Oleh : Jacob Ereste

Pada dasarnya kapitalis itu hanya bisa dimusnahkan oleh derap langkah gegap gempita dari suasana yang dibangun oleh kesadaran para spiritualis. Karena kapital itu pada dasarnya adalah material — sebagai turunan langsung dari dinasti kapital — yang hanya bisa bertekuk lutut kepada spiritual. Sebab kekalahan sosialis yang selama ini sudah kelimpungan menghadapi kapitalis –kalau pun belum dapat dinyatakan keok bertekuk lutut — dapat menjadi bagian dari pendukung spiritualis untuk melenyapkan kapitalis yang sudah terlanjur berada di atas puncak kekuasaan yang menggagahi dunia sampai hari ini di negara manapun. Ideologi komunis dunia pun telah sendiko dawuh dengan kapitalis, meski masih menggunakan uniform komunis, seperti China yang mulai menganeksasi dunia — termasuk Indonesia dengan jurus ekonominya yang dominan mengandalkan kekuatan material yang dimilikinya.

Jadi kapitalis itu tidak cuma sudah meluluh-lantak bangsa dan negara Indonesia saja, tapi telah menjadi ideologi hampir semua negara dan bangsa-bangsa di dunia. Oleh sebab itu, orientasi dari ekonomi, politik bahkan budaya dan agama sudah sangat bersujud — tercengkeram oleh dominasi — yang mempertuhankan material, bukan berbasis spiritual. Atas dasar inilah gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual di dunia mulai bertumbuh di mana-mana dan dalam beragam bentuk dan komunitas, termasuk dalam habitat profesi bahkan kalangan intelektual yang semakin menyadari bahwa kemampuan intelektual tidak cukup mumpuni untuk menjawab — apalagi diharap untuk mengatasi beragam macam masalah yang semakin kompleks pada era milenial sekarang ini — seperti yang ditandai dengan kemerosotan akhlak, moral dan etika.

Rasa malu bahkan harga diri telah begitu rendah, sehingga seakan tidak lagi ada dalam jiwa dan batin manusia sebagai makhluk yang paling mulia ciptaan Tuhan dibanding dengan malaikat, apalagi iblis dan syetan yang acap disebut banyak orang di Indonesia sudah tidak lebih berani dari manusia. Karena perilaku manusia sudah melampaui kekejian dan kedegilan iblis dan syetan. Setidaknya, penegasan dari Prof. Salim Said bahwa manusia Indonesia tidak takut kepada Tuhan, terbukti dari sikap dan sifat munafik, khianat dan pendusta serta curang dan culas seperti yang semakin banyak dapat disaksikan secara kasat mata dalam perilaku hidup sehari-hari manusia dalam menjalankan amanah rakyat, baik selaku eksekutif, legislatif maupun yudikatif tanpa rasa risi untuk melakukan tindakan yang tidak tercela, tidak terpuji serta gampang untuk mengabaikan etika dan moral sebagai manusia yang seharusnya memiliki menjaga harga diri dan martabat mulia kemanusiaannya dibanding warga, masyarakat kebanyakan. Meski begitu toh–sebagai warga masyarakat yang baik dan benar tetap berpegang pada ajaran dan tuntunan agama yang diyakininya, etika, moral dan akhlak merupakan standar umum untuk menakar sikap munafik atau kufur, karena telah mengingkari sumpah dan janjinya di hadapan Tuhan.

Lantas dalam kondisi kejiwaan seperti ini, masihkah yang bersangkutan dapat dipercaya sebagai manusia yang masih tetap meyakini adanya Tuhan ?
Atau, Tuhan telah dijadikannya topeng mainan hanya untuk mengelabui orang banyak seperti melalui sumpah dan janjinya saat dilantik sebagai pejabat publik yang mesti dan harus serta wajib mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelompok dan kepentingan pribadi maupun keluarganya semata.

Materialisme bagi mereka yang asyik dan tekun melakoni laku spiritual dengan menjauhkan diri mabuk dan kasmaran habis terhadap materialisme, tidak lantas anti material. Karena segala bentuk dan wujud material itu hanya sekedar sarana semata yang dilokalisasi dalam kejernihan serta kendali hati yang tidak tamak, tidak rakus.

Jadi, jangan terus membayangkan bahwa kaum spiritualis itu harus tetap dalam kondisi minimal, tidak berpunya, miskin dan serba kekurangan, justru untuk menjadi manusia yang berkecukupan itu merupakan bagian dari kesadaran dan pemahaman spiritual yang tak bisa diabaikan. Sebab dengan kepemilikan harta dan benda yang cukup itu dapat menjadi bagian pelumat sikap pongah mereka yang selama ini menganggap laku spiritual itu adalah klenik. Atau, seperti tuduhan keji dari para intelektual sebagai pelarian dari realitas hidup yang tidak mampu dihadapi beragam masalah yang datang silih berganti tanpa pernah mengenal tempat dan waktu.

Akibatnya tentu saja keunggulan material melibas nilai-nilai spiritual yang sepatutnya wajib dipelihara, dikembangkan sebagai potensi diri yang lebih bersifat ilahiah, karena semua laku spiritual sejatinya berbasis pada agama yang menjadi tolak pijak dari yang bersangkutan. Jadi, spiritual itu dapat dilakukan oleh semua manusia yang beragama dan percaya kepada Tuhan sebagai pemilik dan pencipta alam raya dan seisinya.

Balaraja, 29 April 2024
Kans Jawara

Tinggalkan Komentar