Reportase : Red.

‘’Ekosistem ekonomi keuangan syariah seharusnya dibangun secara kolektif tidak bisa sendiri-sendiri, tapi kolektif oleh minimal 57 negara OKI. Juga, mesti membangun hubungan global karena 2 miliar penduduk muslim dunia sudah mengonsumsi sekira 3 Triliun USD hampir tiga kali lipat PDB Indonesia.’’

Hal ini disampaikan oleh Abdul Hakam Naja, Ekonom INDEF pada diskusi yang diadakan oleh Universitas Paramadina bekerja sama dengan INDEF dan UIN Jakarta dengan tema Penguatan Ekosistem Halal untuk Masa Depan Ekonomi dan Keuangan Syariah. Diadakan melalui zoom meeting pada Jumat (4/10/2024).

“Selama ini kita agak lalai, tidak aware utntuk mengambil peran sinergi dengan negara-negara muslim minimal Brunei dan Malaysia untuk mengambil kesempatan itu. Padahal negara-negara lain sudah mengambil peran yang sangat penting. Indonesia menjadi negara terbesar pengonsumsi food and beverage industry di kalangan negara OKI. Sementara negara lain di Luar OKI jadi produsen terbesar. Seperti Brazil, Australia, USA dan China, Thailand,” tuturnya.

Berdasarkan laporan bank dunia ada 100 negara yang terjebak menjadi middle income trap termasuk Indonesia pendapatan per kapita hanya 4400 – 13.000 USD per tahun. Indonesia hanya 5.200 USD per kapita per tahun, Brunei 35.000 USD per kapita per tahun. Untuk itulah Indonesia perlu bersinergi membangun ekosistem industri keuangan halal dan turunannya agar tidak terjebak sebagai negara midlle income trap.

“Bank dunia merekomendasi ada 3 langkah yaitu investasi, domestic dan foreign invest; inclusion fund, + techonology sebagai value added; dan inovasi menjadi sangat penting,” pungkas Hakam.

Hakam mengusulkan Indonesia sebaiknya fokus pada 4 sektor yaitu keuangan syariah, makanan dan minuman, pariwisata halal dan fashion halal. Industri fashion bisa jadi pemantik untuk bangkit dari keterpurukan. Dari kasus industri tekstil yang tutup dan PHK, itu kesempatan bagi fashion halal untuk masuk. Bahan baku tekstil dan kreator mode bisa dikreasi inovasikan baik untuk pasar domestic ataupun 2 miliar penduduk muslim dunia. Kemudian ada upaya juga untuk mencegah terus terjadinya deindustrialisasi sejak 2024 hanya 19% kontribusi sektor industri padahal di 2002 bisa 32%.

“Model ini dapat di gunakan dalam skala nasional dari skala kecil ke skala besar. Kemudian dapat melihat juga pada segi istilah yang sering digunakan, agar lebih efektif opportunity sangat besar,” tutur pengajar di UBD School of Business and Economic, Universiti Brunei Darusalam, Mohammad Nabil Almunawar.

Ia memaparkan bahwa pasar halal food sangat besar, di mana sekitar 25% secara global pada 2023 adalah umat muslim yang diperkirakan nilai pasarnya besar sekali sebanyak 7,2 triliun pada 2020 dan bertambah tiap tahunnya sebanyak 5,6%. Pasar yang selama ini diambil oleh sebagian besar umat non-muslim adalah suatu tantangan bagi umat muslim untuk bagaimana bisa memanfaatkan untuk kepentingan dan kemakmuran Indonesia.

Sekitar 237 juta di tahun 2023, market halal menjadi incaran di negara-negara lain. Dengan demikian pasarnya akan membesar jika kesadarannya pun meningkat, di mulai dari makanan halal, obat-obatan dan pakaian berkembang pesat. “Jika dilihat dari permintaannya selalu meningkat, karena permintaan penduduk dan kesadaran masyarakat. Diperkirakan nilainya USD 619, 47 pada tahun 2029 di mana pangan merupakan segmen yang paling sering dicari karena di dalamnya tersedia makanan dan minuman halal,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa sudah semestinya tiap produk halal mulai dari bahan produksinya halal semuanya. Dapat dilihat dari supply chain yang merupakan series of interconnected untuk bahan produk dan penjamin agar sampai ke konsumen di mana rantai pasok halalnya dapat dipastikan.

Dr Handi Risza, Wakil Kepala Center for Sharia Economic Development INDEF dan Wakil Rektor Universitas Paramadina memaparkan bahwa Industri halal sudah menjadi isu global. Global Islamic Economy Report telah mencatat potensi ekonomi halal, meski secara populasi muslim Indonesia terbesar kedua setelah Pakistan, tapi di dunia ada 2 miliar konsumen muslim yang akan menjadi potensial market produksi halal.

Kemudian dilihat dari sisi segmen negara, ada 57 negara OKI yang merupakan potensial market dan bisa dikembangkan. Transaksi konsumen muslim meningkat 2,3 T USD setiap tahunnya dan terus meningkat. Industri halal saat ini bisa ditemukan dalam berbagai produk tertentu. Ada kategori makanan dan minuman halal, fashion, kosmetik, media dan farmasi.

“Jadi ada 6 – 7 industri yang jadi ukuran dari perkembangan industri keuangan halal. Di negara-negara industri maju yang industri sudah sangat keuangan, industri keuangan halal menjadi salah satu bisnis keuangan terbesar,” tutur Handi.

Ia menilai bahwa halal produk tidak hanya menjadi isu muslim country, kini Australia telah jadi pengekspor daging halal terbesar di dunia termasuk Brazil. Negara-negara tersebut sudah menerapkan sertifikasi dan standarisasi halal sehingga bisa di konsumsi di negara-negara muslim Asia Barat, Timur Tengah dan Asia Tenggara.

Kemudian bagaimana kondisi riil di Indonesia? kenapa harus membangun ekosistem halal? Handi melihat hal tersebut disebabkan karena perkembangan industri halal kita masih tumbuh sektoral yang belum terintegrasi jadi satu kesatuan. Misalnya untuk Commercial finance, perbankan dan industri keuangan non bank yang masih belum terkoneksi secara lebih kuat dengan industri halal lainnya.

Halal value change juga belum terbentuk komprehensif seperti input, proses, sampai proses akhir yaitu output. Persoalan bir, wine yang disertifikasi, itu karena terbukanya sistem self declare di mana ada persoalan dari sisi pendamping atau dianggap hanya formalitas saja, hingga tidak menggunakan pendamping hingga makanan dan minuman yang sebetulnya tidak berhak mendapat sertifikasi halal ternyata bisa dapat.

Masalah struktural yang masih menjadi bottle necking pada industri halal sehingga ekosistem halal belum bisa terbangun adalah kendala modal yang terbatas dan kendala lainnya adalah minimnya kebijakan pemerintah. Pemerintah perlu mendorong kebijakan industri halal, kebijakan pajak atau tempat kan dana yang kira-kira bisa diputar oleh industri halal.

Maka dari itu, terobosan kebijakan yang diusulkan oleh Handi adalah UU no 59/2024 tentang RPJPM sudah memasukkan penguatan ekonomi syariah untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional. Kemudian terkait anggota DPR yang baru saja dilantik periode 2024-2029, maka kesempatan untuk memasukkan kembali usulan pengesahan UU Ekonomi Syariah agar terdaftar dalam program legislasi parlemen. Pada 10 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia stuck di angka 5%, berkaitan dengan kontribusi industri pengolahan seharusnya sudah bisa menyumbang pertumbuhan 20% ke atas ternyata hanya 18%. Begitu juga dengan sektor pertanian dan pertambangan.

Rekomendasi yang dapat diberikan dalam RPJMN dan RPJMP 2024-2029 industri halal harus masuk dalam kebijakan negara sehingga menjadi bagian yang menyatu dan strategis; harus diberikan ruang dan failitas pada keuangan syariah dan perbankan syariah agar bisa berkembang; dan mendorong regulasi payung (omnibus law) untuk percepatan ekonomi dan keuangan syariah

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar