(Bagian 1.4)

Seri Kegagalan Sistem-sistem Global

Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior

Sekularisme dan pluralisme telah lama dijajakan sebagai standar global. Ia disebut-sebut sebagai syarat kemajuan karena memisahkan agama dari urusan negara. Pluralisme dielu-elukan karena, katanya, menciptakan harmoni antarumat beragama. Caranya, dengan menempatkan semua agama sebagai jalan kebenaran.

Tapi benarkah semua itu kebenaran ilmiah? Atau justru penipuan intelektual global yang menjauhkan umat dari Islam yang kaffah?

Sekularisme adalah produk sejarah Eropa. Bukan Islam. Ia lahir dari konflik berdarah antara gereja dan negara. Saat itu gereja menindas ilmu pengetahuan dan kehidupan publik. Masyarakat Eropa akhirnya menyingkirkan agama dari urusan negara.

Sayangnya, produk cacat ini justru dipaksakan kepada dunia Islam. Jalannya lewat kolonialisme dan modernisasi. Padahal, umat Islam tidak pernah mengalami konflik seperti itu. Dalam sejarah Islam, agama justru menjadi sumber rahmat dan keadilan. Dan itu berlangsung selama 13 abad. 1.300 tahun!

Pluralisme pun menyusul, dengan wajah lebih halus. Atas nama toleransi, semua agama diklaim sama benarnya. Klaim kebenaran tunggal dianggap sumber konflik. Akibatnya, umat Islam dipaksa menerima bahwa Islam tidak boleh merasa paling benar. Ini jelas bertentangan dengan aqidah Islam yang tegas menyatakan:

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 19)

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 85)

Islam memang memerintahkan toleransi terhadap non-Muslim. Tapi Islam tidak pernah membenarkan pluralisme akidah. Rasulullah SAW bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ، يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidak seorang pun dari umat ini, baik Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentang aku, lalu ia mati dalam keadaan tidak beriman kepada apa yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim, no. 153)

Di negeri-negeri Muslim, sekularisme dan pluralisme dipaksakan melalui kurikulum dan regulasi. Juga elite-elite tersekulerkan. Di Indonesia, warisan hukum kolonial tetap dipertahankan. Islam dijadikan simbol kultural belaka, bukan sistem kehidupan. Akibatnya, masyarakat makin jauh dari syariat. Keluarga runtuh, moral bobrok, generasi rapuh. Ironisnya, negara-negara Barat yang katanya sukses sekuler justru dilanda depresi, bunuh diri, dan krisis spiritual.

Islam bukan sekadar agama ritual. Islam adalah sistem hidup yang menyeluruh. Islam mengatur akidah, ibadah, politik, ekonomi, sosial, hingga negara. Allah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 3)

Sudah saatnya umat Islam mencampakkan ilusi sekularisme dan pluralisme. Bukan hanya karena itu produk Barat. Tapi karena itu bertentangan dengan Islam. Kita tidak butuh sistem tiruan yang melemahkan iman dan membungkam dakwah. Yang kita butuhkan adalah Islam sebagai sistem hidup yang sahih, sempurna, dan menyelamatkan.

(Bersambung ke Bagian 1.5: Islam sebagai Solusi Total dan Global In sya Allah)


Jakarta, 6 Mei 2025
Advertisement

Tinggalkan Komentar