Oleh : Kusfiardi, Analis Ekonomi Politik
Kebijakan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) tanpa lelang kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 telah memicu perdebatan di berbagai kalangan. Pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan di daerah tertinggal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, di sisi lain, kritik keras datang dari berbagai pihak yang mengkhawatirkan potensi pelanggaran hukum, penyalahgunaan kewenangan, dan dampak lingkungan.
Sebagai dasar hukum, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) mengatur bahwa pemberian IUP untuk mineral logam dan batubara harus melalui proses lelang. Pasal 24 ayat (1) UU Minerba secara tegas menyatakan bahwa IUP diberikan melalui lelang, guna menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam. Kebijakan baru ini, yang memungkinkan pemberian IUP tanpa lelang, jelas bertentangan dengan ketentuan tersebut.
Tantangan Kebijakan
Tantangan pertama dan paling mendasar adalah potensi pelanggaran UU Minerba. Kebijakan ini dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum jika tidak dilakukan perubahan terhadap peraturan yang ada. Selain itu, pemberian IUP tanpa lelang berpotensi membuka pintu bagi penyalahgunaan kewenangan. Transparansi dalam proses seleksi menjadi pertanyaan besar karena dapat memunculkan praktik korupsi dan nepotisme.
Ketidakadilan bagi pelaku usaha lain yang harus mengikuti proses lelang yang kompetitif adalah tantangan berikutnya. Dalam iklim usaha yang seharusnya mendorong persaingan sehat, kebijakan ini memberikan keistimewaan yang tidak adil bagi ormas keagamaan. Terakhir, ada kekhawatiran besar terkait kemampuan ormas keagamaan dalam mengelola kegiatan usaha pertambangan. Tanpa kompetensi yang memadai, kegiatan ini bisa berujung pada kerusakan lingkungan yang parah.
Hukum dan Tata Kelola Baik
Untuk menjawab tantangan-tantangan ini, solusi yang diajukan harus tidak hanya mematuhi peraturan perundangan yang berlaku tetapi juga sejalan dengan prinsip tata kelola yang baik. Pertama, revisi terhadap Pasal 24 UU Minerba perlu dipertimbangkan. Amendemen ini harus dilakukan melalui proses yang transparan dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku usaha.
Namun, perubahan regulasi saja tidak cukup. Proses seleksi pemberian IUP kepada ormas keagamaan harus dilakukan dengan sangat transparan dan akuntabel. Pemerintah perlu menetapkan kriteria yang jelas dan terbuka untuk evaluasi kompetensi ormas. Evaluasi ini harus mencakup kemampuan teknis dan manajerial untuk memastikan bahwa ormas yang dipilih benar-benar mampu mengelola kegiatan pertambangan dengan baik.
Selanjutnya, peningkatan kapasitas ormas keagamaan menjadi langkah penting. Program pelatihan dan sertifikasi harus disediakan untuk memastikan bahwa ormas memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Pemerintah juga dapat memfasilitasi kemitraan antara ormas keagamaan dengan perusahaan pertambangan atau lembaga teknis berpengalaman untuk transfer pengetahuan dan keterampilan.
Pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan IUP oleh ormas keagamaan adalah langkah berikutnya. Pembentukan badan pengawas independen yang memiliki kewenangan untuk melakukan audit, inspeksi, dan penegakan sanksi jika terjadi pelanggaran sangat diperlukan. Selain itu, wajibkan ormas keagamaan untuk membuat laporan berkala tentang kegiatan pertambangan mereka, termasuk dampak lingkungan dan sosial, yang harus dipublikasikan untuk memastikan transparansi.
Dalam hal kebijakan lingkungan, setiap kegiatan pertambangan oleh ormas keagamaan harus melalui proses AMDAL yang ketat untuk mengidentifikasi dan memitigasi dampak lingkungan. Kewajiban untuk melakukan rehabilitasi lingkungan pasca-pertambangan juga harus ditegakkan.
Terakhir, pemerintah perlu menyediakan saluran pengaduan publik yang efektif untuk melaporkan dugaan pelanggaran atau masalah terkait kegiatan pertambangan oleh ormas keagamaan. Implementasi mekanisme mediasi dan arbitrase juga diperlukan untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul antara ormas keagamaan dan masyarakat lokal.
Penutup
Kebijakan pemberian IUP tanpa lelang kepada ormas keagamaan memiliki potensi manfaat yang besar, seperti percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, tanpa pengaturan yang tepat dan pengawasan yang ketat, kebijakan ini berisiko tinggi melanggar hukum, menciptakan ketidakadilan, dan merusak lingkungan. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi yang berlandaskan pada penyesuaian regulasi, transparansi proses, peningkatan kapasitas, pengawasan ketat, serta pelibatan berbagai pihak. Dengan pendekatan ini, pemerintah dapat memastikan kebijakan ini berjalan sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik dan berdampak positif bagi semua pihak.