Oleh : Daniel Rudi Haryanto
Karena pergumulan estetika dalam batin yang menggebu, Kelana remaja yang berusia 17 tahun itupun merantau ke Jakarta. Tujuannya adalah mau belajar film supaya bisa menggerakkan gambar-gambar. Belajarnya di IKJ (Institut Kesenian Jakarta).
Sebagai bekal, Kelana membawa lukisan-lukisan yang digulung dan beberapa diantaranya yang sudah diframe tak lupa dibawanya kaos hitam dan celana hitam di ranselnya. Dari stasiun Lempuyangan Jogjakarta menuju Ibukota Jakarta dengan menumpang kereta ekonomi yang tiketnya masih seukuran kartu gaple domino. Kereta yang pesing dan pengap, berjubel rendan* di dalamnya.
Lukisan-lukisan Kelana bernuansa perlawanan. Maklum, Kelana terpengaruh oleh seniman Joko Pekik, Affandi, Hendra Gunawan, SS. soedjojono, Mulyono, Dadang Christanto, Semsar Siahaan dan Athonk Sapto Raharjo, digosok gosok sama Heri Kris dan genk Ngisor Ringin Kampus Gampingan yang di dalamnya banyak mengandung cairan lapen yang memabukkan. Haaa🫢
Pengaruh gaya berkesenian itu juga tak lepas dari pergaulan bebas dengan “kakak-kakak” di Sendowo (Sekip) aktifis dari UGM (SMID-PRD), UMY (FKMY-SMY) Wirobrajan, UII dan tentunya ISI pada masa itu, sehingga jadilah tanaman seni ideologis itu pada diri Kelana. Orang bilang lukisan Kelana adalah lukisan LEKRA tipis tipis.
Perjalanan estetika Kelana tak semulus yang diimajinasikannya. Setiba di Jakarta, ia tinggal di bilangan Pasar Minggu. Di sebuah sekretariat anak-anak muda pemberontak, namanya PIJAR (Pusat Aksi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi) di bilangan Kemuning, tak jauh dari kantor Badan Intelejen Negara (BIN) Pejaten.
Dari Kemuning, setiap hari ia mencoba peruntungan, berkeliling seperti maestro pelukis Affandi (AF) mengelilingkan lukisannya. Bedanya Affandi sukses, sementara si Kelana masih harus menempuh medan terjal menuju kesuksesan seperti AF.
Setiap hari Kelana berjalan kaki ke Kemang, menyambangi galeri-galeri yang ada di wilayah selatan itu. Namun sayang beribu sayang, berhari-hari, berminggu fan berbulan tak jua memperoleh hasil. Lukisan Kelana bukan lukisan yang pantas dipajang di dinding kolektor benda seni di Kebayoran Baru, Menteng atau Pondok Indah. Lukisan kelana adalah lukisan pemberontakan. Hanya orang tertentu yang suka mengoleksinya. Itupun belum tentu orang kaya, mungkin aktivis yang juga hidupnya masih menderita. Maklum, tahun-tahun itu kekuasaan politik Orde Baru sedang di puncak kediltatoran, mana ada yang mau mengoleksi kritik? Lagi pula kok ya berani beraninya Kelana menawarkan lukisan-lukisan pemberontakan sih? Kurang kerjaan! Hhh…
Untung bagi Kelana, sebagai gelandangan kebudayaan yang tinggal di gorong-gorong metropolitan, ketika ia berkeliling kawasan Kemang itu ia menemukan di bilangan Kemang Utara, rumah mas Hari Mul, di rumah itu alumni-alumni ISI Jogja sering berkumpul. Maka Kelana pun sering mampir di situ dan juga ikut bekerja ngamplas atau bersih-bersih. Lumayan dan bersyukur bisa dapat makan gratis. Matursuwun yo mas Hari Mulyanto. Hihihi
Jakarta adalah kota yang ganas, ekonomi politik sebagai panglima. Kota yang kejam bagi remaja seperti Kelana, yang datang dengan modal lukisan-lukisan “LEKRA” walaupun kadang kadang bergaya Manikebu juga adanya. Hahaha. (Buat yang tahu aja)
Di Ancol ada Pasar Seni Ancol. Seniman-seniman punya studio masing-masing dan merupakan tempat nongkrong yang asyik. Pelukis-pelukis keindahan semua ada di Pasar Seni Ancol. Masuk Ancol cukup mahal, kalau ada acara aktivis kumpul di Ancol, Kelana turut serta dan memanfaatkan waktu berkunjung ke pasar seni ngobrol sama seniman. Beberapa kali ke Pasar Seni terbersit keinginan Kelana punya studio seperti mereka. Tapi modalnya belum ada. Lukisan belum laku.
Pasar Baru juga tempat nongkrong yang asyik, disana para pelukis wajah dan pemandangan, karikatur dan kaligrafi berjajar di trotoar. Ngopi-ngopi sambil cari-cari info kesenian sungguh mengasyikkan. Terkadang ikut bikin kartu lebaran atau kartu natal pesanan, atau selembar dua lembar bikin gambar wajah. Harus realis! Harus benar benar mirip! Itulah kesukaan si pemesan. Dan bekal dari SMSR itu ampuh, realis? Gampang banget itu.
Pemesan gambar wajah dengan conte atau pensil lebih suka teknis dusel daripada arsir. Kata mereka kalau pakai teknik dusel lebih mirip foto daripada teknik arsir yang kasar. Ya, costumer adalah ratu. Harus diikuti kemauannya.
Di Taman Suropati seberang rumah dinas duta besar Amerika untuk Indonesia ada penjaja lukisan Sukaraja. Pemandangan mooi indie kalau SS. Soedjojono menyebutnya. Kelana suka melihat-lihat lukisan-lukisan itu, sekedar ngadem dan ngobrol di bawah pohon-pohon rindang.
Di tiga tempat itu Kelana mencoba belajar, tentang makna lukisan yang laku di pasaran. Lukisan yang bisa mendatangkan uang bagi pelukisnya. Akan tetapi Kelana sudah dimabukkan oleh ideologi seni rupa. Ia mau melukis kerakyatan, mampuslah dia diterjang kekejaman ibukota yang lebih kejam dari ibu tiri itu, demi membeli cat atau konte di toko buku dan alat tulis Gramedia milk Kompas pun dia tak mampu! Heh.
Di Taman Ismail Marzuki (TIM) Kelana paling suka tempat itu. Ia dapat melihat seniman-seniman hebat nongkrong dan membual-bual soal soal kesenian hingga lewat dini hari dengan bergalon-galon kopi dan pergulatan seni di lambung mereka.
Kelana suka nguping di pinggiran warung payung itu. Menyimak obrolan seniman-seniman senior. Syukur-syukur ada kebaikan hati bang Oce Ardiwinangun yang dikenalnya sebagai aktivis bermobil VW Kodok hijau menawarkan secangkir kopi dan penganan. Itu sebuah keberuntungan bagi Kelana. Dan ketika seniman-seniman itu bubaran pengajian seni budaya karena sudah larut malam, kelana tidur di balkon beralaskan kardus di bagian atas dekat tangga sebuah toko buku di pojok TIM milik mas Yose Rizal Manua. Pagi hari jika Kelana mau mandi, ia numpang di gedung Dewan Kesenian Jakarta. Dikasih akses oleh penjaga kantor DKJ.
Menggeluti estetika seni rupa, menggerakkan gambar-gambar? Namun perut lapar dan kosong? Itu jadi semacam kemustahilan.
Peristiwa 27 Juli 1996 adalah petaka besar namun sekaligus keuntungan bagi Kelana. Di sekretariat SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) di bilangan Tebet Jakarta ia kemudian bertempat tinggal sementara.
Di kantor SBSI ada ruang besar, setiap malam bergulung-gulung kain datang dari beberapa organ pergerakan. Ada tersedia cat dan kuas. Setiap malam Kelana membuat spanduk, selesai dini hari. Kemampuan skill Seni Rupa Kelana benar-benar berguna.
Pagi-pagi ia naik bajaj membawa spanduk itu ke Tugu Proklamasi untuk menyerahkan spanduk itu kepada seseorang yang akan membawanya ke kantor DPP PDI untuk dipasang. Kantor PDI di Jl. Diponegoro 58 Jakarta Pusat hiruk pikuk, spanduk-spanduk yang terpajang itu sebagian adalah karya Kelana. Dalam situasi saat itu kadang ia tidur di Kantor SBSI, kadang di kantor DPP PDI, kadang di kantor YLBHI yang tak jauh dari PDI, atau ia tidur di Rumah Susun Tebet, yang ia turut advokasi bersama senior-seniornya dari Pijar dan Aldera.
Singkat cerita pecahlah peristiwa 27 Juli 1996. Kelana menyaksikan barisan pro demokrasi buyar lintang pukang. Moncong tank ABRI pun masuk ke halaman YLBHI. Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, Kelana menyelinap, hengkang dari Jakarta kembali ke Yogyakarta dan bersembunyi di Kali Urang di rumah seniman Dadang Cristanto untuk sementara waktu bersama pelukis Purwanto (pelukis kuda syeh Puji Njambu).
Setahun kemudian, setelah reda situasi di Jakarta, tahun 1997 di usianya yang masih 19 tahun, Kelana membentuk sebuah kelompok lukis bernama MINGGU KLIWON, kelompok ini berpameran di Bentara Budaya Yogyakarta dengan dukungan lembaga kebudayaan Indonesia – Belanda, Karta Pustaka. Anggotanya ada Koesmanto, Haryono, Anjar, Enjoen, Eko Nugroho, Tri Sasongko. Pelukis-pelukis muda semua. Ia juga bergabung di kelompok lukis Baby Talent yang anggotanya adalah senior-seniornya di SMSR.
Sayang beribu sayang, pada pameran Minggu Kliwon yang berbau kritik atas pemilu 1997 itu, lukisan Kelana diturunkan oleh aparat keamanan karena dianggap mengganggu kepentingan umum. Lukisan berjudul Arak Bugil itu hilang diambil oleh aparat keamanan negara. Sedangkan lukisan berjudul ORBA semacam wayang beber dengan cerita sosok raksasa dengan berbagai tindakan kekuasaannya merenggut tanah-tanah dan memenjarakan orang-orang kritis di tahun 1965. Lukisan dari pensil warna, spidol di atas kertas itu sekian tahun kemudian di tahun 2000-an menjadi koleksi seorang sutradara Indonesia terkenal Garin Nugroho dan menghiasi dinding ruang kerja beliau.
Pengembaraan estetika Kelana terus terjadi seiring pergolakan yang terjadi di lingkungannya. Hingga tahun 1998, ketika rejim Orde Baru tumbang dan Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden, Kelana mengambil kesempatan untuk memasuki dunia baru. Menjadi mahasiswa film di FFTV IKJ.
(Bersambung)
*) Rendan adalah istilah populer di Jogja yang artinya Kere Dandan
**Apakah Kelana mampu menggerakkan gambar-gambar?
picsource: pophariini.com