Reportase : Ispelssy
Ambon, Kansnews.com – Beberapa saat lalu kota Jogjakarta dikejutkan oleh pengeroyokan santri, yang diduga pelakunya adalah para pemuda yang terpengaruh minuman keras. Ramailah kota Jogja soal bahaya minuman keras. Peristiwa itu pun sontak menjadi trending topik di jagad media sosial. Namun satu hal yang harus diingat, secara tradisional minuman beralkohol yang memabukan ini bukanlah barang baru bagi masyarakat kita.
Minuman beralkohol seakan-akan adalah bagian dari budaya Barat atau negara-negara maju di dunia. Padahal, Indonesia juga mengenal budaya minum-minuman beralkohol khas Indonesia. Seperti suku bangsa dan budaya Nusantara yang beragam, minuman beralkohol khas Indonesia juga bervariasi.
Minuman beralkohol di Indonesia kebanyakan berasal dari fermentasi bahan-bahan alami sehingga sering disebut sebagai minuman fermentasi. Fermentasi adalah suatu proses pengawetan makanan yang menggunakan mikroorganisme, seperti bakteri atau ragi.
Bakteri dan ragi tadi akan mengubah kandungan karbohidrat dalam makanan, seperti pati dan gula setelah didiamkan beberapa lama menjadi alkohol atau asam. Di Indonesia kita mengenal berbagai macam dengan keunikan Namanya masing-masing, seperti Ciu, Arak, Cap Tikus atau Sopi.
Begitupun dengan Sopi sebagai minuman khas Maluku. Selama ini penulis cuma tahu bahwa hanya di Maluku penyebutan Sopi kepada minuman keras tradisonal ini. Ternyata keliru karena minuman yang memabukkan bernama Sopi ini juga dikenal di Papua dan provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan nama yang sama.
Sopi sendiri berasal dari bahasa Belanda, yaitu Zoopje, yang berarti alkohol cair. Dari laman Wikipedia diperoleh keterangan, proses pembuatan minuman beralkohol ini cukup panjang. Cara pembuatan Sopi adalah dengan membubuhkan bubuk akar Husor yang telah ditumbuk dengan air sedapan dari pohon enau atau biasanya disebut Sageru oleh masyarakat setempat.
Hal ini dilakukan agar air sageru tersebut tidak menjadi manis dan mengental sehingga menjadi gula merah ketika dimasak. Kemudian air sageru akan dimasak dalam tungku kedap udara. Uapnya akan berubah menjadi zat cair yang dialirkan melalui batang bambu, dan ditampung dalam botol atau wadah lainnya.
Pengemasannya cukup mudah karena biasanya sopi dijual di dalam plastik, botol bekas air mineral, maupun botol kaca. Meskipun demikian ada juga masyarakat yang telah memproduksi Sopi modern dengan kemasan yang cukup baik.
Di Maluku sendiri Sopi terbuat dari beberapa pohon seperti pohon enau. Pohon koli atau lontar, bahkan juga dari pohon kelapa.
Almascatie, blogger dan penulis, sekaligus pemerhati budaya Maluku (Intisari online) menyebutkan, warna Sopi ada yang bening, ada juga yang bening kekuningan. Konon, degradasi warna ini menentukan kadar alkoholnya. Semakin tinggi kadar alkoholnya, semakin bening Sopi tersebut. Kadar alkoholnya mulai dari 30% ke atas.
Sejatinya minuman Sopi ini menjadi dilematis bagai masyarakat Maluku dengan kemajemukannya. Di satu sisi di kalangan masyarakat muslim Maluku, Sopi ini menjadi minuman yang sangat dilarang, bahkan ada beberapa kampung muslim yang memberlakukan hukuman cambuk bagi pelakunya.
Namun Sopi sudah mendarah daging bagi orang Maluku sebelum masuknya agama-agama samawi di kepulauan rempah-rempah ini. Sopi sebagai minuman adat, pada upacara sakral di beberapa kampung yang penduduknya beragama Kristen.
Sopi itu disajikan sebagai simbol “persaudaraan” untuk untuk menyambut tamu, tak heran ini menjadi dilematis jika dalam acara adat yang disambut adalah saudara mereka yang muslim, mau tidak mau simbol persaudaraan itu diganti dengan minuman lain yang non alkohol.
Beberapa masalah sosial yang dihadapi, Sopi menjadi pemicunya. Alasan utama kenapa minuman Sopi ini dilarang adalah karena efek sampingnya. Hingga saat ini upaya melegalkan Sopi dalam bentuk Perda selalu menemui kegagalan. Fakta yang timbul pada saat mabuk Sopi itu biasanya terjadi perkelahian dan berbuntut pertikaian antar warga. Beberapa kali pertikaian antara kampung, Sopi pemicunya. Makanya dilarang.
Namun fakta yang lain dari pada pengusul Sopi ini, yaitu alasan kehidupan mereka yang terbantu dengan minuman tersebut. Ada banyak anak yang berhasil menjadi sarjana, kehidupan masyarakat yang terbantu dengan adanya Sopi. Mulai dari yang berdagang hingga menjadi penyadap enau/kelapa untuk dijadikan Sopi.
Di Ambon, Almascatie mengisahkan, ada komunitas yang berusaha untuk melegalkan minuman Sopi supaya bisa dijual dan bisa dikontrol. “Sekarang ‘kan dijual secara sembunyi-sembunyi, siapapun bias beli. Mereka berkeyakinan Kalau dilegalkan, bisa diberi peraturan yang membatasi dan mengontrol pembeli. Seperti Sekarang anak SMP saja bisa membelinya.
Di Beberapa daerah di Maluku, ada beberapa kampung yang warganya memeliki penghasilan utamanya adalah pembuat Sopi. Ketika dilarang, masyarakat di kampung ini kesulitan mencari penghasilan lain. Di samping sebagai penghasilan ekonomi, Sopi mempunyai nilai adat yang lebih tinggi ketimbang hanya dianggap sebagai minuman yang memabukkan.
Karena saat upacara adat, ritual kerukunan antar negeri (kampung) di Maluku, Sopi selalu disajikan di sana, sebagai simbol persaudaraan dan kerukunan. Walau tak bisa ditampik menjaga kerukunan antar suku dan pemeluk agama memang sesuatu yang juga mutlak di Maluku bukan hal yang mudah.
Seiring berjalannya waktu dengan segala kontroversinya, seperti diungkapkan di detik.travel, Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Maluku sudah menyatakan bahwa Sopi telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia sejak Oktober 2016.
Sehingga warisan budaya harus dilindungi agar tidak punah, bukan dilihat dari soal efek samping negatif Sopi, tetapi bagaimana Sopi menjadi perangkat adat di Maluku,” kata Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Maluku Rusli Manorek.
Di balik semua cara pandang dengan perbedaannya di masyarakat beserta kemajemukan masyarakat Maluku, tak terasa kehadiran minuman olahan tradisional ini telah memperkaya ragam warisan budaya tanah air yang akan dilestarikan. (Isp)