Oleh: Radhar Tribaskoro
Dalam sebuah diskusi dengan mahasiswa terungkap adanya dua persoalan. Pertama, penguasa kampus acap menolak gerakan mahasiswa. Kadang mereka meremehkan pengetahuan mahasiswa terhadap isu yang dipermasalahkan. Namun tidak jarang mereka represif dengan mengancam sanksi skorsing hingga pemecatan apabila mahasiswa tetap melakukan aksi protesnya.
Masalah represi oleh penguasa kampus selalu terjadi di manapun, dalam periode apapun. Penguasa kampus bukanlah penguasa yang otonom, mereka tergantung secara anggaran maupun aturan kepada kuasa pemerintah. Boleh dikatakan bahwa penguasa kampus adalah perpanjangan tangan kuasa pemerintah. Jadi tidak heran bila mereka bersikap antipati terhadap munculnya perlawanan politik di kampus-kampus. Inilah salah satu wajah perguruan tinggi Indonesia yang konservatif dan menentang perubahan.
Namun perguruan tinggi Indonesia memiliki wajah yang lain yang mempunyai akar jauh lebih dalam dan tua, yaitu perguruan tinggi yang menekankan pada kebebasan akademik, otonomi universitas, dan penelitian ilmiah telah menjadi pola universal yang menyebar ke seluruh dunia sejak ditanamkan oleh William von Humbold di Universitas Berlin tahun 1809 (Kirby, 2022). Wajah kedua ini menjadikan perguruan tinggi sebagai universitas riset yang memperjuangkan perubahan sosial, pengembangan nilai-nilai demokrasi, dan mendorong kemajuan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.
Wajah kedua perguruan tinggi yang progresif inilah yang muncul di latar belakang pada aksi protes guru besar- menentang praktek nepotisme dalam Pilpres 2024 lalu. Wajah progresif itu juga berada di latar belakang pada aksi protes mahasiswa beberapa waktu lalu melawan upaya DPR merevisi UU Pilkada yang bermaksud mementahkan- Putusan MK No.60 dan No.70 tahun 2024 yang mengembalikan sifat kompetitif dalam pemilu kepala daerah.
Jadi saya mengatakan kepada teman-teman saya agar tidak khawatir kepada represi penguasa kampus. Perubahan sosial pada dasarnya adalah panggilan sejarah. Ketika panggilan itu datang wajah konservatif akan bertekuk-lutut di bawah tuntutan progresi perubahan.
Adapun permasalahan mahasiswa kedua terkait dengan masalah hukum, apakah aksi protes mahasiswa diperbolehkan oleh hukum?
Sekali lagi, jawaban atas pertanyaan ini bersifat mendua. Bagi aparat hukum yang terikat kepada kuasa pemerintah, setiap aksi protes mahasiswa, apalagi bila menentang pemerintah, akan dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Namun panggilan perubahan tidak bekerja menurut kemauan hukum. Sebab hukum itu sendiri pada dasarnya bersifat konservatif. Dengan kata lain, hukum itu sendiri adalah objek perubahan.
Jadi melawan hukum atau melanggar hukum bukan pertanyaan yang relevan bagi mereka yang ingin menegakkan kedaulatan rakyat. Demokrasi itu sendiri memberi rakyat hak untuk memberontak, right to revolt!
Hak untuk memberontak sebagai salah satu esensi demokrasi itu tercantum dalam Declaration of Independence dari negara Amerika Serikat, negara demokrasi pertama di era moderen. Deklarasi itu mengatakan:
“We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of Happiness. — That to secure these rights, Governments are instituted among Men, deriving their just powers from the consent of the governed, — That whenever any Form of Government becomes destructive of these ends, it is the Right of the People to alter or to abolish it, and to institute new Government, laying its foundation on such principles and organizing its powers in such form, as to them shall seem most likely to effect their Safety and Happiness.”
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
“Kami menganggap kebenaran-kebenaran berikut ini sebagai hal yang tidak perlu diragukan lagi, bahwa semua manusia diciptakan setara, bahwa mereka dikaruniai oleh Pencipta mereka dengan hak-hak yang tidak dapat dicabut, yang di antaranya adalah hak untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan. — Bahwa untuk mengamankan hak-hak ini, pemerintah didirikan di antara manusia, mendapatkan kekuasaannya yang sah dari persetujuan yang diperintah, — Bahwa bila pemerintahan menjadi destruktif terhadap tujuan-tujuan ini, maka menjadi Hak Rakyat untuk mengubah atau menghapusnya, dan untuk mendirikan pemerintahan baru, yang mendasarkan fondasinya pada prinsip-prinsip tersebut dan mengorganisir kekuasaannya dalam bentuk seperti yang menurut mereka paling mungkin mencapai keselamatan dan kebahagiaan mereka.”
Perlu saya tegaskan, tujuan saya mengutip naskah Deklarasi Kemerdekaan AS di atas bukanlah untuk mempedomani dokumen itu. Kita punya teks Proklamasi Kemerdekaan kita sendiri. Kutipan di atas hanya untuk menegaskan bahwa esensi demokrasi (pemerintahan …yang… mendapatkan kekuasaannya yang sah dari persetujuan yang diperintah),
menegaskan adanya hak untuk memberontak atau menghapuskan pemerintahan yang destruktif terhadap hak untuk hidup, kebebasan dan mengejar kebahagiaan.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa hak memberontak itu bersifat kondisional, yaitu bila pemerintahan bersifat destruktif. Arti destruktif disini adalah bila semua mekanisme demokratik untuk melakukan perbaikan secara damai seperti pemilu, transparansi dan keterbukaan, check and balance, perubahan undang-undang di DPR, judicial review di Mahkamah Konstitusi, sudah tidak bisa diandalkan lagi. Dengan kata lain, bila semua institusi demokrasi seperti KPU, KPK, DPR, partai politik, MK, MA, birokrasi, polisi, tentara sudah tidak lagi mempedulikan nilai-nilai demokrasi, maka hak rakyat untuk memberontak sudah menjadi hak moral.
Referensi:
Kirby, William C., 2022. Empire of Ideas: Creating the Modern University from Germany to America to China. Harvard University Press