Oleh: Yuliantoro
Di tengah dunia yang makin bising oleh ambisi dan kejaran materi, aku memilih jalan yang sepi dan tak ramai dipuji: ngaji. Bukan sekadar rutinitas mingguan atau pengisi waktu luang, melainkan jalan hidup — bahkan jalan pulang. Sebuah perjalanan spiritual yang telah kutempuh sejak tahun 2002. Kala itu, anak-anakku masih kecil. Kami bukan keluarga santri. Tapi sejak awal, aku dan istriku bertekad: kami ingin menjadi keluarga pecinta ilmu.
Setiap malam, kami berboncengan naik motor menembus dingin menuju sebuah pondok di Plered. Seusai Maghrib hingga pukul sembilan malam, kami duduk bersila di majelis, mendengarkan para kiai membacakan kitab kuning dalam aksara Arab Pegon — menjelaskan dengan sabar, menjernihkan dengan kasih. Kamis malam, kami bershalawat bersama, melantunkan Barzanji, membiasakan hati mencintai Rasulullah ﷺ.
Siang harinya, aku adalah seorang jurnalis. Bekerja di Solo, mengejar tenggat, menghadapi derasnya arus berita. Tapi malam adalah ruang pulang — ruang untuk kembali membersihkan jiwa. Di majelis ilmu, aku bukan reporter. Aku hanyalah murid. Seorang penuntut ilmu yang datang dengan dahaga dan pulang dengan cahaya. Di sana, aku belajar diam. Belajar mendengar. Belajar menerima.
Kitab-kitab seperti Riyadhus Shalihin, Bidayatul Hidayah, Irsyadul Ibad, Hikam, hingga Tafsir Jalalain menjadi pelita dalam gulita zaman. Anehnya, meski tubuh letih dan waktu sempit, justru hatiku lapang. Cobaan hidup terasa lebih ringan, karena di sana aku menemukan yang tak ternilai: pertolongan Allah.