Oleh : Ade Irwansyah
BELUM lama ini saya nonton lagi film lawas “Sleepers” (1996), nonton ulang series Korea “The Glory” dan menamatkan versi komik “The Count of Monte Cristo”. Ketiga produk budaya pop itu punya tema yang sama: balas dendam. Di “Sleepers” mantan napi anak membalas dendam atas kekerasan seksual yang mereka alami oleh para sipir penjara; di “The Glory”, korban perundungan masa SMA menyusun strategi balas dendam pada kelompok siswa pem-bully-nya saat dewasa; sedangkan di “The Count of Monte Cristo”, Edmond Dantes yang dikhianati kawan-kawannya dan dijebloskan ke penjara beralih rupa jadi jutawan dan pangeran untuk membalaskan dendam kesumatnya.
Dari sudut pandang etika, moral, dan agama balas dendam bukan perbuatan terpuji. Ajaran Kristiani yang penuh kasih mengajarkan kita untuk memberi pipi kiri bila pipi kanan ditampar. Pepatah Tiongkok yang terkenal mengatakan, bila hendak melakukan balas dendam siapkan dua kuburan. Satu untuk korban balas dendam, satu lagi untuk pelakunya. Maksudnya, aksi balas dendam akan menghasilkan rantai kekerasan yang tiada akhir.
Namun, adakah aksi balas dendam yang bisa dimaafkan? Atau, pertanyaan yang lebih spesifik terkait kepentingan cerita fiksi, entah film atau novel, dapatkah aksi balas dendam protagonis kita dimaafkan oleh penonton atau pembaca?
Salah satu unsur penciptaan karya fiksi adalah membuat karakter utama, atau protagonis kita, dapat simpati pembaca atau penonton. Dengan mendapatkan simpati, diharapkan orang akan rela mengikuti nasibnya hingga akhir cerita. Orang ikut senang bila ia meraih tujuannya dalam cerita atau ikut sedih saat ia gagal menggapainya.
Di cerita bertema balas dendam, perlakuan terhadap protagonis kita harus sedikit unik. Yang ingin kita tuju adalah aksi balas dendamnya termaafkan dan memenuhi rasa keadilan kita. Bahkan, kita kesal bila ia tak berhasil membalaskan dendamnya.
Ada prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu untuk itu. Pertama, protagonis kita haruslah orang yang baik. Dia boleh sedikit bandel, tapi tidak boleh brengsek. Di “Sleepers”, bocah-bocah yang akhirnya masuk penjara anak aslinya berperangai baik. Mereka aktif sebagai bocah altar di gereja lingkungannya. Gara-gara kenakalan khas bocah (mengerjai tukang hot dog keliling dengan mencuri gerobaknya) mereka kena sial. Gerobak hot dog tergelincir masuk stasiun kereta bawah tanah dan menabrak seorang penumpang subway. Atas “kejahatan” itu mereka masuk penjara.
Di “The Glory”, Moon Dong-eun adalah siswi yang patut dikasihani. Ia murid miskin dan dikerjai murid-murid kaya. Perundungan terhadapnya sudah kelewatan. Ia disundut catokan rambut yang panas membuat kulitnya melepuh. Sedangkan Dantes di “The Count of Monte Cristo” semula punya kehidupan sempurna: ia akan menikahi tunangannya yang cantik dan baru naik jabatan.
Kedua, perlakuan atau perbuatan jahat pada protagonis kita harus tak termaafkan. Di “Sleepers” bocah-bocah tanpa dosa disodomi sipir bejat; Moon Dong-eun dilukai dengan catokan panas yang lukanya bikin gatal; Edmond Dantes tersiksa dalam penjara selama belasan tahun. Atas semua itu, kita ingin keadilan ditegakkan dengan cara para pembuat kejahatan tersebut dihukum. Caranya, dengan balas dendam yang dilakukan protagonis kita.
Ketiga, sebaiknya aksi balas dendam itu tak melanggar hukum, atau setidaknya jagoan kita lolos dari hukum. Begini, “The Glory” jadi terasa cerdas karena aksi balas dendam Dong-eun dilakukan penuh strategi. Dia merancang aksinya dengan sangat terukur, membuat para pelaku bullying malah saling melakukan kejahatan dengan tangan mereka sendiri. Polisi curiga Dong-eun merancang semuanya, namun itu bukan kejahatan.
Bila sebuah cerita balas dendam telah memenuhi unsur itu, rasanya ceritanya bakal disukai penonton.
Di atas dikatakan bahwa balas dendam akan melahirkan rantai kekerasan tak berakhir. Sebuah cerita balas dendam yang baik hendaknya juga menyisipkan pesan itu. Bahwa balas dendam pada akhirnya bukan perbuatan terpuji. Ketika dendam terbalaskan bukan kepuasan yang didapat, melainkan kehampaan. Kehilangan tujuan hidup karena tujuannya sudah tercapai.
Hal ini dialami Dong-eun di “The Glory”. Sejak SMA, Dong-eun sudah menetapkan tujuan hidupnya: balas dendam. Ia banting tulang kuliah pendidikan guru dan ketika lulus bisa mengajar di sekolah putri dari target balas dendamnya. Ia belajar catur Korea “go” untuk mendekati suami target balas dendamnya. Kala dendamnya terbalas, ia seolah kehilangan tujuan hidup. Ia ingin bunuh diri. Beruntung berhasil dicegah karena ia punya orang tersayang yang peduli padanya.
Pilihan tetap berada di jalur moral yang benar membuat cerita balas dendam “The Glory” terasa istimewa. Di balik keadilan yang akhirnya ditegakkan dengan si jahat dapat hukuman, si baik pun ikut mempertanyakan moral dari perbuatannya. Kita sebagai penonton cerdas kemudian memutuskan, ketika ditimpa kemalangan yang disebabkan orang lain apakah akan balas dendam atau memaafkan.