Oleh : Ade Irwansyah
Resensi Film
••Ulasan ini mengandung SPOILER!**
SEHARUSNYA, sejak awal, “Siksa Kubur” tak jadi film horor. Film ini mungkin lebih bisa saya nikmati bila mengambil jalan sebagai drama psikologis dengan bumbu thriller.
Tetapi sejak awal saya membaca sinopsis singkatnya, “Siksa Kubur” memang sudah bermasalah. Mungkin tema itu seksi sebagai film pendek, tapi film panjang seharusnya dibuat atas dasar cerita yang masuk dinalar. Yang saya maksud begini, pertama untuk membuktikan kebenaran agama (dalam hal ini siksa kubur), seorang agnostik atau ateis sekalipun tak perlu masuk ke liang kubur seorang pendosa untuk membuktikannya. Repot amat. Lalu, film ini mengawali ceritanya dengan seorang pria melakukan bom bunuh diri karena takut siksa kubur. Sesungguhnya, di dunia nyata, setiap pelaku bom bunuh diri yakin mereka takkan mendapat siksa kubur ketika mati.
Mereka justru melakukannya karena di akhirat nanti dijanjikan langsung masuk surga dan mengawini 72 bidadari. Itu sebabnya mereka biasa menyebut diri “pengantin”.
Oke, mungkin film ini punya logika dan aturan dunianya sendiri. Saya mencoba memakluminya dengan berat hati.
Semula, Joko Anwar buat saya adalah padanan di Indonesia untuk Quentin Tarantino. Tapi di “Siksa Kubur” saya melihat Joko hendak menjadi Christopher Nolan. Sayang, Joko belum berhasil. Nolan piawai bikin film megah dengan pesan naif bak pandangan polos seorang bocah. Agar manusia tidak menghancurkan diri sendiri dengan senjata nuklir, ia membuat “Oppenheimer” yang repot-repot memperlihatkan kedahsyatan bom atom, pengepungan tentara Inggris di Prancis ia sampaikan dengan tiga cerita tumpang tindih agar “Dunkirk” terlihat tak biasa; pesan untuk melestarikan kehidupan di Bumi dan percaya sains ia sampaikan dalam “Interstellar” yang megah.
Joko ingin mengkritik orang-orang yang anti agama dan yang mengatasnamakan agama untuk melakukan perbuatan-perbuatan bejat.
Namun, alih-alih bikin drama psikologis yang cerdas dengan ironisme atau plot twist khas film-film Alfred Hitchcock, Joko tampak memaksakan diri ketika memilih genre horor untuk menyampaikan pesannya.
Misalnya, buat saya, segala kemunculan hantu di film ini justru mengaburkan pesan soal anti agama vis a vis percaya agama. Sebab, bagi yang tak percaya agama, tak mungkin takut (percaya) hantu. Seperti agama, hantu juga hal gaib yang basisnya adalah percaya keberadaannya. Bila tak percaya ada hal gaib, tak mungkin takut pada hantu. Tapi karena ini film horor yang mengharuskan ada hantu di dalamnya, tokoh kita, Sita (Faradina Mufti), yang tak percaya agama pun harus ditakut-takuti hantu dan ketakutan ketika bertemu hantu. Jadi, alih-alih punya pesan bocah polos tanpa dosa seperti film-film Nolan, film “Siksa Kubur” Joko seperti pandangan bocah yang punya pesan murni nan luhur tapi belum cukup pintar karena kurang membaca.
Memang, ada yang berteori ketika Sita menguburkan diri bersama pendosa pertama kali, Sita dan Adil (Reza Rahadian), kakaknya kemudian mati. Adegan sepanjang setengah film setelah itu adalah bayangannya seperti yang diteorikan di film ini bahwa sesaat setelah mati, seseorang akan mengingat apa yang menjadi harapannya hingga ketakutannya. Well, saya cuma bisa berkomentar: panjang benar imajinasi si mayit…
O iya, sub plot cerita tentang orang-orang di panti jompo sangat saya suka dan seharusnya bisa jadi film tersendiri yang lebih menggentarkan dan “Joko Anwar banget” seperti “Pintu Terlarang” dan “Modus Anomali”. Sayang beribu sayang…