Sebuah Renungan
Oleh : Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
Hari ini 7/7/24 saya menerima tiga pesan mengharukan. Pertama dari tokoh gerakan petani, Agusdin Pulungan sebagai berikut :
“Afgelopen dinsdag ben ik naar de lezing over M. Hatta geweest in de bibliotheek van het Bezuidenhout. De reden dat hij in de jaren 20 in het Bezuidenhout woonde, was dat in deze wijk veel Indonesische studenten woonden vanwege de daar gevestigde Indonesische studentenvereniging. Van het station Laan van Nieuw Oost-Indie hadden zij een goede verbinding naar de universiteiten in Rotterdam en Leiden. Hatta heeft in Den Haag ook in de gevangenis gezeten vanwege opruiing. Ten onrechte, want hij werd vrijgesproken.”
Kedua dari Ferry Joko Juliantono, sekretaris Dewan Pembina Induk Koperasi INKUD, di mana dia bersama pimpinan INKUD, Dekopin, di antaranya Prof. Jimly Assidiqie, sedang bersimpuh di makam proklamator Bung Hatta.
Ketiga adalah WA dari Dr. Said Didu berisi video penggusuran paksa tanah-tanah rakyat di sepanjang pantai utara Banten oleh PIK2 pengembang tertentu yang diberikan monopoli oleh Jokowi atas nama PSN (Program Strategis Nasional) untuk menguasai seratusan ribu ha tanah-tanah di pinggir pantai utara Banten. Said menggugat monopoli swasta menggusur rakyat kecil.
Dua WA pertama di atas tentang Bung Hatta. Pesan dalam Bahasa Belanda itu tentang ceramah sejarah bagaimana Bung Hatta, yang sekolah di Rotterdam tapi memilih tinggal di Denhaag untuk dekat dengan pelajar Indonesia dan organisasi mahasiswa Indonesia di sana. Selain Denhaag terkoneksi kereta api ke Leiden dan Rotterdam. Tahun 1920 an itu Bung Hatta dipenjarakan pemerintah Belanda karena ingin membebaskan Indonesia dari penjajahan.
WA kedua tentang renungan perjuangan Bung Hatta. Ketika saya tanyakan Ferry kenapa bukan tanggal 12/7, Hari Koperasi? Jawabnya dipercepat karena disesuaikan dengan beberapa agenda besar Hari Koperasi.
Memang pada bulan Juli biasanya renungan tentang Bung Hatta banyak dilakukan. Meski istilah banyak menjadi relatif. Jika dibandingkan di masa lalu, ketika Koperasi dinyatakan sebagai Soko Guru Perekonomian kita, pastinya renungan tentang Bung Hatta lebih banyak lagi.
Koperasi sebagai Soko Guru terakhir kalinya digerakkan Suharto di akhir era pemerintahan dia. Suharto memanggil 300 oligarki alias cukong-cukong terbesar di Indonesia untuk membagikan saham mereka kepada Koperasi. Menurut Suharto, saat itu, sudah saatnya pengusaha kaya, yang dibesarkan Suharto melalui KKN dan monopoli melakukan “trickle down” kesejahteraan kepada rakyat bawah. Sejak Pelita Ke V, Suharto menunjuk Ginanjar Kartasasmita menjadi Menko Perekonomian dan ketua Bappenas untuk memutar sejarah Indonesia, dari perekonomian “State Based Capitalism” ke arah ekonomi kerakyatan. Namun, semuanya gagal, karena Suharto terguling atau digulingkan dari kekuasaannya.
Setelah kekuasaan Suharto berakhir, Indonesia memasuki era Neo Liberalisme, khususnya ketika UUD 1945 yang asli dirubah pasal 33 tentang kekuasaan ekonomi di tangan negara, menjadi bebas. Dengan istilah pasal 33 ayat 4, tentang demokrasi ekonomi, kekuatan swasta mempunyai peran dalam mengatur arah perekonomian. Bahkan, akhirnya saat ini, swasta seringkali mengatur negara atau negara hanya dijadikan stempel.
Ketika Bung Hatta bersama Bung Karno merencanakan Indonesia merdeka, diotak mereka pembangunan ekonomi Indonesia harus dibangun berdasarkan usaha bersama. Pembangunan model itu dikatagorikan bercorak sosialistik. Perbedaan antara mereka terletak bahwa Bung Karno memilih ekstrem sosialis dengan negara mengatur semuanya dalam apa yang dikenal sebagai Strategi Pembangunan Ekonomi Semesta, sedangkan Bung Hatta memilih corak sosial demokratis, di mana model Koperasi sebagai sandarannya. Negara-negara Skandinavia pada saat dulu itu sangat berhasil membangun dengan model Koperasi.
Barulah kemudian Indonesia berubah di tangan Suharto. Suharto terpikat dengan model/teori “trickle down effect” (Efek menetes ke bawah), di mana pertumbuhan ekonomi harus utama dan peranan swasta diutamakan. Setelah ekonomi makmur maka nantinya kesejahteraan akan menetes ke masyarakat kecil. Teori ini berbarengan dengan teori Rostow tentang tahapan pembangun ekonomi model Non Komunis, sehingga teori “trickle down effect” selalu dikaitkan dengan Rostow.
Setelah segelintir orang menguasai ekonomi Indonesia dan Suharto gagal memaksa mereka membagi kekayaannya, yang terjadi saat ini malah situasi rakyat kita hancur berantakan. Setengah rakyat kita menjadi penerima belas kasihan, seperti 81 juta yang akan terima program makan siang gratis dan berbagai program untuk kemiskinan lainnya. Sementara Oxfam, sebuah LSM terbesar di dunia, melaporkan hasil risetnya, ada 4 orang kaya Indonesia yang hartanya sama dengan 100 juta rakyat lapisan terbawah. ironis.
WA Said Didu tentang PIK 2, di mana Jokowi memberikan hak monopoli kepada pengusaha properti “mengambil” tanah-tanah rakyat dan tanah lainnya seluas seratus ribu hektare lebih di sepanjang pantai utara Banten, yang menggusur juga lahan-lahan pertanian, untuk dijadikan kota-kota baru, bukan untuk petani dan buruh, maka kesimpulan kita saat ini kondisi jaman kolonial sudah kita alami lagi.
Suharto saja yang begitu kuat gagal melakukan pemerataan kemakmuran, karena mengadopsi kapitalisme, apalagi presiden setelahnya. Maka tentu saja kita harus berpikir ulang tentang bangsa ini, apakah pikiran Bung Hatta masih relevan? Apakah Koperasi sebagai upaya kolektif membangun perekonomian secara bersama-sama, maju bersama dan bagi untung yang sama masih dibutuhkan?
Baru-baru ini di Berlin, 29/5/24, ratusan ekonom sosialis berkumpul melakukan “Berlin Declaration” yang isinya meminta dunia kembali pada ekonomi berkeadilan. Jalan kapitalisme dan neoliberalisme telah gagal mengurus kemakmuran bersama dan menjaga sustainablitas bumi. Jika kita melanjutkan model-model pembangunan ala kapitalisme seperti selama ini, maka kerusakan bumi akan terus terjadi. Selain itu, kesombongan dan keangkuhan oligarki hanya menjadi tontonan rakyat miskin.
Pidato Kemenangan Ketua Partai Buruh Inggris Keir Starmer, calon Perdana Menteri baru, dua hari lalu, menegaskan dengan kaum sosialis berkuasa, maka negara akan difungsikan untuk mengatur. Dia menyebutkan tidak ada lagi “kerakusan oligarki” jadi tontonan rakyat. Bagaimana Indonesia di era Prabowo nanti?
Jalan sosialistik adalah satu-satunya jalan untuk merubah arah pembangunan Indonesia yang pro cukong selama ini. Selain perlunya pemimpin tangan besi, seperti Erdogan dan Lula Da Silva misalnya, jalan sosialistik itu adalah terjemahan Pancasila Sukarno dan Hatta. Islam juga mengajarkan jalan Sosialistik, bukan kapitalisme dan neoliberal. Jika jalan ini dipilih Prabowo, maka Koperasi akan berkibar. Usaha bersama akan berkibar. Ditambah jika negara mengatur adil pengelolaan aset untuk berfungsi sosialistik, baik aset tambang-tambang maupun finansial, maka rakyat tidak perlu lagi dikasih makan siang gratis. Mereka akan tumbuh produktif.
Upaya Said Didu mengingatkan Prabowo untuk menghentikan PSN 2 harus terjadi. Semua tanah-tanah diatur ulang bukan untuk cukong-cukong melainkan untuk petani dan buruh. Cukong-cukong cukup bermain di sektor hilir dan industri.
Jalan sosialistik merujuk Bung Karno ataupun model Koperasi Bung Hatta adalah jalan keluar bangsa kita untuk tidak hancur lebur. Saatnya kita merenung Bung Hatta di masa-masa keterpurukan ekonomi dan kemiskinan massal saat ini. Namun, jika kita tetap Goblok dan Dungu ataupun bermental budak, marilah kita minta cukong-cukong itu megurus negara. Dan elit negara-negara santai saja ngopi-ngopi dan bagi sembako.
Kaum pejuang harus memohon maaf kepada Bung Hatta, karena kita gagal meneruskan perjuangan beliau.