Oleh : Ade Irwansyah
SPOILER ALERT! Tulisan ini membincangkan plot penting dari novel
dan (mungkin) serial “Gadis Kretek”. Bagi yang tak ingin mengetahui sebelum baca atau nonton, saya sarankan melewatkan postingan ini.
SAYA mendengar versi serial “Gadis Kretek” yang akan tayang di Netflix tak mengadaptasi cerita keseluruhan novelnya. Di novel, cerita dimulai dari masa kini lalu bolak-balik ke masa lalu zaman penjajahan Belanda lalu Jepang dan masa Indonesia merdeka di awal proklamasi. Bagian masa lalu dari zaman penjajahan hingga tahun awal kemerdekaan konon tak masuk di seriesnya. Versi series memulai kala sang gadis kretek, Jeng Yah, beranjak dewasa, jatuh hati pada Soeraja dan kemelut gonjang-ganjing politik tahun 1965.
Bagian ini memang menjadi bagian paling menarik dan inti cerita “Gadis Kretek”. Jalan ceritanya buat saya mirip plot salah satu film terbaik sepanjang masa “Citizen Kane” (1941), bila di situ kita dengar kata “rosebud” di sini kita dengar nama “Jeng Yah.” Soeraja yang renta kerap menyebut nama itu antara sadar dan tidak. Anak-anaknya lalu mencari tahu siapa gerangan Jeng Yah ke kampung halaman sang ayah di Kudus dan lalu kota M. Di sini diceritakan kilas balik dua produsen rokok yang saling bersaing antara Idroes Moeria dan Djagad.
Jeng Yah putri Idroes. Ia jatuh cinta pada Soeraja atau Raja (dibaca Raya), seorang pemuda miskin tapi rajin. Raja kemudian ia ajak mengelola pabrik rokok milik keluarga. Raja yang rajin, dicintai putri pemilik pabrik dan jadi orang kepercayaan di perusahaan. Namun, Raja tak puas berada di ketiak Jeng Yah dan calon mertuanya. Ia ingin berusaha sendiri, memiliki pabrik rokok sendiri. Ia lalu mencari modal untuk membangun usaha. Ternyata yang bersedia memodalinya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai bagian dari propaganda PKI, partai itu memproduksi rokok kretek dengan lambang palu arit. Raja menjadi pengusaha rokok PKI dan akhirnya melamar Jeng Yah dengan wibawa. Pernikahan disiapkan. Namun, datang tragedi G-30-S yang dituduhkan ke PKI sebagai dalangnya. Anggota partai dan simpatisan lalu diburu dan dibunuh. Raja berhasil lolos dari pengganyang PKI.
Sampai di sini, menarik menyimak bagaimana PKI, komunisme dan tragedi 1965 ditampilkan di novel ini. Sebagai tragedi yang melibatkan elemen-elemen bangsa, kita lihat Raja sejatinya hanya rakyat kecil yang jadi korban tak bersalah atas tragedi tersebut. Ia bukan anggota partai maupun simpatisannya; ia tak mengerti komunisme dan mempraktekkan ajarannya. Ia hanya seorang pengusaha yang ingin mengambil untung dari partai. Karena PKI sedang banyak uang kala itu. Karena PKI jadi partai populer di masa itu. Memproduksi rokok atas nama PKI dan dimodali PKI adalah tindakan ekonomi yang brilian. Raja seorang pebisnis sejati. Ia seorang kapitalis yang memanfaatkan PKi dan komunisme, ibarat seorang pedagang kaos menjual kaos-kaos bergambar Che Guevara, Marx, Mao dan Stalin untuk para “communist chic” sebanyak-banyaknya. Yang ia cari bukan sama rata, sama rasa. Tapi dengan modal sedikit mungkin (hanya kepintarannya berdagang), meraih untung sebanyak mungkin. Itu kapitalisme, bukan komunisme.
Di sini kemudian saya merasa ceritanya tak logis. Kisah Raja ini terlalu menyederhanakan masa itu. Saya kurang percaya bahwa PKI di masa itu sedemikian bodoh, membiarkan Raja jadi kaya. Harusnya PKI tak sebodoh itu. Kecuali tujuan novel ini memang ingin menyederhanakan cerita.
Atau lihat pula, calon mertua Raja masak sih tak memperingatkan Raja ketika ia mulai akrab dengan kaum komunis. Seharusnya, Idroes bagian dari apa yang sering disebut “tujuh setan desa”, golongan pengusaha yang dimusuhi PKI. Buruh-buruh pabriknya atau petani-petani tembakaunya pastilah direcoki PKI. Tapi tak ada bagian itu diceritakan di novelnya. Bila usahanya direcoki PKI, tak mungkin ia membiarkan calon mantunya berkongsi dengan PKI.
Pendek kata, kompleksitas masa itu kurang terekam di novelnya.
Namun saya kemudian berpikir, mungkin bukan tujuan penulisnya, Ratih Kumala, untuk menggambarkan dengan kompleks manusia-manusia di masa itu bertindak.Tujuan novel ini mengkin hanya ingin mengedepankan kalau tragedi 1965 banyak makan korban yang tak bersalah. Mereka yang hanya memngambil peluang keuntungan dari PKI pun jadi korban. Namun, saya pikir, kondisi ini pun sudah salah sejak dalam pikiran. Mereka yang simpati dan memilih haluan komunis sebagai jalan hidup juga tak seharusnya dibantai pada mula-mula. Just saying…. (END)