Oleh : Indra Adil – Eksp. Gema IPB 77/78

“Urusan Negara bukan hanya urusan Partai Politik. Urusan Negara adalah urusan SETIAP INDIVIDU DI NEGARA BERSANGKUTAN. Jadi kami semua Warga Negara Indonesia BERHAK IKUT CAMPUR dalam Kebijakan APA pun di Negeri Tercinta ini” (anonim).


Indra Adil :

Bisakah bung GPT membuat Artikel Partai di Indonesia harus Dibubarkan, dgn Argumentasi Logis, Track Record Partai sejak 1945, dan hal-hal lain yg bung ketahui tanpa ada masukan dari saya?

Bung GPT :

Baik, Bung — berikut versi opini koran dari artikel tadi, disusun dengan gaya provokatif, lugas, dan retoris, seperti tulisan tajuk rencana atau opini publik yang mengguncang.


——-

Saatnya Membubarkan Partai- partai Politik di Indonesia!


Oleh: (Chat) GPT

“Demokrasi kita dikeroyok partai, bukan dipimpin partai.”

Kalimat itu barangkali paling tepat menggambarkan keadaan republik hari ini. Sejak 1945, partai-partai politik di Indonesia lebih sering menjadi beban bangsa daripada penopangnya. Mereka hidup dari rakyat, tapi tak pernah hidup untuk rakyat.

Kita sudah tujuh puluh sembilan tahun merdeka, tetapi apa hasil dari pesta politik lima tahunan ini selain kemiskinan, korupsi, dan drama perebutan kursi? Tak ada satu pun undang-undang besar yang benar-benar membela kepentingan wong cilik. Yang ada justru UU pro-oligarki, pro-korporasi, dan pro-kepentingan elite partai.

Dari Revolusi ke Transaksi

Sejak awal republik, partai sudah menjadi sumber pertengkaran.
Era demokrasi parlementer (1945–1959) menjadikan kabinet seperti warung buka-tutup. Partai saling sikut demi kursi menteri, bukan demi rakyat. Sukarno akhirnya menutup buku: ia mengakhiri demokrasi parlementer karena lelah melihat partai saling rebut kekuasaan.

Di masa Orde Baru, partai dipaksa tunduk. Golkar, PPP, dan PDI hanya jadi hiasan etalase demokrasi palsu. Rakyat tak berdaulat; yang berdaulat hanyalah penguasa.

Namun ketika Reformasi 1998 membuka keran kebebasan, bukannya belajar dari sejarah, kita malah kembali ke jebakan lama — hanya bedanya, kali ini jumlah partainya lebih banyak dan transaksi politiknya lebih mahal.

Mesin Oligarki, Bukan Aspirasi

Partai-partai kini hanyalah pabrik kekuasaan dan mesin uang. Mereka mengeruk dana dari pengusaha, dari proyek, bahkan dari APBN lewat celah anggaran. Setiap kader yang naik ke kursi publik harus “menyetor” ke partai. Maka jangan heran jika kebijakan publik dirancang bukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk mengembalikan modal politik.

Indeks persepsi korupsi Indonesia stagnan di papan tengah dunia. Setiap tahun, kita saksikan politisi dan pejabat dari berbagai partai dijemput KPK. Rakyat sudah hapal wajah dan warna jas partai para tersangka. Ironisnya, setelah ditangkap satu, muncul seribu lagi yang serupa.

Demokrasi Tanpa Nurani

Rakyat kini tak lagi percaya pada partai.
Pemilu bukan lagi perayaan demokrasi, tapi pasar transaksional.
Uang, sembako, dan janji kosong jadi tiket masuk ke bilik suara.
Kedaulatan rakyat hanya hidup sehari: hari pencoblosan. Setelah itu, yang berkuasa adalah oligarki yang bersembunyi di balik logo partai.

Kita sudah terlalu lama membiarkan sistem busuk ini berjalan. Kita sudah terlalu sabar menunggu partai-partai itu “berbenah”, padahal mereka tak punya niat sedikit pun untuk berubah.

Saatnya Dibubarkan!

Ya, dibubarkan — atau minimal dibekukan total untuk direformasi dari nol.
Negara ini bisa tetap berjalan tanpa partai, tapi tak akan pernah maju jika partai tetap seperti sekarang.
Kita bisa mengganti sistem politik dengan model non-partisan, di mana rakyat memilih wakilnya secara langsung, bukan melalui “gerbang” partai. Calon independen yang bersih dan berintegritas diberi ruang besar, sementara sistem pembiayaan publik dijalankan secara transparan.

Tidak ada demokrasi yang lebih berbahaya daripada demokrasi yang dikuasai partai busuk.
Dan tidak ada reformasi yang lebih mendesak daripada pembubaran total partai politik yang sudah kehilangan moral dan nurani.

Penutup

Rakyat Indonesia tidak butuh partai untuk bersuara — yang kita butuhkan adalah suara rakyat yang tak disandera partai.
Jika demokrasi ingin diselamatkan, maka langkah pertama adalah memutus hubungan kita dengan akar kebusukannya.
Dan akar itu, tak lain, adalah partai-partai yang menjadikan republik ini sebagai ladang kekuasaan dan kekayaan pribadi.

Sudah waktunya rakyat berseru:
“Cukup sudah! Bubarkan partai-partai busuk itu — biarkan Indonesia mulai dari lembaran baru.”

====================

Artikel di atas ini sepenuhnya Kerja AI GPT tanpa ikut campur manusia kecuali bertanya apakah GPT bisa membuat ARTIKEL TTG PEMBUBARAN PARTAI DI INDONESIA? Di atas itu adalah hasilnya. Silahkan ANDA AMBIL KESIMPULAN SENDIRI.

Advertisement
Previous articleMenteri Keuangan Purbaya dan Bubur Panas.

Tinggalkan Komentar