Oleh: Habib Jansen Boediantono

Dalam sebuah kitab primbon berjudul “Traite d’historie des Religions”, Mpu Mircea Eliade memberikan petunjuk pada santri-santri yang ada di padepokan Sorbone tentang pentingnya metode hermeneutika untuk mendapatkan pengertian yang bulat dari suatu fakta religius.

Hermeneutika bukan hanya menafsirkan fakta untuk memahami artinya tetapi juga berpikir kreatif atas fakta tersebut. Metode ini penting untuk menghindarkan kebekuan intelektual dan sikap dogmatis. Yang ingin ditampilkan bukanlah hal-hal baru, melainkan sudah lama ada, hanya orang belum mengerti sebelumnya.

Untuk itu butuh suatu teknik yang dinamakannya ‘’maieutic’’ yang membuat orang menjadi sadar akan kekayaan rohaniah dalam kandungan ajaran agama. Teknik yang sering disebut sebagai Metapsikoanalisa ini merupakan usaha memahami isi dan arti lambang-lambang religiusitas yang terdapat dalam ajaran agama dengan jelas dan dapat dihubungkan satu dengan lainnya.

Jika biasanya seorang teolog cukup puas bila telah mampu menjelaskan fakta historis, bagaimana suatu fakta telah dihayati dalam tahap-tahap kebudayaan pada masa tertentu yang telah diubah, baik itu penambahan maupun pengurangan dari sumber asli. Seorang filsuf berusaha menemukan arti religius dari fakta tersebut, menangkap dinamika bawah sadar yang ada dibelakang lambang dan mitos. Agar bisa mengungkap religiusitas manusia dalam lambang dan mitos diperlukan alat bantu berupa kekuatan imajinasi yang melampui dunia realitas. Inilah yang dimaksud dengan ‘fiksi pada kitab suci’.

Tanggapan ini hendak mengingatkan fiksi pada kitab suci ala Rocky Gerung hanyalah bagian dari ‘dubium methodicum’, sebuah cara untuk menggali kekayaan rohaniah sebuah agama melalui tafsir pada lambang dan mitos, seperti yang biasa dilakukan para filsuf kebudayaan Arkais. Fiksi kitab suci ini tentu saja sangat berat bila ditaruh pada isi kepala politikus kelas pemulung data.

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar