– Keenan Nasution vs Vidi Aldiano, Sengketa Lagu Nuansa Bening (3)

Oleh: Denny JA

“Ketika bukan manusia yang menggubah lagu, apakah masih ada jiwa di dalamnya? Dan jika tak ada jiwa, adakah hak yang masih harus dilindungi?”

Ini renungan lanjutan setelah menganalisis perkara sengketa royalti lagu Nuansa Bening, antara Keenan Nasution dan Vidi Aldiano—sebuah gugatan bernilai 24,5 miliar rupiah.

Tapi mari kita pergi lebih jauh. Menuju masa depan.

-000-

Bayangkan seseorang bernama A.
Ia duduk di kamar sunyi, membuka laptop, dan mengetik perintah pada mesin AI generatif musik:

“Buatkan lagu bernuansa sedih seperti Coldplay, dengan lirik puitis seperti Leonard Cohen, dan aransemen piano selembut Yiruma.”

Beberapa detik kemudian: jadilah lagu.
Sempurna. Menyayat hati. Viral. Diputar di TikTok, masuk ke Spotify, bahkan jadi soundtrack iklan.

Tapi lalu muncul pertanyaan pelik:
Siapa yang berhak atas royalti lagu itu?

Apakah A sebagai pengguna AI? Atau perusahaan pembuat model AI? Atau justru tak ada satu pun yang berhak?

Inilah dilema hak cipta paling rumit yang pernah dihadapi dunia musik.

-000-

Dalam sistem hukum saat ini—di Indonesia, Eropa, maupun Amerika—jawabannya relatif jelas: Hak cipta hanya untuk manusia.

Di Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 menegaskan bahwa pencipta adalah “seseorang.”
Lihat pasalnya: UU Hak Cipta 2014

Kantor Hak Cipta AS bahkan menolak mendaftarkan gambar hasil AI tanpa intervensi manusia dalam kasus Zarya of the Dawn (2023).
Referensi: U.S. Copyright Office ruling

Di Eropa, prinsip hukum kekayaan intelektual pun hanya mengakui pencipta manusia (natural person).

Artinya, jika lagu sepenuhnya dibuat AI—tanpa sentuhan manusia—maka lagu itu masuk domain publik.
Tak ada royalti. Tak ada perlindungan. Siapa pun bebas menggunakannya.

-000-

Namun, bagaimana jika A menyunting hasil AI tersebut?

Misalnya A:
• Menyesuaikan nada,
• Mengubah lirik,
• Merekam vokalnya sendiri.

Kini A bukan hanya pengguna AI, tapi juga kreator.
Ia menjadi co-creator, bukan pencipta penuh, tapi juga bukan operator semata.

Pada titik ini, hukum mulai membuka ruang.
Konsep “karya hibrida” atau AI-assisted works menjadi bahan diskusi hukum di berbagai negara.

Namun masih muncul pertanyaan teknis:
• Sejauh mana kontribusi manusia harus hadir agar layak disebut pencipta?
• Adakah batas minimal 5%, 10%, 50%?

Saat ini, belum ada konsensus global.

-000-

Apakah masalah ini besar?

Sangat besar.
Pada tahun 2024, diperkirakan lebih dari 40% lagu baru di Spotify mengandung elemen AI.
Sumber: Forbes – AI Music in 2024

Jika tidak diatur:
• Seniman manusia kehilangan hak dan insentif.
• Konsumen kebingungan tentang siapa pencipta.
• Raksasa teknologi menguasai hak tanpa kewajiban moral.

Kita menghadapi risiko disintermediasi moral—teknologi mengambil alih, tetapi tak ada yang bertanggung jawab.

-000-

Maka hukum baru sangat diperlukan.
Negara-negara perlu menyusun aturan tentang:

1. Definisi pencipta di era AI.
2. Hak cipta hibrida antara manusia dan mesin.
3. Pembagian royalti yang adil.

Jepang dan Korea Selatan sudah memulai dialog kebijakan ini.
Uni Eropa pun mendorong AI Act untuk memperjelas ranah tanggung jawab.
Referensi: European AI Act Draft

Tapi, jalan menuju regulasi masih panjang dan terjal.

-000-

Lalu, di manakah posisi kita dalam semua ini?

Penting disadari, bahwa royalti bukan hanya soal uang.
Ia adalah bentuk penghargaan atas karya jiwa.
Ia menandai bahwa setiap nada bukan sekadar data, tapi getaran batin.

Tanpa penghormatan atas pencipta, kita akan mengapung di tengah banjir lagu—indah, tapi tanpa jiwa.

-000-

Dan di sinilah ironi kembali mengetuk.

Dalam kasus Keenan Nasution vs Vidi Aldiano, yang dipersoalkan justru adalah lagu manusiawi yang sangat emosional: Nuansa Bening.

Sebuah lagu yang lahir dari jiwa. Dinyanyikan kembali oleh penyanyi muda dengan popularitas baru.

Namun tak ada kejelasan soal izin, distribusi, dan apresiasi kepada penciptanya.

Kasus itu menunjukkan: bahkan tanpa AI pun, sistem royalti dan hak cipta kita masih compang-camping.

Masih mudah menimbulkan kesalahpahaman, apalagi bila ditambah teknologi baru.

Kini bayangkan:
Jika lagu yang begitu manusiawi saja bisa dipertengkarkan nilainya di pengadilan, bagaimana kita akan menangani lagu yang bahkan tak tahu siapa penciptanya?

Kita berada di tepi era baru—di mana setiap klik bisa melahirkan nada.
Tapi hanya dengan hukum, etika, dan penghormatan, kita menjaga agar musik tetap bernyawa.

Karena pada akhirnya, royalti bukan hanya tentang siapa yang mencipta.
Tapi tentang siapa yang kita akui sebagai bagian dari peradaban.***

Jakarta, 13 Juni 2025


Referensi

• U.S. Copyright Office, Zarya of the Dawn ruling: https://www.copyright.gov/rulings-filings/review-board/docs/zarya-of-the-dawn.pdf

• UU Hak Cipta Indonesia No. 28/2014: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38786/uu-no-28-tahun-2014

• Forbes (2024). “AI-Generated Music Reaches the Mainstream”: https://www.forbes.com/sites/jonathanbarkan/2024/01/17/ai-generated-music-reaches-mainstream

• Artificial Intelligence Act EU: https://artificialintelligenceact.eu

Advertisement

Tinggalkan Komentar