Oleh: Radhar Tribaskoro – Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia

Kemenangan Pramono Anung dan Rano Karno dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta melawan Ridwan Kamil dan Suswono memberikan banyak pelajaran berharga, terutama mengingat keunikan dinamika politik yang terjadi. Dalam satu putaran, pasangan yang hanya didukung oleh satu partai besar, PDIP, mampu mengalahkan pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang didukung oleh koalisi besar berisi 12 partai. Koalisi besar itu dianggap sebagai kelanjutan dari warisan politik Presiden Jokowi, yang ironisnya justru dikalahkan oleh calon dari partai yang pernah menjadi basis utama Jokowi sendiri. Fenomena ini semakin menarik ketika dibandingkan dengan pemilihan-pemilihan gubernur Jakarta sebelumnya, di mana baik Jokowi yang melawan Fauzi Bowo (Foke) maupun Anies Baswedan yang melawan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) membutuhkan dua putaran untuk memenangkan kontestasi. 

Artikel ini akan mencoba mengurai pelajaran penting yang bisa kita peroleh dari kemenangan Pramono-Rano Karno ini.

1. Pelajaran dari Kemenangan Satu Putaran


Jika melihat kembali sejarah pemilihan gubernur Jakarta, kemenangan dalam satu putaran adalah prestasi yang luar biasa. Jokowi membutuhkan dua putaran untuk mengalahkan Foke, dan Anies Baswedan juga harus melalui dua putaran untuk mengalahkan Ahok. Namun, Pramono-Rano berhasil memenangkan pemilihan dalam satu putaran saja.

Hal ini menunjukkan adanya perubahan besar dalam perilaku pemilih Jakarta. Mereka semakin matang dalam menentukan pilihan dan cenderung menginginkan perubahan yang cepat dan signifikan. Kemenangan satu putaran ini juga mencerminkan adanya kelelahan publik terhadap kampanye panjang yang penuh dengan drama politik dan perseteruan. Pemilih Jakarta tampaknya lebih memilih kandidat yang menawarkan solusi konkret tanpa banyak konflik politik yang berkepanjangan.

2. Munculnya Narasi Perlawanan terhadap Koalisi Besar

Koalisi besar yang mendukung Ridwan Kamil-Suswono di pemilihan ini dianggap melanjutkan arah pemerintahan Jokowi. Sebanyak 12 partai politik yang tergabung, termasuk partai-partai besar seperti Golkar, Gerindra, PKB, dan PAN, seolah menegaskan bahwa pasangan ini merupakan representasi dari kekuatan politik arus utama yang sudah mapan. Namun, di sisi lain, narasi yang terbentuk di kalangan pemilih adalah resistensi terhadap “hegemoni” partai-partai besar yang terlihat semakin jauh dari aspirasi masyarakat kecil.

Pramono dan Rano Karno, yang hanya didukung oleh PDIP, berhasil membangun narasi sebagai pihak yang siap memperjuangkan perubahan. Mereka memanfaatkan persepsi masyarakat bahwa koalisi besar ini lebih mewakili elite politik daripada kepentingan rakyat kebanyakan. Dalam konteks ini, kemenangan Pramono-Rano bukan hanya tentang jumlah suara, tetapi juga tentang menangnya narasi perlawanan terhadap status quo. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya narasi dan persepsi dalam politik elektoral.

3. Anti-klimaks dari Warisan Politik Jokowi

Koalisi besar Ridwan-Suswono dipersepsikan sebagai kelanjutan dari politik Presiden Jokowi, yang selama ini diidentikkan dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran dan kemajuan ekonomi. Namun, tampaknya ada kelelahan di kalangan masyarakat terhadap model pembangunan tersebut, yang dinilai tidak cukup memperhatikan dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat kecil. Kenaikan harga-harga, permasalahan perumahan, dan kurangnya pemerataan menjadi isu yang melemahkan dukungan terhadap koalisi besar ini.

Kemenangan Pramono-Rano menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan perubahan arah, terutama di tingkat lokal. Mereka ingin melihat pemimpin yang lebih fokus pada persoalan-persoalan konkret yang dihadapi sehari-hari, bukan sekadar melanjutkan narasi pembangunan yang lebih banyak menguntungkan kelompok tertentu. Ini menjadi pelajaran penting bagi setiap politisi yang ingin mencalonkan diri di masa depan: bahwa narasi pembangunan besar-besaran harus diimbangi dengan perhatian terhadap kebutuhan dasar masyarakat.

4. Pengaruh Sentimen Anti-Elite dan Kesederhanaan

Jakarta, sebagai kota yang penuh dengan dinamika sosial dan ekonomi, sering kali menjadi tempat di mana ketidaksetaraan sosial sangat terlihat. Dalam konteks ini, koalisi besar yang mendukung Ridwan-Suswono dianggap tidak cukup peduli dengan isu-isu ketidakadilan dan lebih mengutamakan agenda pembangunan fisik. Pramono-Rano berhasil menangkap aspirasi warga yang menginginkan pemimpin yang dapat lebih memahami kehidupan sehari-hari mereka.

Sebagian besar pemilih Jakarta tampaknya ingin menunjukkan bahwa mereka tidak puas dengan kelanjutan rezim yang dinilai cenderung hanya menguntungkan elit politik dan ekonomi. Meski Ridwan Kamil memiliki citra yang baik sebagai seorang pemimpin daerah, koalisi besar yang mendukungnya justru menjadi bumerang. Masyarakat melihat koalisi besar ini sebagai upaya kelompok elit untuk terus mengontrol kekuasaan.

Sebaliknya, Pramono-Rano tampil dengan narasi yang berbeda: mereka menggambarkan diri mereka sebagai alternatif dari status quo. Mereka memanfaatkan dengan baik momentum kelelahan publik terhadap dominasi koalisi besar, serta kerinduan untuk perubahan yang lebih nyata dan dekat dengan masyarakat bawah. Kehadiran Rano Karno, seorang figur yang sudah dikenal luas oleh masyarakat dari dunia hiburan, juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Popularitas Rano memberikan nilai tambah yang signifikan dalam meningkatkan kedekatan dengan pemilih yang sebelumnya mungkin apatis.

Kampanye Pramono-Rano yang mengedepankan kesederhanaan menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak pemilih. Mereka memposisikan diri sebagai orang-orang yang tidak ingin terjebak dalam gaya hidup elite politik yang dianggap jauh dari realitas masyarakat. Sentimen anti-elite ini dimainkan dengan sangat baik, dan pada akhirnya menjadi salah satu faktor yang membuat mereka unggul.

5. Simbol Perlawanan terhadap Oligarki

Banyak yang melihat kemenangan Pramono-Rano sebagai simbol perlawanan terhadap oligarki yang dianggap semakin mengakar di pemerintahan pusat. Pramono Anung, yang dikenal sebagai politikus senior di PDIP, berhasil memanfaatkan sentimen ini dengan menempatkan dirinya sebagai figur yang lebih independen dan tidak terikat dengan kepentingan elit ekonomi. Dalam banyak kesempatan, Pramono menyampaikan bahwa ia ingin membawa pemerintahan yang lebih transparan dan lebih fokus pada kepentingan rakyat.

Ridwan Kamil dan Suswono, meskipun memiliki rekam jejak yang baik, tidak mampu melepaskan diri dari persepsi publik bahwa mereka adalah bagian dari jaringan oligarki yang terus menguasai politik Indonesia. Persepsi ini menjadi kelemahan besar yang dimanfaatkan oleh Pramono-Rano untuk menggalang dukungan dari masyarakat yang semakin kritis terhadap praktik-praktik politik yang hanya menguntungkan segelintir orang.

6. Kekuatan Figur di Tengah Kejenuhan Publik Terhadap Koalisi Besar


Kampanye Pramono-Rano Karno berfokus pada pendekatan personal yang mendekatkan mereka pada warga Jakarta. Berbeda dengan kampanye Ridwan Kamil-Suswono yang cenderung berorientasi pada pencapaian program pembangunan, Pramono-Rano menekankan pada pemenuhan kebutuhan dasar dan pemberdayaan warga. Mereka banyak melakukan blusukan, menghadiri acara-acara lokal, dan berbicara langsung dengan masyarakat untuk mendengar keluhan serta keinginan mereka. Salah satu pelajaran utama dari kemenangan Pramono-Rano adalah pentingnya figur pemimpin di mata masyarakat. Dalam politik lokal, figur kandidat sering kali lebih berpengaruh daripada konfigurasi partai-partai yang mendukungnya. Ridwan Kamil dan Suswono memang memiliki rekam jejak yang baik dalam pemerintahan, tetapi penampilan mereka terjebak dalam bayang-bayang koalisi besar yang dianggap oleh sebagian besar pemilih sebagai perpanjangan kekuasaan Jokowi yang semakin kehilangan daya tarik.

Selain itu, keberadaan Rano Karno sebagai figur yang sangat dikenal masyarakat Jakarta juga memberikan pengaruh besar. Rano memiliki citra yang kuat sebagai seorang tokoh masyarakat yang akrab dengan keseharian rakyat, yang membuat hubungan emosional antara kandidat dan pemilih menjadi lebih kuat. Pramono juga berhasil memanfaatkan karisma Rano untuk meraih simpati dari masyarakat menengah ke bawah.

7. Kontraproduktivitas Koalisi yang Terlalu Besar

Koalisi besar yang mendukung Ridwan Kamil-Suswono bukannya tanpa kekurangan. Dalam banyak kasus, koalisi besar justru membuat konsolidasi internal menjadi lebih sulit. Dengan banyaknya partai yang bergabung, muncul perbedaan kepentingan yang sulit disatukan. Setiap partai dalam koalisi cenderung memiliki agenda masing-masing, dan ini membuat Ridwan-Suswono terkesan tidak memiliki arah yang jelas. Banyak pihak mengkritik pasangan ini sebagai “terlalu banyak janji tapi minim substansi,” karena upaya untuk memuaskan seluruh anggota koalisi mengakibatkan kebijakan yang diusulkan menjadi samar dan tidak fokus.

Sebaliknya, Pramono-Rano yang hanya didukung oleh satu partai justru terlihat lebih solid dan terarah dalam menawarkan visi mereka kepada masyarakat. Mereka mampu menyampaikan pesan yang lebih konsisten tanpa perlu khawatir mengorbankan satu kepentingan partai untuk kepentingan partai lainnya. Hal ini memberi keuntungan signifikan, terutama dalam menarik simpati masyarakat yang mulai jenuh dengan tawar-menawar politik di balik layar.

8. Kekuatan Kampanye yang Terfokus dan Narasi yang Sederhana

Kampanye Pramono-Rano menunjukkan bahwa kesederhanaan dalam narasi kampanye dapat lebih efektif dibandingkan janji-janji kompleks yang sulit dicerna masyarakat. Pramono dan Rano berhasil menggambarkan diri mereka sebagai pemimpin yang berkomitmen pada hal-hal yang mendasar: pengentasan banjir, peningkatan kualitas transportasi publik, dan penurunan biaya hidup di Jakarta. Ini adalah isu-isu yang nyata dan relevan bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Jakarta.

Di sisi lain, Ridwan-Suswono, meskipun memiliki banyak dukungan, sering kali terlihat menyampaikan narasi yang terpecah-pecah dan terlalu teknokratis. Banyak pemilih merasa bahwa janji-janji mereka sulit dipahami dan terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari mereka. Dalam dunia politik, penting untuk dapat menyederhanakan isu-isu kompleks menjadi hal yang bisa dicerna masyarakat umum. Pramono dan Rano berhasil melakukan hal ini, sementara Ridwan dan Suswono tampak kesulitan menyesuaikan diri dengan audiens yang lebih luas.

9. Kepemimpinan yang Mengakar di Komunitas Lokal


Salah satu kekuatan Pramono-Rano adalah koneksi mereka dengan komunitas-komunitas lokal di Jakarta. Mereka tidak hanya menggantungkan diri pada mesin politik PDIP, tetapi juga membangun jaringan langsung dengan tokoh-tokoh masyarakat, komunitas RT/RW, kelompok ibu-ibu, serta penggerak kegiatan sosial di berbagai wilayah. Jaringan ini memberikan pengaruh besar dalam mobilisasi dukungan pada hari pemilihan.

Sebaliknya, koalisi besar yang mendukung Ridwan-Suswono lebih mengandalkan struktur formal partai politik, yang ternyata tidak seefektif jejaring komunitas lokal yang digarap oleh Pramono-Rano. Ini menunjukkan bahwa keterlibatan langsung dengan masyarakat adalah elemen penting dalam memenangkan kontestasi politik, terutama di kota sebesar Jakarta.

10. Strategi Kampanye yang Memanfaatkan Media Sosial

Kemenangan Pramono-Rano tidak lepas dari strategi kampanye yang cerdas dalam memanfaatkan media sosial. Tim kampanye mereka berhasil memaksimalkan penggunaan platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok untuk menyebarkan pesan-pesan kampanye yang menginspirasi dan mendekati rakyat. Mereka menggunakan konten-konten yang relatable dan menghibur, yang menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat.

Di sisi lain, tim kampanye Ridwan-Suswono terlihat kurang adaptif terhadap perubahan tren di media sosial. Mereka lebih mengedepankan pencitraan formal dan program-program yang cenderung teknokratis, yang tidak selalu mampu menyentuh hati para pemilih muda. Sementara itu, Pramono-Rano mampu mengubah isu-isu sederhana menjadi narasi kuat yang viral, mempengaruhi persepsi publik dengan cara yang mudah dipahami dan diterima.

11. Aspirasi Masyarakat untuk Pemimpin yang Progresif

Kemenangan Pramono-Rano juga menunjukkan adanya harapan masyarakat terhadap pemimpin yang progresif dan mampu membawa perubahan nyata di Jakarta. Ridwan Kamil, meskipun dikenal sebagai pemimpin inovatif, dianggap terlalu berfokus pada pembangunan infrastruktur dan sering kali tidak cukup menyentuh aspek kehidupan sosial-ekonomi yang langsung dirasakan masyarakat bawah.

Sementara itu, Pramono-Rano menawarkan visi yang lebih inklusif, dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat kecil dan peningkatan layanan publik yang langsung menyentuh kehidupan sehari-hari. Mereka menekankan pentingnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja, yang menjadi isu-isu krusial bagi warga Jakarta. Pendekatan ini berhasil menarik dukungan luas, terutama dari masyarakat yang merasa tidak cukup terwakili oleh kebijakan-kebijakan teknokratis Ridwan Kamil.

12. Kekuatan Mobilisasi PDIP dan Strategi Pemenangan yang Efektif


PDIP sebagai partai pendukung Pramono-Rano memiliki keunggulan dalam hal mobilisasi dan strategi pemenangan yang solid. PDIP berhasil memanfaatkan seluruh sumber daya partainya secara maksimal, dari struktur akar rumput hingga jaringan tokoh-tokoh masyarakat, untuk mendukung pasangan ini. Konsolidasi internal yang kuat membuat mereka mampu menjalankan strategi kampanye yang efektif dan menyasar isu-isu yang tepat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Koalisi besar, meskipun memiliki sumber daya yang jauh lebih besar, gagal memanfaatkan keunggulan ini secara optimal. Ridwan-Suswono seolah terjebak dalam birokrasi kampanye koalisi besar yang penuh dengan perbedaan kepentingan, sementara PDIP berhasil menunjukkan soliditas dan arah yang jelas dalam mendukung Pramono-Rano.

Kesimpulan


Kemenangan Pramono-Rano Karno di Jakarta memberikan pelajaran penting bagi dunia politik Indonesia. Pertama, narasi anti-elite dan kesederhanaan yang ditawarkan oleh Pramono-Rano berhasil mengalahkan koalisi besar yang dianggap sebagai representasi status quo. Kedua, strategi kampanye yang mengedepankan pendekatan personal dan emosional terbukti lebih efektif dalam menjangkau masyarakat luas, terutama di kota dengan dinamika sosial yang kompleks seperti Jakarta. Ketiga, pentingnya figur pemimpin yang kredibel dan berkarisma, yang dapat menyatukan masyarakat dan menginspirasi dukungan luas.

Kekalahan Ridwan-Suswono, meskipun didukung oleh 12 partai, menunjukkan bahwa kekuatan koalisi besar tidak selalu menjamin kemenangan. Ketidakmampuan untuk menyatukan visi dan misi, serta kurangnya pendekatan yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, menjadi faktor-faktor yang melemahkan kampanye mereka. Di sisi lain, kemenangan satu putaran Pramono-Rano menjadi bukti bahwa masyarakat Jakarta menginginkan perubahan yang cepat dan nyata, tanpa banyak drama politik yang berkepanjangan.

Kemenangan ini juga menegaskan pentingnya strategi kampanye yang relevan dengan aspirasi masyarakat, kekuatan narasi yang emosional, serta figur pemimpin yang mampu membangun koneksi langsung dengan pemilih. Jakarta, dengan segala kompleksitasnya, membutuhkan pemimpin yang tidak hanya memiliki visi pembangunan yang besar, tetapi juga mampu memahami dan merespons kebutuhan masyarakat dengan cara yang manusiawi dan bersahabat.===

photo: obesessionnews.com

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar