Pengantar :
Budayawan dan Pemikir Kritis Taufik Rahzen, tengah serius membangun Black Box Laboratory di Yogyakarta. Sebuah gerakan kebudayaan yang bertujuan untuk memperluas sebisa-bisanya ruang kreativitas, ruang penciptaan, juga ruang refleksi. Tokoh Kebudayaan yang separuh hidupnya dihabiskan dengan menziarahi tempat-tempat suci yang jauh: dari Baghdad, Yerusalem, Tibet, Ashram-Ashram di India, kuil-kuil di Jepang hingga mengkhidmati jejak masa silam yang agung di Athena, juga ingin melakukan kritik atau konfirmasi kepada serbuan budaya dominan yang saat ini berlaku, termasuk kepada apa yang disebut sebagai Kontroligarki. Kansnews.com berkesempatan melakukan wawancara singkat dengan sosok yang telah menyumbangkan 2,000an judul buku untuk Dinas Arsip dan Perpustakan di Kabupaten Sumbawa, tempatnya berasal. Di bawah ini adalah resume dari wawancara tersebut.
Black Box Laboratory
Black Box Laboratory (Bale Black Box) sebenarnya ingin membuka ruang imajinasi saja. Setiap kebudayaan pasti ada daya untuk bertahan, daya untuk berubah. Ada gerak centrifugal, ada gerak centripetal. Gerak Sentifugal adalah hal yang menarik kebudayaan ke dalam dirinya, sementara Gerak Sentripetal adalah melakukan perubahan.
Bale Black Box juga dirancang untuk menciptakan misteri. Seperti black box (kotak hitam), misteri. Mengisyaratkan bahwa semua kemungkinan bisa terjadi.
Percobaan atau eksperimen-eksperimen itu yang sebenarnya diuji coba. Tujuannya, untuk memperluas sebisa-bisanya ruang kreativitas, ruang penciptaan, juga ruang refleksi. Hal itu yang ingin dicapai dari gerak perubahan ini.
Jadi, kita tidak terlalu memperhitungkan siapa yang melakukan, tapi siapa yang mau berbuat dan terbuka saja.
Bale Black box ini justru ingin mengintegrasikan serbuan budaya dominan dengan melakukan kritik terhadap budaya yang ada, dan bisa juga melakukan konfirmasi terhadap hal-hal yang ada.
Hal mana, sekarang sudah bukan masanya lagi bergerak berdasarkan gerombolan, kelompok, atau organisasi, karena yang sedang berlaku saat ini adalah bagaimana melakukan penciptaan masing-masing dari individu-individu yang ada.
Kini, semua orang punya akun facebook, website sendiri, twitter, atau alamat anonim sendiri. Dan uniknya, muncul orang-orang yang sangat dominan. Satu orang saja bisa mempengaruhi banyak orang.
Kontroligarki
Karenanya, era sekarang bukan lagi era Oligarki, tapi Kontroligarki. Satu orang bisa mengontrol pikiran banyak orang. Orang seperti Bill Gates, dia bicara tentang farmasi, tentang vaksin, penyakit, tentang malaria. Juga orang seperti Mark Zuckerberg, yang mempengaruhi orang berkomunikasi, orang berinteraksi. Orang seperti Elon Musk, satu orang saja bisa menentukan ke depan kita ini mau ke mana. Hal hal itu yang disebut sebagai Kontroligarki.
Orang seperti Jokowi, itu juga Kontroligarki. Hal mana dia bisa menentukan setuju atau tidak setuju, karena dia dikonfirmasi oleh masyarakat. Kalau kita lihat hasil riset yang lalu bahwa Jokowi didukung oleh 80an persen warga, maka itu yang disebut Kontroligarki.
Jadi jangan lagi semata-mata kita bicara tentang baik-buruk, benar-salah, tapi sekarang bicara tentang ‘’Pengaruh’’.
Nah, Black Box Laboratory itu mencari kemungkinan-kemungkinan, bahwa apapun itu bisa terinterupsi. Apapun bisa dievaluasi.
Jadi diciptakanlah ruang-ruang atau waktu-waktu yang baru. Semacam counter culture, yang bukan semata-mata melancarkan kritik, tapi juga Menciptakan. Dan diperkirakan semua orang nantinya akan ikut. Karena saat ini, satu orang saja bisa membuat sebuah berita yang viral ke mana-mana dan kita tidak tau darimana asalnya.
Misalnya peristiwa Vina di Cirebon yang peristiwa kematiannya sudah lama tapi masih bisa juga tiba-tiba muncul kembali dengan gencar. Nah itu yang disebut dengan budaya Budaya Pribadi sekaligus Budaya Massa.
Black Box Laboratory sebenarnya juga mencoba untuk menginisiasi ruang-ruang yang ada. Contoh kecil tadi kita mulai tepat jam 19.19 WIB persis, dan itu akan berakhir nanti pas jam 22.19. Hal itu bukannya tanpa tujuan, tapi itu menunjukkan bahwa kita ada di dalam ruang-waktu.
Siapapun yang ada dan bisa hadir ke sini, para pencipta dan perupa ini akan terus berkarya. Tidak perduli siapapun dan berapapun yang hadir.
Bukan Strategi Kebudayaan Tapi Pilihan-pilihan
Hal ini bukan hanya sebuah strategi baru kebudayaan, tapi itu adalah pilihan-pilihan. Karena terkadang kita semua dalam beberapa hal harus tunduk dengan waktu, yang kita sepakati bersama. Itulah yang disebut Waktu Publik. Tapi di Bale Black Box waktu kita tidak tergantung dengan orang, misalnya harus menunggu dulu pejabat atau selebriti untuk memulai sesuatu. Itulah salah satu cara untuk melawan Kontroligarki itu.
Kita tidak perlu dan tidak butuh kapankah ruang penciptaan ini akan menjadi viral atau lainnya. Semua memang didikte oleh algoritma, tapi kita membuat algoritma sendiri. Sesuatu yang belum bisa ditaklukkan dari aspek ini.
Bahkan mungkin nanti suatu saat akan kita ciptakan suatu Algoritma Waktu tersendiri. Kita lihat, saat ini kita seolah terbawa oleh algoritma khas di mana kita semua seolah menunggu kapan waktu Pemilu, kapan waktunya Pelantikan Presiden. Atau tiba-tiba kita ketahui ada kawan yang meninggal. Jadi dengan itu seolah-olah kita didominasi oleh hal itu, seolah waktu itu berakhir. Hal-hal itu yang membuat orang tidak sadar bahwa itu semua membentuk kebudayaan kita.
Dengan kematian itu menjadikan waktu tiba-tiba berhenti, waktu pribadi tiba-tiba terhenti karena kawan kita mendadak berpulang.
Nah, cara melawan itu ya, jadikan saja waktu publik itu sebagai peristiwa. Salah satu caranya ya kita nikmati saja.
Jadi kita harus punya kontribusi dalam hal itu terutama untuk membangun algoritma sendiri, jika ingin terlibat. (p17)