Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
Hari ini, boleh dikatakan PKS sedang ada pada puncak kebimbangan politik, karena berada di puncak kemarahan publik sekaligus ketidakpastian posisi politik atas sejumlah kepentingan politik yang hendak diraih. Satu sisi, PKS telah membangun narasi meninggalkan Anies dengan berbagai dalih legitimasi. Di sisi lain, para pendukung Anies terus menghujani PKS dengan serangan politik yang sadis, terutama pasca bocoran voice note Anies yang tak pernah memiliki komitmen deadline 40 hari hingga 4 Agustus untuk mencari kursi tambahan sebagai mitra koalisi pencalonan.
Satu sisi, PKS telah merasakan dampak pergeseran posisi politik baik karena ‘meninggalkan Anies’ maupun setelah geser ‘merapat ke Bobby Nasution’. Sementara di sisi lain, PKS tidak memiliki garansi posisi apa yang akan diperoleh pasca merapat ke kubu rezim. Bahkan, belum ada jaminan PKS akan diterima kubu KIM Plus, apalagi mendapatkan garansi terlibat di Kabinet Prabowo Gibran.
Dampak destruktif dari kesalahan kebijakan politik PKS ini, nampaknya harus dibayar mahal oleh PKS. PKS, telah bertaruh dengan memasang harga yang tinggi atas kompensasi politik yang tidak pasti.
Nasib PKS, hampir mirip Muhammadiyah dalam isu tambang, tapi lebih parah. Dalam isu tambang, Muhammadiyah telah terjebak, menerima konsesi tambang yang belum tentu mendapatkan hasil. Tapi dampak perpecahan internal Muhammadiyah dan jatuhnya reputasi Muhammadiyah dihadapan umat, sudah dirasakan Muhammadiyah. Artinya, Muhammadiyah telah terbelit banyak ‘getah’ politik dari kebijakan menerima konsesi tambang. Sedangkan ‘nangka’ dari legitnya tambang batubara, satu rupiah pun belum dinikmati oleh Muhammadiyah.
PKS lebih parah. Karena pertaruhan PKS pada dua dadu politik yang beresiko tinggi. PKS telah memasangkan reputasi kepercayaan pemilih, untuk mendukung Bobby Nasution di Pilkada Sumut dan meninggalkan Anies di Pilkada Jakarta. Padahal, PKS belum jelas akan mendapatkan kompensasi apa. PKS tergesa-gesa, hanya karena khawatir tak kebagian benefit politik, berusaha meyakinkan rezim bahwa PKS loyal, mengorbankan Anies dan mendukung Bobby Nasution.
Dua isu ini, yakni meninggalkan Anies dan mendukung Bobby Nasution, akan menjadi faktor yang menyebabkan PKS ditinggalkan konsituen, bahkan juga kader yang idealis.
Peluang untuk kembali melanjutkan dukungan ke Anies, sudah pasti hangus. Sebab, serangan politik Anies melalui voice note yang beredar luas, menjadikan PKS akan makin menjauh dari Anies. Anies, juga nampak tak lagi memikirkan akan maju Pilgub, sehingga keputusan Anies mengirimkan ‘Voice Note’ bukan untuk tujuan merehabilitasi hubungan dengan PKS, melainkan lebih kepada serangan balik dan balas dendam. Nasib Anies, sudah dapat dipastikan tamat dalam Pilkada DKI Jakarta.
Anies mengadopsi filosofi ‘tiji tibeh’. Anies, tak mau dihakimi sepihak dengan stigma ‘gagal menghadirkan 4 kursi tambahan dukungan’ karena melewati deadline 40 hari hingga 4 Agustus. Sebaliknya, Anies menyerang balik PKS dengan voice note, yang mengungkap bahwa tidak ada deadline 4 Agustus, sehingga dapat disimpulkan deadline 4 Agustus hanyalah dalih PKS untuk meninggalkan Anies untuk merapat ke KIM Plus. Mirip, dalih PKS meninggalkan Edy Rahmayadi dan merapat ke Bobby Nasution.
Apa yang dialami PKS ini, adalah fenomena umum yang dialami oleh partai politik dalam sistem sekuler demokrasi. Parpol, meskipun berlabel Islam, tak akan jauh dari karakter pragmatis.
Dalam konteks parpol pragmatis yang berujung pada kegagalan dalam merealisir visi Islam, Al Alamah Syaikh Taqiyuddin an Nabhany (Pendiri Hizbut Tahrir), menyebutkan ada 4 (empat) alasan kegagalan partai politik dalam merealisir tujuan penerapan Islam.
Pertama, ketidakjelasan fiqrah, ketidakjelasan ide dan pemikiran Islam yang diemban. Parpol, meskipun berlabel Islam, mencampuradukan antara ide Islam dengan ide kufur sekulerisme dan demokrasi.
Kedua, ketidakjelasan tharîqah, yakni ketidakjelasan metode mengemban ide Islam. Memperjuangkan syariat Islam, tapi menggunakan metode demokrasi.
Ketiga, kegagalan menggabungkan konsep dan metode untuk merealisir tujuan perjuangan. Ketidaknyambungan, antara cita-cita dan tujuan dengan metode jalan yang ditempuh.
Keempat, bertumpu pada orang-orang yang pamrih, orang-orang tidak ikhlas. Sehingga, dalam perjalanannya ideologi Islam diabaikan, gerakan partai lebih berputar mengikuti kepentingan kekuasan, kepentingan materi.
Faktor keempat inilah, yang saat ini mengombang-ambingkan PKS. PKS terjebak pada politik pragmatis, terjebak berebut kepentingan politik dengan meninggalkan idealisme, yang sayangnya kepentingan politik PKS itu belum tentu terwujud.
PKS telah dihakimi publik sebagai partai pragmatis, dengan meninggalkan Anies dan merapat ke Bobby Nasution. Sementara PKS, belum atau bahkan boleh jadi tidak mendapatkan tujuan dari kepentingan politik yang melatarbelakangi kebijakan meninggalkan Anies dan merapat ke Bobby Nasution.