Catatan Cak AT

Drama pembredelan atas karya Yos Suprapto ini adalah sebuah ironi pahit tentang bagaimana seni, yang seharusnya bebas, justru dipasung oleh ketakutan


Ironi tragis kembali hadir di panggung seni Indonesia yang tak pernah absen dari sandiwara. Kali ini, kisahnya milik Yos Suprapto, seniman kawakan asal Surabaya, yang karyanya dianggap terlalu “jujur” untuk selera kurator Galeri Nasional, yang kemudian mengambil keputusan tak masuk akal. Pemerintah, melalui kurator Galeri Nasional, memilih untuk lepas tangan.

Drama ini bermula dari pembatalan —atau dalam istilah pemerintah, penundaan— pameran tunggal sang pelukis yang bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan.” Pameran ini sejatinya telah siap digelar di Galeri Nasional Jakarta, dengan sederet lukisan yang mengundang refleksi mendalam.

Namun, lima karyanya dianggap terlalu vulgar, provokatif, dan berani untuk rezim yang, ironisnya, konon memperjuangkan kedaulatan pangan. Para pengunjung yang siap di lokasi pembukaan pameran harus kecewa, selain karena pintu Galeri Nasional digembok, juga karena Presiden Prabowo baru membentuk Kementerian Kebudayaan.

Mari kita mulai dari awal. Salah satu lukisan Yos menampilkan petani yang menuntun sapi ke istana. Kata Yon, metafora ini sederhana: makanan selalu mengalir ke pusat kekuasaan. Lukisan ini disebutnya sesuai dengan tajuk pameran soal kedaulatan pangan. Namun, karya ini dianggap “vulgar” oleh kurator, sehingga harus diturunkan dari galeri.

Betul, siapa pun dapat melihat lukisan ini secara gamblang hingga berkomentar, “Lukisan yang Jokowi banget.” Yos menyebut hewan yang dilukisnya sapi, padahal itu juga seperti banteng, apalagi warnanya merah yang memberi asosiasi pada PDIP, partai pengusung Jokowi dalam Pilpres yang mengantarkannya kembali ke Istana pada 2019.

Lukisan Yos berikutnya berjudul “Konoha I” juga menampilkan realisme yang memilukan. Ia menggambarkan seorang raja bermahkota Jawa yang menginjak rakyat kecil. Sang raja duduk di kursi kebesaran, telunjuknya diarahkan ke bawah, ke rakyat yang diinjak, sementara di belakangnya ribuan prajurit berdiri tegak mengokang senjata.

Menurut Yos, lukisan ini dibuatnya untuk menggambarkan metafora tentang kedaulatan pangan yang hanya menjadi dongeng manis penguasa, sementara rakyat kecil terus terinjak sistem. Namun, bagi kurator, lukisan ini dianggap terlalu “vulgar.” Bukankah seni seharusnya menyentuh nurani dan mengajak kita merenung? Ataukah di negeri ini, seni hanya diperbolehkan menyenangkan mata tanpa menyentuh hati?

Lukisan lanjutannya, “Konoha II,” menggambarkan budaya Asal Bapak Senang (ABS) secara harfiah. Figur-figur dalam lukisan ini saling menjilat pantat, dengan lidah-lidah yang menjulur panjang. Jilatan puncak ditujukan ke pantat sang raja yang dengan telanjang sedang bercumbu dengan pasangannya. Di latar belakang tampak kerangka bangunan Istana Garuda Ibu Kota Nusantara (IKN).

Dengan tegas, Yos menyebut budaya yang dilukiskannya ini sebagai cerminan hiperindividu yang melahirkan mentalitas penjilat. Namun, kurator merasa karya ini “terlalu eksplisit.” Eksplisit? Ataukah seni dilarang menelanjangi kenyataan yang menimpa rakyat di era Joko Widodo? Ketika itu, ia memaksakan pembangunan IKN ke para pejabat yang selalu menjilat?

Awalnya, kedua lukisan ini disepakati akan ditutup dengan kain hitam. Namun, akhirnya tetap diminta diturunkan.

Ada pula lukisan petani tanpa baju tampak menyuapi pria berdasi yang berbaring santai dengan baju warna biru. Kritik tajam Yos atas ketimpangan ekonomi ini menggambarkan bagaimana petani, sebagai tulang punggung ekonomi, justru lebih sering memberi makan penguasa, sementara diri mereka paling sedikit menikmati hasilnya.

Semula, karya ini tidak dipermasalahkan, karena lukisan hanya menampilkan gambar suap-menyuap. Namun, sesaat sebelum pameran dibuka, tiba-tiba kurator memutuskan karya ini “tidak relevan” dengan tema pameran. Tidak relevan? Bukankah “kedaulatan pangan” dimulai dari petani yang, di lukisan, tampil dengan caping di kepala?

Jika kurator menyebut alasan pembredelan seperti “vulgar,” “tidak relevan,” maka pihak Galeri Nasional berdalih bahwa pembatalan ini disebabkan “kendala teknis.” Padahal, publik yang cerdas tentu tahu bahwa ini hanyalah eufemisme bagi ketakutan pihak tertentu. Apakah seni yang berbicara terlalu lantang tentang realitas kini menjadi ancaman?

Yos Suprapto, lahir di Surabaya pada 1952, bukan nama baru di dunia seni Indonesia. Dengan gaya realisme simbolis yang khas, ia telah lama menjadikan kanvas sebagai medan perangnya. Lukisan-lukisannya, dari “Republik Udang” hingga “Bersatu dengan Alam,” adalah cermin tajam bagi masyarakat.

Namun, keberanian Yos kali ini berhadapan dengan tembok penyensoran yang lebih tebal dari cat di kanvasnya. Jika seni di negeri ini hanya boleh menyenangkan, enak dilihat tanpa menyinggung perasaan yang membentur realitas, apa kita harus membatasi lukisan pada bunga dan pemandangan. Tetapi, apa gunanya seni tanpa keberanian?

Syukurlah, Yos Suprapto tak bergeming. Seniman ini berani berdiri tegak melawan kekuasaan, meski harus dibungkam oleh narasi yang lebih mementingkan kenyamanan daripada kebenaran. Drama pembredelan atas karyanya ini adalah sebuah ironi pahit tentang bagaimana seni, yang seharusnya bebas, justru dipasung oleh ketakutan.

Dan seperti semua lelucon yang baik, lakon ini membawa kita pada pertanyaan mendasar: apakah seni di negeri ini masih menjadi suara kritis, ataukah ia telah terdegradasi menjadi sekadar pajangan aman bagi para elite? Meskipun Jokowi, yang kini tak lagi berkuasa, telah menjadi subjek kritiknya? Jawabannya, sayangnya, terkunci rapat di balik pintu Galeri Nasional.

Ketika melihat drama pembredelan ini, kita mempertanyakan ke mana sebenarnya arah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Baru saja ia membentuk Kementerian Kebudayaan, sebuah langkah yang seharusnya membawa angin segar bagi dunia seni dan kebebasan berekspresi, tapi malah melakukan penggembokan.

Kementerian Kebudayaan yang baru lahir mestinya melihat ini sebagai kesempatan emas untuk menunjukkan performa berkebudayaan yang transparan, membuka diskusi, dan mendukung seni sebagai medium refleksi sosial. Namun, justru kasus pembredelan seperti ini —yang mencederai kebebasan berekspresi— menciptakan paradoks terhadap semangat yang katanya ingin dibangun pemerintah.

Bukannya memberangus karya tersebut, sebaiknya Presiden Prabowo memanfaatkan pameran lukisan yang langka ini sebagai momentum untuk menunjukkan bahwa pemerintahannya berbeda: fokus pada perbaikan nyata seperti penyediaan makanan bergizi, kemandirian pangan, dan pemberantasan korupsi.

Lebih jauh lagi, karya Yos Suprapto sebenarnya lebih banyak mengkritik pemerintahan sebelumnya, Presiden Joko Widodo, yang dianggap gagal mengurus program kedaulatan pangan, serta penggunaan PDIP sebagai kendaraan politiknya. Seni semacam ini, alih-alih dipandang sebagai ancaman, seharusnya dilihat sebagai pengingat untuk tetap berada di jalur yang benar dalam mengelola bangsa dan negara.

Cak AT Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 21/12/2024

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar