Oleh : Agus Wahid

Boleh jadi, Ridwan Kamil (RK) tak menyangka. Sangat terkejut. Itulah reaksi negatif sebagian besar masyarakat Jakarta atas kehadiran RK dalam panggung pilkada Jakarta. Bagaimana tidak? Sebagai calon gubernur yang dibanggakan Golkar itu harus mendapat resistensi masif banyak elemen masyarakat Jakarta. Suatu penolakan yang mengandung banyak makna.

Di antara maknanya adalah RK tampak memaksakan ambisinya untuk mencoba unjuk gigi di hadapan masyarakat Jakarta yang heterogen. Seperti adu keberuntungan. Ambisinya bisa dibaca dengan langkahnya masuk ke Golkar, bukan partai lainnya. Bahkan, langsung berada dalam jajaran elitis DPP Pohon Beringin itu.

Dengan posisinya yang mentereng itu, RK pun langsung mendapat kepercayaan sebagai kandidat untuk maju dalam pilkada Jakarta. Muncul pertanyaan mendasar, apakah DPP Golkar menjebak RK, atau sama-sama menjebakkan diri?

Sebuah ketidakmungkinan Golkar menggelincirkan kepentingan politik RK sebagai kader kesayangan. Juga, sebuah ketidakmungkinan RK menenggelamkan diri karir politiknya.

Namun, pertanyaan itu layak kita lontarkan sejalan dengan implikasi politiknya yang justru memburamkan masa depan politik RK. Jika tetap di Jabar, potensi kemenangan RK – di atas kertas – menang. Responsi publik Jabar pun tak diragukan. Masih banyak yang mengelu-elukan. Masyarakat Jabar tetap welcome dengan penuh antusias. “Seng ada lawan”, kata orang Medan.

Tapi, prospektus kemenangan RK di Jabar tidak bisa dijadikan banch mark untuk diterapkan di pilkada Jakarta. Kini, RK sudah dalam posisi terjebak. Mau mundur dari pilkada Jakarta tidak bisa. Sementara, di hadapannya – di tengah Jakarta – demikian kuat resistensinya. Karena itu, RK bisa dikatakan sebagai korban pemaksaan elitis Golkar, sekaligus ambisi pribadinya.

Memang, kehadiran RK dirancang sebagai kerangka menjegal Anies Baswedan. Karenanya, RK didorong kuat untuk maju di pilkada Jakarta. Skenarionya berhasil. Anies terjegal. Gagal maju dalam pilkada Jakarta pada 2024 ini. Skenario ini mencerminkan adanya komplotan elitis Golkar-Jokowi-oligarki.

Kita perlu mencatat, komplotan itu menunjukkan kebutaan mencermati arah politik warga Jakarta. Mereka masih sangat mengharapkan Anies untuk kembali memimpin Jakarta, bukan siapapun yang diendorce Golkar, apalagi oleh istana dan siap dibiayai kaum oligarki itu.

Keinginan politik warga Jakarta itulah yang mendorong mereka di berbagai wilayah di Jakarta ini menolak RK setiap menyambangi calon warga yang akan dipimpinnya. Penolakannya tidak sebatas basa-basi. Tapi, benar-benar “palang pintu” yang sangat emosional. Adu mulut dan tak bisa memasuki wilayah.

Penolakan warga Jakarta perlu kita baca sebagai sinyal negatif prospek perolehan suara RK yang bersanding dengan kader PKS, Dr. Ir. Suswono, sebagai calon wakil gubernurnya. Data faktual ini akan menjadi persoalan serius manakala pada 27 November nanti, ternyata pasangan RK meraih suara sigfnifikan, apalagi menang.

Data lapangan itu bisa dijadikan pijakan untuk menguji data perolehan suara signifikan itu. Adakah rekayasa angka seperti yang diterapkan pada pilpres 2024 kemarin? Setidaknya, adakah langkah “simsalabim” atas kertas suara yang “dicoblos semua atau golput” itu, lalu diganti ratusan atau ribuan kotak suara sah dengan mencoblos RK-Sus?

Tidak sulit bagi KPU untuk mengganti kertas suara sah. Semuanya bisa diatur dan dipersiapkan. Sepanjang istana masih cawe-cawe, tak ada yang susah, meski dengan cara-cara sangat kotor (dirty vote). Masalahnya, apakah PKS tetap terima dengan permainan kotor itu? PKS sudah terlanjur basah. Moralitas good bye. Forget it. Emang gue pikirin.

Kini, RK menyadari, pentas pilkada Jakarta demikian sadis. Boleh jadi, RK baru merasakan selama terjun di panggung politik. Yang harus dicatat, janganlah menilai sadis terhadap warga Jakarta yang menolak keras atas kehadiran RK. Tapi, telusuri dan pahamilah mengapa warga Jakarta menunjukkan sikap sadisnya.

Jika dipertanyakan secara introspektif, siapa yang lebih sadis di antara sikap warga Jakarta dibanding para penjegal Anies? Justru para aktor penjegal itu jauh lebih sadis kelakuannya. Sebab, tindakan itu bukan hanya menjegal diri Anies, tapi mengubur harapan warga Jakarta. Mereka dibayang-bayangi potret buram pasca Anies tak ikut serta dalam pilkada Jakarta 2024 ini.

Bagi Anies, kegagalannya maju ke pilkada Jakarta itu takdir. Tak perlu disesali. Namun, Anies sedih jika mengingat warga Jakarta yang demikian besar berharap. Harus kita catat, masa depan warga Jakarta yang suram dan apalagi kian menderita, hal ini harus dicatat sebagai dosa sangat besar bagi siapapun yang ikut menjegal Anies.

PKS, apalagi NasDem, PKB dan partai-partai lainnya dalam KIM haruslah mempertanggungjawabkannya kelak di hadapan Allah, jika masih beragama dan beriman. Setidaknya, di hadapan umat manusia Jakarta yang kini dalam bayang-bayang bahaya.

Berlebihankan bayang-bayang pahit itu? Memang. Sebab, RK sendiri menyatakan siap meninjau kembali proyek Reklamasi. Sikap politik RK ini memberi sinyal tentang terbangunnya kembali megeproyek Reklamasi Pantai Jakarta Utara. Jika hal ini teralisasi, maka masyarakat Kampung Aquarium akan terhalang pencaharian hidupnya sebagai nelayan tradisional. Masyarakat Kampun Bayam pun akan semakin terlunta karena tak bisa memasuki komplek hunian yang sudah dibangun pada zaman Anies.

Dampak bangunan Reklamasi Pantai Utara juga akan menghadang arus besar migrasi debit air ke laut. Maka, banjir akan kembali sering menggenangi berbagai wilayah Jakarta. Dan tentu, masih banyak dampak destruktif lainnya dari kemesraannya pro oligarki.

Itulah sebabnya, warga Jakarta menolak keras RK, termasuk pasangannya. Sebagai wakil gubernur, tak akan berfungsi, meski dalam pengaruh PKS. Jadi, janganlah menilai sadis atas resistensi warga Jakarta itu. Justru yang kita nilai, sungguh wajar warga Jakarta menolak keras calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memang akan mengubur harapan warga yang ingin hidup bahagia dan nyaman. Jangan diplintir logika berpikirnya.

Bekasi, 14 September 2024
Penulis: analis politik
Kans Jawara

Tinggalkan Komentar