Oleh: Sobirin Malian
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan

Mengiringi demonstrasi besar-besaran beberapa waktu lalu, muncul kembali usulan (tuntutan) dari sejumlah lembaga dan pendemo agar DPR dan Pemerintah segera mengesahkan RUU Penyitaan Aset.

RUU Penyitaan Aset sendiri sudah sejak era Presiden Joko Widodo dibuat, tapi “ngendon” bahkan menguap tak jelas kabarnya hingga muncul kembali usulan (tuntutan) akhir-akhir ini.

Mengapa UU Penyitaan Aset Urgen?


Desakan untuk mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset semakin kuat karena banyak pihak menilai bahwa peraturan ini sangat penting untuk memberantas korupsi di Indonesia. Undang-Undang Perampasan Aset jika disahkan, bertujuan memberikan wewenang lebih kuat kepada negara (pengadilan) untuk menyita dan mengelola aset-aset yang diperoleh melalui tindak pidana korupsi.

Ada beberapa kelebihan jika kita memiliki UU Perampasan Aset: (1) Dengan adanya regulasi yang jelas dan tegas, para pelaku korupsi akan berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan korupsi karena risiko kehilangan aset yang didapatkan secara ilegal. (2) Pemulihan aset negara; aset-aset yang berhasil disita dapat dialokasikan kembali untuk proyek-proyek pembangunan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas. (3) Proses perampasan aset dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.

Namun, mengapa pengesahan RUU Perampasan Aset terkesan selalu “muncul tenggelam”, tak lain karena RUU tersebut menghadapi beberapa tantangan, seperti: (1) Ketakutan penyalahgunaan wewenang, bahwa kemungkinan peraturan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk tujuan tidak semestinya. (2) Dukungan politik terhadap pengesahan UU ini sangat minim, padahal pengesahan RUU memerlukan konsensus kuat di antara fraksi politik di parlemen. (3) Hal yang tidak kalah pentingnya, pengesahan undang-undangan ini akan memicu berbagai potensi konflik kepentingan. Legislator secara umum memiliki jejaring dan hubungan atau afiliasi dengan individu atau kelompok yang terkena dampak negatif dari pengesahan RUU.

Potensi Konflik Kepentingan

Potensi konflik kepentingan dalam Undang-Undang Penyitaan Aset dapat mengenai beberapa lembaga atau pejabat, terutama yang memiliki kedekatan dengan kasus korupsi atau tindak pidana lainnya. Berikut beberapa contoh lembaga atau pejabat yang mungkin terkena dampak:

Pejabat Publik dengan Jabatan Ganda; pejabat yang memiliki jabatan ganda, baik di pemerintahan maupun di perusahaan swasta, dapat menimbulkan konflik kepentingan jika aset yang dimiliki atau dikelola oleh perusahaan tersebut terkena penyitaan.

Anggota Legislatif; seperti diketahui bahwa tidak sedikit diantara anggota dewan memiliki bisnis dan tentu ada potensi konflik kepentingan pribadi atau bisnis dalam hal itu yang akan menganggu dalam pengambilan keputusan.

Pejabat Eksekutif; tidak sedikit pula pejabat tinggi negara, seperti menteri atau kepala lembaga, yang memiliki afiliasi dengan perusahaan atau individu yang terkena penyitaan aset dapat menimbulkan konflik kepentingan.

Keluarga atau kerabat pejabat yang memiliki kepentingan dengan pihak yang terkena penyitaan aset juga dapat menimbulkan konflik kepentingan.

Lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan bahkan kehakiman, yang memiliki wewenang dalam proses penyitaan aset harus tetap independen dan tidak memiliki konflik kepentingan dengan pihak yang terkait.

Sebenarnya, dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, terdapat beberapa ketentuan yang dapat membantu mencegah konflik kepentingan, seperti:

Pengawasan independen dapat membantu memastikan bahwa proses penyitaan aset dilakukan secara transparan dan akuntabel. Terkait mekanisme sanksi yang tegas dapat membantu mencegah penyalahgunaan wewenang dalam proses penyitaan aset. Pada akhirnya, jika pengelolaan aset dilakukan dengan transparan tentua akan membantu mencegah penyalahgunaan aset yang disita.

Untuk mengatasi hambatan ini, diperlukan pendekatan strategis yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti meningkatkan kesadaran publik, membangun koalisi dukungan, dan implementasi mekanisme pengawasan yang ketat. Bahkan diperlukan “desakan” lebih keras seperti aksi demo beberapa waktu lalu. Terpenting, kesadaran dan komitmen anggota dewan yang terhormat dan pemerintahlah penentu pengesahan RUU Penyitaan Aset ini.

Efektivitas UU Penyitaan Aset di Beberapa Negara


Beberapa negara telah mengimplementasikan Undang-Undang Penyitaan Aset dengan efektif dalam memberantas kejahatan dan korupsi. Berikut beberapa contoh: Amerika Serikat memiliki sistem penyitaan aset yang kuat, termasuk “Non Conviction Based Asset Forfeiture” (NCB) yang memungkinkan pemerintah menyita aset tanpa tuntutan pidana. NCB digunakan untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana dan memutus jalur keuangan kejahatan terorganisir.

Ada tiga jenis prosedur penyitaan aset di AS, yaitu: (1) Perampasan harta kekayaan secara administratif; Penyitaan aset tanpa proses pengadilan, jika pemerintah memiliki bukti kuat bahwa aset tersebut diperoleh secara ilegal. (2) Perampasan harta kekayaan secara pidana, bahwa penyitaan aset sebagai bagian dari putusan hakim dalam perkara pidana. (3) Penyitaan aset melalui proses perdata, tanpa tuntutan pidana.

Di negara Swiss, undang-undang seperti ini memiliki sistem perampasan aset yang sangat efektif, dengan ketentuan yang jelas dalam hukum pidana. Pemerintah Swiss dapat menyita aset hasil tindak pidana, baik melalui proses pidana maupun perdata.

Di Filipina telah mengimplementasikan NCB Asset Forfeiture untuk memberantas korupsi dan pencucian uang. Pemerintah Filipina dapat menyita aset yang diduga diperoleh secara ilegal, dengan prosedur yang jelas dan transparan. Sudah sejak rezim Ferdinand Marcos dulu undang-undang ini dirumuskan, hanya saja memerlukan waktu menunggu komitmen para anggota parlemen dan para pejabat elit negara_sampai undang-undang ini diberlakukan efektif.

Di negara Australia memiliki sistem “Unexplained Wealth” yang memungkinkan pemerintah menyita aset yang tidak dapat dibuktikan diperoleh secara sah. Proses pembuktian terbalik digunakan, sehingga pemilik aset harus membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal.

Negara Malaysia memiliki undang-undang Anti-Corruption Act yang efektif dalam memberantas korupsi. Pemerintah Malaysia dapat menyita aset yang diduga diperoleh secara ilegal dan mewajibkan pemilik aset untuk membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara sah.

Perdana Menteri Malaysia yang terkena penyitaan aset karena dituduh korupsi adalah Najib Razak. Ia adalah mantan Perdana Menteri Malaysia yang menjadi tokoh kunci dalam skandal korupsi 1MDB (1Malaysia Development Berhad). Najib Razak divonis penjara 12 tahun setelah terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang dalam jumlah besar melalui skandal tersebut.

Dalam kasus ini, Najib Razak dituduh melakukan penipuan dan penggelapan dana 1MDB yang mencapai miliaran dolar AS. Uang tersebut digunakan untuk berbagai keperluan pribadi, seperti membeli barang mewah dan membiayai film Hollywood “The Wolf of Wall Street”.

Beberapa aset yang disita dari Najib Razak termasuk: Uang tunai Ratusan juta dolar AS yang ditemukan di rekening bank pribadinya, Barang mewah termasuk Kapal pesiar seharga 250 juta dolar AS dan lukisan van Gogh. Aset lainnya, Properti dan investasi yang diduga dibeli dengan uang hasil korupsi.

Najib Razak telah menjalani proses hukum yang panjang, termasuk pengadilan banding yang menolak upaya bandingnya pada Agustus 2022.

Apa pelajaran yang dapat kita petik?


Dari pemberlakuan dan efektivitas Undang-Undang Penyitaan Aset di berbagai negara, beberapa pelajaran yang dapat kita petik adalah:
Kuatnya Hukum, bahwa Undang-Undang Penyitaan Aset yang efektif dapat menjadi alat yang kuat untuk memberantas korupsi dan kejahatan.

Proses penyitaan aset harus transparan dan akuntabel untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Kerja sama internasional dapat membantu dalam proses penyitaan aset, terutama dalam kasus yang melibatkan lintas negara. Undang-Undang Penyitaan Aset harus menjadi bagian dari pendekatan yang komprehensif untuk memberantas korupsi dan kejahatan.

Pengawasan yang ketat dan tegas diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan bahwa proses penyitaan aset dilakukan secara adil.

Pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya Undang-Undang Penyitaan Aset dapat membantu meningkatkan efektivitasnya.
Lembaga penegak hukum harus memiliki kemandirian dan integritas yang tinggi untuk menjalankan Undang-Undang Penyitaan Aset secara efektif.

Jangan ada lagi baik secara kelembagaan maupun pribadi ada intervensi dari pemerintah dalam penegakan undang-undang ini.
Hal terpenting jika undang-undang penyitaan aset ini disahkan, tentu akan cukup banyak “aset-aset” negara yang dapat diselamatkan dari para penjahat (koruptor) yang selama ini tak tersentuh.

Advertisement

Tinggalkan Komentar