Oleh: Agus M Maksum
Pengamat Teknologi & Politik Digital
“Kebenaran hari ini bukan soal siapa lembaga yang memiliki otoritas, tapi siapa yang lebih dulu dan lebih bisa membuat narasi benar secara material—bukan hanya benar menurut lembaga otoritatif, tapi tanpa bukti.”
Universitas Gadjah Mada (UGM) telah angkat bicara.
Bareskrim Polri telah menggelar perkara.
Hasilnya? Tegas: ijazah Presiden Joko Widodo dinyatakan asli.
Namun, di ranah media sosial, narasi ini justru dipatahkan, dibongkar ulang, dan dipermalukan oleh suara-suara yang—secara formal hukum—tak punya kredensial forensik apa pun. Salah satu yang paling viral adalah Roy Suryo. Ia menyebut ijazah Jokowi “99,9% palsu.”
Dan—anehnya—justru narasinya lebih dipercaya publik.
Kenapa?
Karena publik menilai analisisnya lebih konkret secara material. Roy Suryo menyajikan tanda-tanda visual, struktur font, tanda tangan, dan logika tata letak yang bisa diuji mata. Bukan hanya pernyataan normatif. Dan itu ia tampilkan lebih cepat, lebih terstruktur, dan lebih viral.
Krisis Kepercayaan terhadap Lembaga Negara
Jawaban utamanya adalah satu kata: kepercayaan.
Atau lebih tepatnya: keruntuhan kepercayaan.
Hari ini, apa pun yang disampaikan oleh lembaga resmi seperti UGM, Polri, bahkan pengadilan, tak lagi dibaca sebagai kebenaran, melainkan sebagai bagian dari naskah kekuasaan.
UGM tidak lagi dianggap sebagai suara independen kampus akademik, tetapi sebagai bagian dari sistem birokrasi yang tak lepas dari cengkeraman Jokowi.
Polri? Dipersepsi publik sebagai alat kekuasaan yang menutup kasus sesuai selera politik.
Pengadilan? Sering kali bukan menjadi tempat keadilan ditegakkan, melainkan panggung “pembenaran legal” yang penuh alasan dan penghindaran.
Ketika mereka menyatakan bahwa ijazah Jokowi asli, publik tidak bertanya “siapa yang ngomong?”, tapi langsung menjawab:
> “Ya jelas saja dibilang asli, wong yang punya ijazah palsu itu sendiri masih memegang semua kendali lembaga.”
Ketika Algoritma Mengalahkan Logika
Kondisi ini menciptakan ruang kosong kepercayaan yang langsung diisi oleh suara alternatif.
Bukan karena mereka paling benar, tapi karena mereka paling cepat memberikan bentuk materiil yang bisa diraba.
Roy Suryo, aktivis TPUA, dan akun-akun X (dulu Twitter) masuk ke ruang kosong itu. Mereka tidak bicara dalam bahasa laboratorium, tetapi dalam bahasa visual dan analisis digital forensik.
Bukti digital seperti tipografi ijazah, tanda tangan tidak identik, dan tidak munculnya ijazah fisik asli di publik menjadi senjata utama.
Dan inilah zaman yang sedang kita hadapi:
Algoritma media sosial mengalahkan logika lembaga negara.
Roy Suryo membungkus narasinya dengan bahasa yang tajam, populis, dan mudah dikutip.
Sementara UGM berbicara dengan dokumen panjang, tanpa visual, tanpa ijazah asli, dan tanpa strategi komunikasi publik.
Lembaga Negara Sudah Kehilangan Kepercayaan?
Inilah pertanyaan mendasar:
Apakah lembaga-lembaga resmi kita masih dipercaya?
Jika jawabannya “tidak,” maka apa pun yang mereka katakan, akan selalu dibaca sebagai perpanjangan tangan kekuasaan.
Dan ketika publik menanyakan “mana bukti fisiknya?”, lembaga-lembaga ini hanya menjawab dengan “kami yang berwenang.”
Sayangnya, otoritas tanpa kepercayaan tidak menghasilkan legitimasi.
Penutup: Bukan Lagi Soal Ijazah
Mari kita jujur. Ini bukan lagi sekadar soal ijazah.
Ini tentang retaknya kepercayaan terhadap institusi negara.
Selama lembaga-lembaga seperti UGM, Polri, dan pengadilan masih dianggap hanya melayani penguasa, maka apa pun narasi resminya akan selalu kalah dengan suara jalanan digital.
Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah:
Bangsa ini akan menanggung akibatnya dalam bentuk ketidakpercayaan sistemik terhadap seluruh pilar demokrasi.
Tentang Penulis:
Agus M Maksum adalah pengamat teknologi politik digital, penggagas platform digital komunitas dan ekonomi Pancasila. Aktif menulis opini tentang transformasi digital, disrupsi kebijakan publik, dan demokrasi digital.
Advertisement