Oleh : Jacob Ereste
Sungguh tidak sedikit ilmuwan Muslim yang telah menyumbangkan karya ilmiah hasil pemikirannya untuk dunia. Satu di antaranya adalah ilmu dan pengetahuan tentang algoritma yang menjadi basis pijakan pengembangan komputer yang kini melaju menjadi apa yang tengah menghebohkan dunia, yaitu artificial intellegence (AI) yang sangat dibanggakan sekaligus meresahkan banyak orang.
Soalnya, AI tidak cuma sekadar mempersempit lapangan kerja, sehingga banyak bidang pekerjaan yang diambil alih oleh mesin komputer dan robot, tetapi yang lebih mencemaskan ialah hilangnya sentuhan nilai kemanusiaan. Tak ada dialog — tak ada tawar menawar — atau semacam toleransi dan tenggang rasa. Karena semuanya terbilang saklek, pasti, tak bisa lebih tapi juga tidak boleh kurang. Karena memang tidak menolerir adanya kesalahan. Kalau kemudian mesin komputer macet, maka risikonya tak ada pelayanan yang bisa diperoleh bagi siapa saja yang memerlukan jasa dari hasil kerja mesin AI tersebut. Persis seperti untuk membayar karcis masuk ke jalan tol, atau melakukan transaksi tunai lewat rekening bank dan sebagainya yang sungguh dapat mempermudah sekaligus menimbulkan kesan jadi terasing, meski yang bersangkutan sedang berada di tengah keramaian.
Algoritma yang ditemukan oleh Al Khawarizmi pada tahun 780 Masehi ini baru mampu dikembangkan pemanfaatannya lebih jauh oleh Alan Mathison Turing pada tahun 1935. Karena Alan Mathison Turing mampu mengurai sejumlah langkah yang logis dan sistematis untuk memecahkan suatu masalah melalui rekayasa kepintaran mesin komputer yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan artificial intellegence, bersandar pada algoritma sebagai kunci untuk menciptakan ilmu komputer yang spesifik, untuk mengolah dan merinci suatu data. Philip K. Hitti mengakui Al Khawarizmi sebagai tokoh utama yang mengawali sejarah ilmu matematika seperti disebutkan dalam bukunya ”The History of Arab”.
Kekhawatiran banyak orang sekarang dengan kehadiran rekayasa teknologi kecerdasan buatan manusia (AI) ini, akan mengambil alih semua pekerjaan manusia sehingga hasilnya tidak lagi memiliki nilai-nilai kemanusiaan, hingga menjadi sebatas konsumsi guna memenuhi hasrat kebutuhan manusia semata. Inilah sebabnya kecerdasan spiritual harus menjadi pemandu dari peran dan fungsi AI dalam memanfaatkannya di kehidupan sehari-hari. Sebab bila tidak, maka nilai-nilai kemanusiaan sebagai fitrah sekaligus anugrah dari Tuhan akan tergerus dan tercampakkan. Tiada lagi artinya kebahagiaan di dunia maupun kelak di akhirat.
Padahal, para pegiat demokrasi dan ahli tata negara merasa bangga bahwa pilar demokrasi yang selalu menjadi celotehan dalam berbagai kesempatan adalah pilar utama dari cara berpikir yang sehat. Lalu bagaimana jika konsep dan praktik demokrasi mulai dipasrahkan juga oleh manusia kepada AI untuk mengolahnya ?
Artinya, boleh jadi pada suatu ketika, saat manusia merasa letih dan penat berpikir untuk memecahkan suatu masalah, lalu menyerahkan kepada AI untuk menyelesaikan masalah yang tidak mampu dilakukan oleh manusia. Padahal, pada hakekatnya manusia itu dituntut untuk berpikir, melihat, menikmati dan merasakan adanya kebahagiaan dalam semua proses yang menjadi bagian dari kehidupan.
Jadi, fungsi dan peran manusia yang sudah mulai diganti oleh mesin, akibatnya tentu saja cara berpikir manusia pun akan mulai disesuaikan oleh mesin yang tak punya rasa, tak punya insting dan tidak mempunyai kecerdasan spiritual yang meliputi banyak hal, termasuk rasa kasih sayang, serta rasa iba.
Karena itu hanya dengan tingkat kecerdasan dan kemampuan spiritual — bukan kecerdasan dan kemampuan intelektual — daya rusak dari kehadiran AI dalam kehidupan manusia mampu dieliminir atau diredam.
Banten, 11 Mei 2024