Catatan untuk Silaturahmi Budaya di Studio Plesungan Karanganyar Surakarta

Oleh : Mustofa W Hasyim


Salah satu yang ditekankan Umbu Landu Paranggi yang kemudian disampaikan dengan lebih kuat oleh Emha Ainun Nadjib adalah; dalam menjalani hidup selalulah terjaga (kesadaranmu). Jadi hidup jangan nglindur.

Sejak dari rumah Kauman, naik bentor ke Museum Sandi lalu naik bus menuju Plesungan Karanganyar saya usahakan kesadaran saya dalam posisi terjaga. Saya duduk dekat Sius yang saya kenal sejak zaman dia sekolah SMSR ketika saya bersama Adil Amrullah dan Indra Tranggono mengasuh lembaran sastra Insani di harian Masa Kini. Sius dan teman teman SMSRnya (Hendro Suseno, Suwarno Wisetrotrom, Butet Kertarajasa) sering mengirim vignet unik untuk ilustrasi cerpen atau puisi dan honornya lumayan untuk menambal kebutuhan hidup sebagai pelajar SMSR. Dan saya sebagai wartawan dan redaktur koran beruntung bisa menulis berita yang honornya satu kali pemuatan bisa untuk beli nasi rames dua kali.

Saya dan Sius terjaga dalam kesadaran waktu lampau merayakan kegembiraan masa muda. Kadang diseling dengan mengunyah-kunyah pengalaman yang asyik bersama Emha Anun Nadjib.

Nah, dalam keadaan terjaga saya sampai di Studio Plesungan dengan tuan rumah Halim HD dan isterinya bersama kru yang tangkas menyiapkan kuliner sehat Jawa ndesa.

Dengan metode terjaga kesadarannya maka saya mudah masuk dalam dunia dan situasi pertunjukan ketika tiga mbak-mbak dari Singapura beraksi (bergerak). Sebuah dunia dan situasi pertunjukan yang sama sekali baru di mana seni yang ditampilkan mengalami proses purifikasi (pemurnian) sejak dari niat, proses sampai akhir pertunjukan.

Sebagai aktivis seni budaya konvensional yang dulu disebut seni bertendensi. ’’Tendensi Ganda’’. Pertama, seni budaya Jawa yang memikul beban berat sebagai seni budaya yang memahayu hatuning bawana (saya lahir sampai masa pemuda di Kotagede, kota internasional yang menjadi ibukota Kerajaan Mataram Islam yang menjadi leluhur Kerajaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta).

Kedua, seni budaya Islam modern (Muhammadiyah) yang memikul beban berat sebagai seni budaya profetik (dirumuskan oleh Kuntowijoyo) yang memiliki tiga pilar pemahaman dan kesadaran yairu seni budaya yang bergerak pada lini humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (tu’minu billah). Lagi-lagi saya lahir di Kotagede yang disentuh oleh Muhammadiyah sejak awal abad 20.

Dalam film Sang Pencerah ada adegan fenomenal dan monumental di mana Kiai Ahmad Dahlan mendefinisikan dan mengidentifikasi agama Islam dengan menggesek biola dengan piawai. ’’Agama itu harmoni’’, begitu inti pesan Kiai Dahlan. Saya sendiri basah kuyup dengan seni budaya profetik itu. Sejak lahir, TK, SD, Sekolah menengah sampai kuliah saya bernapas dalam koridor seni budaya profetik itu. Di organisasi pemuda sampai orang dewasa Muhammadiyah, saya aktif di seksi atau departemrn atau lembaga yang fokus pada kegiatan senj budaya. Saya pernah menjadi sekretaris Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah tingkat propinsi (PWM) dan tingkat nasional (PP Muhammadiyah). Untung saya diselamatkan Umbu Landu Paranggi (lewat komunitas Oersada Studi Klub Malioboro) yang mempraktikkan model edukasi Tamansiswa bernama ’’Sistem Among’’ untuk menjaga keseimbangan energi cipta rasa dan karsa manusia lewat laku sakmadya dan prasaja.

Ternyata bekal ‘ideologi’ seni budaya Jawa dan seni budaya Islam modern saya cukup lentur dan luwes dengan gerak moderasi yang terbuka sehingga bisa bergaul dan mengapresiasi gelagat atau arus purifikasi seni budaya yang berproses di Studio Plesungan. Saya enjoy dan tanpa hambatan menikmati tiga pertunjukan di studio ini, kemarin Sabtu siang (31/05/2025). Abjad dan idiom gerak-geraknya relatif bisa saya baca dan saya nikmati dengan merdeka. Pada jam-jam itu kesadaran saya bisa terjaga terus menerus sampai pertunjukan usai dan selama diskusi atau sesudah pertunjukan. Tentu saya harus membangun metabolisme mental dan fisik agar keletihan dan kesegaran bisa hadir di diri saya secara dialektis terus menerus sehingga menghasilkan keasyikan yang tak terlupakan.

Saya berterimakasih kepada Halim HD dan mbak Melati bersama pelaku pertunjukan dan kru Studio Plesungan yang menerima kedatangan kami, juga kepada Ons Untori, Mas Indro dan teman-teman Komunitas Sastra Bulan Purnama Yogya yang bersama-sama menjelajahi kemungkinan baru dalam berseni budaya di Studio Plesungan Karanganyar Surakarta.

Yogyakarta, 01 Juni 2025.

Advertisement

Tinggalkan Komentar