Oleh : Habib Jansen Boediantono
‘’Catatan Mengenang sahabat ikhlas Lek Jumali Wayang Wolak Walik, semoga tenang di keabadian’’
Membaca novel lawas ziarah karya Iwan Simatupang saya jadi teringat pendapat Sartre tentang kematian, “Kematian adalah sesuatu di luar eksistensi manusia.”
Kematian memang bukan untuk manusia yang mengalami, tetapi untuk manusia yang masih hidup. Itulah sebab manusia perlu sebuah tempat untuk menentukan kedudukan geografisnya setelah mati. Lalu lahirlah pekuburan, jembatan penghubung antara kematian dengan kehidupan setelah mati.
Pekuburan juga memiliki makna lain yang tak kalah penting, menjadi upaya manusia memberikan harga pada kehidupan. Dengan indahnya opseter membangun logika tersebut melalui stream of consciousness, “semiskin – miskinnya manusia pastilah memiliki kuburan dari sanak saudaranya yang telah mati, tempat ia mempertautkan diri pada kenangan.”
Lalu apa yang perlu ditakuti pada kematian? Apalagi, “sepanjang pengertian kematian itu tiada maka kematian itu merupakan sesuatu yang ada, yaitu ketiadaan itu sendiri”. Demikian Tokoh Kita dalam novel ziarah merelatifkan batas antara hidup dan mati.
Lagi pula bukankah kematian suatu pengada bagi kehidupan manusia itu sendiri? Syekh Siti Jenar rupanya benar, “Kehidupan seperti orang yang bermimpi dalam tidur. Maka ketika ajal datang, kematian menjadi cara Tuhan membangunkan manusia dari tidur untuk menjalani kehidupan yang sesunguhnya “.
Hanya orang yang cinta dunia takut pada kematian”, itu saja percakapan batin yang bisa saya sampaikan.
picsource : kompas.id