Catatan Cak AT

Korupsi ibarat bau tak sedap di sebuah ruangan tertutup tanpa ventilasi. Para ahli, mantan pejabat, aktivis, jurnalis, dan kaum muda yang berkumpul di gedung Universitas Paramadina di Kuningan, Jakarta, seolah mencoba mengatasi bau tersebut melalui diskusi selama dua jam. Padahal, untuk membuka jendela saja, apalagi membersihkan ruangan, jelas dibutuhkan lebih dari sekadar diskusi.

Begitulah nuansa yang terasa pada diskusi memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia tahun ini. Ada yang mengungkap tingkat keparahan korupsi yang luar biasa, ada yang membahas definisi korupsi yang masih kabur, ada pula yang menyarankan mengganti istilahnya, dan sebagian tampak pasrah pada kenyataan meskipun mencoba menawarkan solusi yang terdengar klise.

Salah satu pembicara menyoroti definisi korupsi di Indonesia yang unik: harus ada kerugian negara. Definisi ini sudah berusia lebih dari setengah abad. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kerugian negara? Jawabannya sering kali menjadi labirin hukum yang rumit. Konon, sejarah pasal “kerugian negara” berkaitan dengan upaya menghindari nasionalisasi perusahaan asing pasca Konferensi Meja Bundar.

Di Australia, suap saja sudah cukup dianggap sebagai korupsi. Begitu pula di Singapura, definisi korupsi sesederhana “suap.” Tapi bagaimana dengan Indonesia? Suap sering dianggap sekadar “uang terima kasih,” dibudayakan dengan kebiasaan kita memberi uang amplop. Seorang ibu dalam diskusi ini bahkan mengeluh, “Kenapa nggak kita sederhanakan saja? Fokus pada suap, selesai!” Tapi apakah sesimpel itu?

Ada juga usulan ekstrim: mengganti istilah “korupsi” karena dianggap tidak dikenal dalam budaya lokal. Istilah ini memang berasal dari bahasa Latin corruptio, yang berarti “busuk.” Apakah kita lebih baik menyebutnya “yang membusukkan negara”? Ide ini terdengar menarik, menjijikkan, tetapi tidak otomatis menghilangkan praktik busuknya.

Seorang ekonom menyebut demokrasi kita sebagai “pohon pisang” — hanya memiliki satu cabang eksekutif yang dominan, sementara cabang legislatif dan yudikatif hanya menjadi pelengkap. Orang-orang yang sama memimpin partai sekaligus menjabat di pemerintahan. Di bawah sistem ini, diskresi pejabat —alias kebebasan memutuskan tanpa pengawasan— bercampur dengan monopoli kekuasaan dan minimnya akuntabilitas.

Akibatnya? Kebijakan aneh yang mengindikasikan adanya uang haram yang dicuci hingga terlihat halal. Ia mencontohkan pemilu di Indonesia yang menghabiskan triliunan rupiah dalam satu musim. Demokrasi berbiaya tinggi ini menciptakan ekonomi yang membebani pajak rakyat. Menurutnya, “Lima tahun mendatang, biaya mahal dari ‘gas’ satu bulan pemilu ini harus terus kita bayar.”

Salah satu poin menarik adalah pandangan bahwa segalanya bergantung pada presiden. “Kalau presiden baik, semuanya baik,” ujar salah satu pembicara dengan nada pasrah. Tetapi apakah realistis menaruh semua harapan pada satu individu? Bahkan presiden tidak kebal dari kontroversi. Anak presiden, misalnya, lolos dari pasal gratifikasi hanya karena alasan teknis bahwa namanya bukan di satu Kartu Keluarga dengan ayahnya.

Seorang kolumnis menawarkan pendekatan moral dan etik, mengajak kita menjadi “cahaya” di tengah kegelapan. “Korupsi adalah tanda bangsa tanpa jiwa,” katanya. Tetapi bagaimana cahaya itu bersinar di tengah masalah struktural? Ia mengajak kita kembali ke norma-norma demokrasi yang tak tertulis. Sayangnya, norma-norma ini sering tenggelam oleh realitas politik transaksional.

Diskusi ini juga memunculkan pertanyaan menarik: mengapa di negara seperti Australia, kasus korupsi jarang terjadi? Salah satu jawabannya adalah penegakan hukum yang konsisten dan sederhana. Kepastian hukum, bukan beratnya hukuman, yang menciptakan efek jera. Di Georgia, misalnya, pemecatan 30% polisi korup membuktikan bahwa tindakan tegas membuahkan hasil.

Sementara itu, di Indonesia, polisi sering menjadi bagian dari masalah. Mulai dari isu suap hingga munculnya “partai cokelat” dalam pemilu, korupsi seolah menjadi pelumas demokrasi yang mencoba meniru Amerika —yang ironisnya sudah bangkrut. “Polisi adalah pagar yang seharusnya melindungi kita dari barbarisme,” ujar seorang pembicara. Sayangnya, pagar itu sendiri sudah karatan.

Di akhir diskusi, seorang jurnalis senior mengemukakan pernyataan menggugah: “Korupsi bukan untuk didiskusikan, tapi untuk ditindak.” Kata-kata ini menggambarkan rasa frustrasi kolektif terhadap wacana tanpa akhir yang tak menghasilkan tindakan nyata. Mengapa kita terus berdiskusi? Mungkin untuk sekadar menjadi tonikum penyemangat anti korupsi. Atau, karena lebih mudah berbicara daripada menghadapi konsekuensi dari solusi.

Memang, di tengah skeptisisme masyarakat terhadap korupsi dan solusi-solusi yang ditawarkan, semangat para pegiat anti korupsi tak boleh surut. Apalagi ketika lembaga penegak hukum seperti KPK dan aparat keadilan terlihat lumpuh —atau sengaja dilumpuhkan— kita membutuhkan tonikum yang lebih kuat untuk menghidupkan kembali perjuangan bersama. Gagasan membangun hub anti korupsi alternatif, seperti yang ditawarkan Universitas Paramadina, patut diapresiasi.

Pada akhirnya, jangan sampai Hari Anti Korupsi Sedunia berlalu seperti tahun-tahun sebelumnya — dengan banyak kata, sedikit tindakan nyata, dan bau busuk yang tetap tinggal di rumah besar bernama Indonesia. Jika kita tidak segera membuka jendela dan membersihkan rumah ini, diskusi seperti ini hanya akan menjadi ritual tahunan yang kehilangan makna.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 6/12/2024

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar