ELE (Extinction Level Event), kejadian setara kemusnahan. Istilah ELE saya tahu dari film Deep Impact (1998) yang bercerita tentang asteroid menghunjam Bumi di zaman modern. Kita tahu, ELE terjadi 65 juta tahun lalu yang menyebabkan dinosaurus punah.
Asteroid besar yang membunuh dinosaurus entah kapan lagi jatuh ke Bumi. Namun saat ini kita menghadapi satu kepunahan lain: media massa. Pers atau media massa sering disebut pilar ke-4 demokrasi. Tanpa pers, mekanisme kontrol dalam proses demokrasi terancam.
Namun apa hendak dikata, pers atau media massa sendiri tak bisa menghindar dari ancaman kepunahan seperti dinosaurus.
Artikel di majalah New Yorker bertarikh 10 Februari 2024 mencoba merangkum dan meramalkan kepunahan media massa. Di AS sana kian banyak media yang tutup, mereduksi signifikan jumlah redaksi, atau merugi karena kehilangan pelanggan.
Katanya, berbagai model bisnis telah dicoba oleh berbagai media untuk survive di zaman teknologi informasi. Namun sampai saat ini belum ada yang benar-benar berhasil. Di era kejayaan sosial media sekitar pertengahan 2010-an, Facebook pernah disebut media terbesar tanpa harus memproduksi konten. Facebook berjasa menyebarkan berita-berita dari berbagai media. Media kemudian menyusun konten yang ramah bagi media sosial untuk disebarkan orang banyak. BuzzFeed menjadi acuan untuk jenis media ini. Rezim internet juga membuat media berstrategi menjadikan konten mereka di peringkat pertama pencarian mesin pencari. Maka, media bersiasat membuat konten yang ramah SEO.
Kendati begitu, upaya tersebut tidak menjadikan media untung. Pengelola media berpikir, banyak konten dibagi di medsos dan ramah SEO berbanding lurus dengan traffic yang meningkat ke situs mereka. Traffic meningkat sama dengan iklan. Nyatanya tak selalu begitu. Hingga saat ini media massa masih belum bisa mengalahkan targeted ad punya Facebook atau Google. Situs media makin tak sedap di pandang karena pasang banner dan muncul pop-up di mana-mana. Bandingkan dengan timeline Facebook atau Instagram kita yang seolah selalu tahu kita sedang butuh barang apa.
Itu sebabnya BuzzFeed akhirnya menyerah kalah karena pendapatan dari iklan tak bikin mereka untung, walaupun mungkin situs mereka banyak dikunjungi orang.
Media kemudian mencari penghasilan lain: masyarakat harus bayar buat konten mereka. Strategi ini hanya berhasil buat media yang kredibilitasnya sudah dibangun bertahun-tahun. Di AS, hanya koran New York Times yang pelanggan web-nya hingga belasan juta.
Sampai di sini kita kembali ke pertanyaan awal: apakah media massa sedang menuju kepunahan?
Saya ingin sekali menjawab tidak. Di AS, ada media yang bisa hidup dari pelanggan ketika kue iklan dimakan habis Alphabet (Google) dan Meta (Facebook, Instagram); di sana juga ada media yang bisa hidup dengan penghasilan lain lewat menjual merchandise atau menjual tiket lewat bikin event.Di Inggris, koran The Guardian menghidupi diri, antara lain, dari sumbangan pembacanya. Media di sini saya rasa harus mulai mencari alternatif penghasilan lain dari sekadar menjual konten.
Sebab, sekarang mulai kelihatan, kita bahkan tak memerlukan Google untuk menuntun kita menuju situs yang kita cari. Cukup ketik pertanyaan yang ingin kita ketahui di laman ChatGPT, AI atau kecerdasan buatan menjawabnya.
Ya, teknologi kecerdasan buatan ini bagai asteroid bagi media. Kelak, mungkin New York Times pun bakal punah. Kalau sudah begitu pengetahuan kita otomatis juga akan berhenti. Kecerdasan buatan kehabisan bahan untuk dipelajari karena materi belajar mereka sudah punah. Bila itu terjadi, maka kita mengalami kiamat kemanusiaan.*