.
Pada akhirnya, demokrasi bukan hanya tentang angka partisipasi, tetapi juga tentang bagaimana sistem pemilu dapat mencerminkan aspirasi rakyat dengan cara yang adil, transparan, dan dapat dipercaya. Dalam konteks ini, KPU memainkan peran yang tidak tergantikan, tetapi keberhasilan demokrasi tetap menjadi tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa.===