Oleh: Peter F. Gontha
Ketika kita pertama kali bertemu seseorang—terutama sosok yang menarik perhatian seperti seorang perempuan—hal pertama yang kita perhatikan adalah wajahnya. Sekilas saja, kita langsung membentuk kesan: anggun, ramah, atau bahkan mencurigakan.
Apa pun yang dikatakannya setelah itu bisa saja penting, tapi kesan pertama biasanya menetap lama. Dan tak jarang, apa yang tampak indah di luar, ternyata menyimpan keburukan di dalam.
Hal ini juga berlaku ketika seseorang menginjakkan kaki untuk pertama kali di sebuah negara.
Bagi para turis atau tamu internasional, pengalaman pertama mereka bukanlah makanan, budaya, atau keramahan penduduk lokal—tapi bandara. Bandara adalah wajah negara. Ia menjadi tolok ukur. Lewat bandara, tamu mendapat pesan: “Inilah kami.” Apakah kami modern atau kacau? Tertib atau semrawut? Profesional atau masa bodoh?
Sayangnya, Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta tidak mencerminkan Indonesia yang besar dan bermartabat.
Sebagai seseorang yang telah melewati berbagai bandara internasional di dunia, pengalaman saya di Terminal 3 baru-baru ini adalah tamparan keras. Bandara yang seharusnya mencerminkan kedisiplinan dan kebanggaan nasional justru menyerupai pasar malam yang tak terurus.
Tidak ada keteraturan. Orang berlarian ke segala arah. Orang-orang tanpa izin berkeliaran di zona terbatas, menunggu menyambut tamu-tamu penting.
Rombongan pejabat, ajudan, pengawal pribadi, bahkan asisten pengusaha kaya bertindak seolah bandara itu milik pribadi mereka. Sementara itu, para penumpang yang baru pulang dari ibadah umrah—berpuluh-puluh, bahkan ratusan orang—berkerumun di area kedatangan, memenuhi ruangan tanpa pengaturan yang jelas, seolah tidak ada tempat lain yang bisa secara khusus disediakan untuk menampung mereka. Mereka yang datang dari tanah suci bercampur dengan penumpang umum lainnya, menciptakan suasana yang jauh dari nyaman dan tertib.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kita ingin tampil sebagai bangsa yang religius namun tetap tertib dan beradab, ataukah kita sudah kehilangan arah dan gagal menata hal-hal paling dasar dalam manajemen publik? Bahkan di negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab—yang setiap harinya menerima jamaah umrah dan haji dalam jumlah besar—tidak pernah kita jumpai kekacauan seperti ini. Mereka mengelola arus manusia dengan tertib dan profesional, tanpa menimbulkan kesemrawutan seperti yang kita saksikan di sini.
Saya satu pesawat dengan seorang anggota DPR yang sangat senior. Begitu mendarat, ia langsung dijemput oleh 5 petugas bea cukai, Stadd DPR , Adjudan, dan sekuriti bandara di pintu pesawat. Mereka bergegas mengawalnya seperti raja, mengacaukan arus penumpang lain yang juga baru tiba. Ini hanya satu contoh nyata dari budaya istimewa yang merusak sistem pelayanan publik kita.
Ketika masuk ke area pengambilan bagasi, kekacauan makin menjadi. Banyak penerbangan internasional datang bersamaan. Tidak cukup petugas, tidak cukup trolley, tidak cukup ruang. Para penumpang berebut kereta bagasi, antrean menumpuk, dan emosi mulai naik.
Namun bencana sesungguhnya terjadi di area bea cukai.
Di negara-negara maju seperti Jepang, Singapura, Inggris, atau Amerika Serikat, proses bea cukai sudah efisien dan berbasis kepercayaan. Mereka mengandalkan teknologi dan kecerdasan buatan untuk mendeteksi penumpang yang mencurigakan. Sistemnya sederhana: jika Anda punya barang yang perlu dilaporkan, silakan lewat jalur deklarasi. Jika tidak, Anda cukup berjalan keluar tanpa hambatan. Tapi jika berbohong dan tertangkap, hukumannya sangat berat—denda besar atau bahkan hukuman penjara.
Jakarta memilih jalan sebaliknya.