Oleh : Agus Wahid

Sempat gempar di jagad Indonesia ini. Itulah pernyataan Nurcholis Madjid, “Islam yes, partai Islam no” di sebuah seminar di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 1970-an. Pernyataan jebolan University of Chicago – Amerika ini megundang reaksi ekstensif, karena dinilai sangat sekuler, bahkan dinilai lebih jauh: membangun dan meluaskan sekulerisme di Tanah Air ini.

Sah-sah saja anggapan atau penilaian itu. Tapi, ketika kita mencoba memahami pemikiran mantan Ketua Umum HMI dua periode ini (1967 – 1972 dan 1972 – 1977), sejatinya pemikiran Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) ini merupakan strategi menyelamatkan, setidaknya mencegah, politik ketat anti Islam pada zaman Orde Baru itu.

Sebagai ajaran (agama), rezim Orde Baru tetap hormat. Tapi, sebaliknya, tak ada toleransi untuk melihat Islam sebagai gerakan politik. Karena itu, partai politik sebagai wadah gerakan organisasional Islam tak diberi ruang. Jika memaksakan, pasti mendapat perlakuan dzalim. Itulah data faktual sejarah umat di era 1970-an hingga jelang 1990-an.

Pada zaman itu, pernyataan politik Cak Nur sungguh cukup mencerahkan. Bersumbu pada pemikiran tersebut, banyak elemen elitis muslim berlabuh ke Golkar, hingga kini. Dan – sebagai gerakan politik praktis – pemikiran Cak Nur memberikan peran konstruktif bagi kaum politisi musli, meski tidak menamakan secara eksplisit sebagai partai Islam.

Namun demikian, tesis pemikiran Cak Nur gugur, ketika memasuki era reformasi, yang menandai runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Bersamaan dengan itu, bermunculan para elitis muslim mendirikan partai yang – secara eksplisit – menyatakan sebagai partai Islam.

Yang eksis sampai sekarang adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sementara, Partai Bulan Bintang (PBB), meski masih ada, tapi – sebagai partai – tak pernah dominan dalam panggung politik nasional. Maklum, perolahannya tak lebih dari angka 2%. Wajah PBB tampak ada kerena Yusril Ihza Mahendra (YIM). Dan itu karena kapasitas pribadi, bukan partai politiknya. Sebuah eksisting personal karena memurahkan harga dirinya. Sangat jauh dari pribadi gurunya: alm. Buya M. Nastsir yang istiqamah dalam menjaga marwah ideologis keislamannya.

Kini, tinggal PKS yang masih berkibar. Data faktual bicara, sejak berdirinya pada 1998, Partai Keadilan (PK) yang kemudian berganti nama menjadi PKS sebagai konsekuensi bisa ikut pemilu 2004, partai Islam ini gigih menunjukkan integritasnya sebagai partai dakwah. Partai ini sungguh menunjukkan diri sebagai partai moralis. Inilah yang membuat berbagai kalangan perindu moralitas demikian simpati pada PKS dan mengatarkan partainya membesar.

Tapi, integritas PKS yang dipertahankan selama sekitar seperempat abad ini akhirnya luntur juga. Tergoda oleh rayuan duniawi. Jatidirinya sebagai partai dakwah penyeru amr ma`ruf nahi munkar mulai tak lagi dijadikan kebijakan politik ideologis PKS.

Melalui ketergiurannya bersama Koalisi Indonesia Maju (KIM) – PKS lebih rela meninggalkan calon pemimpin yang dinilai sangat moralis, berintregritas, berkapabilitas tinggi bahkan sangat beretika. Potret pemimpin yang sesungguhnya dirindukan anak negeri ini.

Mengacu perjalanan biografi Cak Nur, pemikirannya lebih merupakan strategi menyelamatkan kepentingan umat dan tentu agamanya. Cukup ideal. Namun, ketika kondisinya sudah relatif demokratis, maka tesis Islam yes dan partai Islam no itu pun dicabut Cak Nur sendiri. Kembali pada suasana normal, yang sejatinya bersuara, “Islam yes, Partai Islam pun yes”.

Merefleksi pemikiran Cak Nur itu, PKS – sekali lagi, sejak berdirinya hingga proses politik pilkada Jakarta ini – tampak terlihat bahwa sekitar 25 tahun itu PKS berusaha setia dan bersama umat. Mereka yang berjumlah jutaan merupakan pasar politik yang captive. Cerdas atau picik ya? Silakan nilai sendiri, tergantung sisi mana yang mau dijadikan pijakan menilai.

Dan ketika telah berhasil menjadikan umat sebagai komoditas politiknya, saatnya tak peduli dengan umat. Forget them. Emang gue pikirin. Kini, saatnya buka baju sebagai partai yang tidak lagi menyandang partai Islam. Toh, targetnya sudah dicapai, meski baru diiming-imingi. Itulan pragmatisme PKS.

Demikian enjoy memperdagangkan umat sebagai komoditas politiknya. Di mana ruhul jihadnya yang selama ini menyandang partai berbasis akhlak mulia? Bulshit. Zonk.

Di mata PKS saat ini, sesungguhnya tak ada partai Islam. Semua partai berlaku prinsip “how to get what”. Persis yang disampaikan John Dalberg Acton. Menurut teoritisi yang lebih dikenal Lord Acton ini, dalam mengarungi politik memang hanya bertujuan satu: menggapai kekuasaan. Caranya bisa mandiri, ataupun berkomplot.

Di sanalah kita menyaksikan detik-detik akhir PKS, yang akhirnya lebih mennerjemahkan partai politik memang harus pragmatis. “Sayonara idealisme…”, desahnya dalam hati. Sungguh melecehkan umat. Tapi, itulah PKS kini yang memang telah berubah.

Untuk menampik tudingan miris, PKS perlu bersikap gantle: tanggalkan dirimu sebagai partai Islam. Nyatakan kepada publik secara meluas: PKS kini sama dengan partai-partai sekuler lainnya. Tak lagi sebagai partai dakwah. Okay? Clear khan? Tidak membingungkan umat. Agar tidak terjadi lagi pengkhianatan atau eksploitase itu.

Alam gelap PKS itu membuatnya tidak sadar atau lupa tentang demokrasi. Demokrasi yang ideal haruslah ada system of check and balances. Ketika PKS dan partai-partai lainnya dihimpun di satu gugus, maka hilanglah peran dan fungsi kontrol. Sebagai anggota koalisi, kecil kemungkinannya PKS akan melakukan perbedaan sikap dengan sang rezim (Prabowo). Dalam kultur Jawa, ada ewuh-pekewuh (sungkan, ga sampai hati).

Prabowo pun tampak gagal memahami dan mengimplementasikan prinsip demokrasi. Dalam pidatonya di hadapan keluarga besar Gerindra beberapa hari lalu, Prabowo menghendaki sistem pemerintahan yang kuat. Karenanya, harus menghimpun (mengkooptasi) seluruh partai. Agar tidak terjadi split of politics di lembaga legislatif.

Sungguh lucu. Konon, Prabowo sang demokrat sejati. Mengapa tidak memberikan opsi oposisi. Sikap politik ini tampak mengabaikan seuntai sejarah Orde Baru bahkan rezim Jokowi ini. Memang, pemerintahannya kuat. Tapi, sesungguhnya membangun bara dalam sekam.

Sejarah mencatat pula, Orde Baru pun akhirnya tumbang setelah sekitar tiga puluh lebih mencengkeram. Begitu juga, rezim Jokowi pun kini akhirnya berhadapan dengan kekuatan rakyat yang jengah dengan pencegkeramannya selama ini.

Semua itu karena memasung hak oposisi. Karena itu, PKS perlu meninjau kembali dari manuver politiknya yang telah menceburkan diri pada partai pragmatis. Sebuah sikap politik yang sejatinya melawan sunnatullah. Jika dipaksakan, maka – pada akhirnya – rezim Prabowo akan mengalami nasib seperti mantan mertuanya. Dan bagi PKS, pembalasan umat itu akan nyata: ramai-ramai meninggalkannya. Wallahu `alam.

Bekasi, 04 September 2024
Penulis: sang abal-abal. Maklum, keluar dari disiplin ilmu asalnya (Sastra Jurusan Arab).

photo: cnbc

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar