Oleh Erwin Chairuman
Indonesia harus mulai membangun entrepreneurship untuk pribumi dari sedini mungkin. Hanya melalui pendidikan suatu bangsa akan makmur dan sejahtera, di samping tentunya beriman kepada Allah. Untuk membangun entrepreneurship harus dimulai dari pendidikan. Harus ada “know how” yang disiapkan sejak awal.
Sekarang ini unit usaha yang eksis di sektor swasta adalah UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), namun ini belum sepenuhnya didukung oleh pemerintah. Sangat sedikit UMKM yang mendapat kucuran kredit oleh perbankan atau bankable. Minim perhatian pemerintah terhadap UMKM yang mempekerjakan jutaan orang. Hanya janji-janji kosong belaka (lip service).
Dalam konteks Indonesia, permasalahan utama tidak atau belum munculnya entrepreneurs muslim bukan melulu disebabkan sebagaimana yang dipaparkan oleh Bapak Chairul Tanjung dalam kuliah singkatnya di Malaysia.
Ada kemiskinan sistematis (poverty marginalization) yang dirancang secara sadar atau tidak sadar oleh penguasa di negeri ini. Banyak politisi yang hanya menjanjikan berbagai macam janji waktu kampanye Pemilu dan Pilpres. Tapi dalam kenyataannya tidak direalisasikan sesuai janji politiknya pada waktu kampanye. Rakyat sudah kenyang dengan janji-janji manis semacam ini.
Para caleg atau capres setelah memenangkan kursi di DPR atau menang Pilpres, mereka otomatis lupa dengan janji-janji yg telah mereka ucapkan. Semuanya hanya tinggal “political will” saja tanpa ada “political action”. Para politisi kita terbelenggu dengan ketum partainya masing-masing karena ada constraints (rintangan) yang cukup besar dalam sistem perpolitikan kita.
Rintangan-rintangan tersebut antara lain:
1. Hak PAW (Pergantian Antar Waktu) menjadi momok bagi anggota dewan untuk menyuarakan aspirasi rakyat di DPR, karena PAW ini dapat berujung pada “pemecatan” anggota dewan yang bersangkutan jika suaranya berseberangan dengan garis suara partai yang ditentukan ketum partai.
2. Sistem Pemilu yang masih menganut sistem proporsional, dimana hanya caleg yang punya hubungan kekerabatan dengan ketum partai yang bisa dapat nomor wahid atau seberapa banyak dana yang bisa disumbangkan caleg tersebut ke kas partai, untuk digunakan kegiatan “money politics” yang nantinya akan dibagi-bagikan kepada konstituen atau pemilih.
3. Kita harus beralih dari sistem Pemilu proporsional ke sistem Pemilu distrik, dimana caleg harus berasal dari distrik yang diwakilinya. Masing-masing partai hanya boleh mengajukan satu orang caleg di distrik tersebut, yg sebelumnya telah dilakukan “by election” di internal partai tersebut.
4. Koalisi antar partai tidak dibuat permanen untuk 5 tahun ke depan (Pemilu atau Pilpres lima tahun yg akan datang), sehingga keberadaan oposisi menjadi sangat lemah di DPR. Banyak partai tergiur bergabung ke kabinet karena iming-iming kursi kabinet yang ditawari partai yang berkuasa.
5. Sudah tiba waktunya dengan adanya perkembangan tekonolgi komunikasi, kita beralih dari cara pencoblosan kertas suara ke cara e-Voting menggunakan HP atau telepon seluler. Ini akan menghemat dana Pemilu dan Pilpres secara signifikan. Yang lebih penting lagi hasil penghitungan suara akan sangat akurat dan jauh dari rekayasa.
Rintangan di atas harus ditiadakan agar kita bisa mendapatkan anggota-anggota DPR yang berkwalitas, mumpuni dan professional.
Saya sangat yakin dan percaya, jika rintangan-rintangan tersebut tidak ditiadakan atau tidak direformasi, maka akan selamanya kita akan bernegara seperti sekarang ini, dimana kemakmuran hanya bagi kelompok tertentu saja.
Yang sangat diperhatikan lagi adalah semangat pasal 33 UUD 45, dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, ini dalam realitanya diberikan kepada individu-individu atau orang per orang.
Seharusnya kekayaan alam kita menyumbang porsi terbesar dalam pendapatan APBN. Yang terjadi adalah sebaliknya, 82% berasal dari pajak. Kemana larinya kekayaan alam kita, kenyataannya diambil oleh asing, aseng serta para taipan dan konglo. Ini realita yang tidak bisa dibantah.
Dalam surah 28 Al-Qasas ayat 77 difirmankan sebagai berikut;
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَا بْتَغِ فِيْمَاۤ اٰتٰٮكَ اللّٰهُ الدَّا رَ الْاٰ خِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَ حْسِنْ كَمَاۤ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْـفَسَا دَ فِى الْاَ رْضِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
(QS. Al-Qasas 28: Ayat 77)
Berdasarkan ayat diatas saya sering sampaikan bahwa anak-anak kita, yang lulusan pesantren tidak hanya diajarkan tentang akhirat, yang mana itu utama, tapi harus diajarkan “entrepreneurship” berdagang atau berbisnis sejak awal di pesantren. Sehingga setelah lulus kelak mereka bisa mandiri dalam berusaha dan membuat inovasi-inovasi dan kreasi-kreasi produk dan jasa yang bisa diterima oleh pasar atau konsumen.
Pendidikan yang bertumpu pada “link and match” cukup relevan untuk kembali diterapkan dalam sistem pendidikan kita. Perlu direvisi sesuai dengan keadaan dan perkembangan zaman. Kita perlu mengejar ketertinggalan di bidang tekonologi. It’s a must.
Demikian sekilas pandangan saya tentang entrepreneurship yang akan kita songsong di depan kita. Paparan CT tersebut perlu ditindaklanjuti untuk membangun entrepreneurship muslim yang harus diwujudkan serius sejak dini.
Ini adalah tugas yang harus dilakukan Prabowo sebagai presiden untuk mewujudkan pendidikan yang baik melalui kebijakan yang mendorong agar kita menghasilkan insan-insan yang berkwalitas.
Semoga…
Jakarta, 3 Oktober 2024
Erwin Chairuman