Oleh : Nirina Ayudya Rahmadanty

Bila mendengar sebuah kata ‘rezeki’, kira-kira apa yang akan terlintas di dalam benak?

Sejumlah uang yang bernilai? Selembar baju berkain sutra? Atau mungkin barang-barang lain yang tiba-tiba datang tanpa dikira tak akan mampu sampai pada kedua tangan kita?

Terkadang, hanya untuk memahami artian dari satu kata itu membuat mata kita tak sengaja berdusta. Rezeki seringkali hanya dianggap sebagai hasil dari ilusi yang tampak pada indra. Padahal wujudnya begitu luas, tetapi kesalahpahaman yang membuat artinya menjadi sempit. Sesekali, ketika akhirnya kita bisa merenungkan tentang keberedaan rezeki dalam kehidupan kita, niscaya kita tidak akan pernah selesai menghitungnya satu persatu. Rezeki telah dimulai ketika kita semua diciptakan.

Sama halnya yang dijelaskan dalam Al-Qur’an yang mana mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi ini. Adanya manusia ialah untuk beribadah kepada Rabb-nya, serta menjalankan amanah untuk memelihara segala isi bumi termasuk sesama mahluk hidup. Itu artinya, bahkan penciptaan kita tidak terlepas tujuannya dari memberi rezeki kepada segala hal di sekitar kita. Rezeki juga ketika kita dapat tertidur dan terbangun lagi di kemudian hari. Rezeki mencakup kesehatan, akal untuk berpikir, keturunan yang beriman, rasa takut dari maksiat, dan masih banyak lagi.

Terdapat sebuah cerita nyata yang saya lalui dalam memahami makna akan rezeki. Saya seringkali menganggap itu terdengar lucu ketika mengingatnya, tetapi terselip pembelajaran yang baru saja saya pahami. Pada suatu bulan, saya tengah berada di Masjid Nabawi yang terletak di Kota Madinah. Sebuah tempat yang belum pernah terlintas akan mengizinkan saya menghampirinya pada usia remaja. Di hari itu sedang turun hujan, dan cuaca sebelum matahari terbit menjadi tidak begitu dingin seperti biasanya. Saya pikir itu adalah salah satu karunia Allah SWT untuk membiarkan hambanya agar tidak kedinginan menjalankan ibadah ketika hujan di waktu musim dingin Arab Saudi.

Saya, ibu, dan bibi memang sengaja untuk datang lebih awal agar kami dapat melaksanakan salat subuh berjamaah di dalam masjid yang terasa hangat. Kami merapikan sandal kami pada rak besar yang telah disediakan di dekat pintu masuk. Sandal saya berada sendirian di dalam salah satu ruang kosong pada rak itu. Lalu, sandal ibu saya diletakkan persis di bawah sandal bibi yang menimpanya dan dijadikan dalam satu ruang lainnya di samping milik saya. Saya mengingat bahwa ketika itu kami berkenalan dengan salah satu anak dari Pakistan yang juga tengah menunggu waktu salat subuh dengan sendirian, kami banyak mengobrol dan bertukar cerita.

Hingga akhirnya waktu salat tiba, dan hari masih terus menurunkan hujan. Itu adalah kali pertama saya melihat karpet-karpet tebal yang biasanya membentang pada pelataran Masjid Nabawi hampir seluruhnya digulung. Akan tetapi, sesuatu terjadi ketika kami hendak pulang menuju penginapan. Sandal milik ibu saya menghilang. Bagian yang mengherankannya adalah, mengapa yang hilang justru bukan sandal milik bibi saya yang dimana letaknya menimpa sandal milik ibu saya di bawahnya? Penasaran dengan sandal saya? Alhamdulillah aman. Kami mencari ke berbagai rak lainnya dan tetap tidak membuahkan hasil.

“Wah! Mungkin sandalku hilang karena kemarin bapakmu ada lihat sandal serupa yang bagus di toko sana dan nawarin untuk beli.” Kata ibu yang masih sempat bercanda di antara kenyataan bahwa sebenarnya beliau sedikit cemas karena sandal andalannya hilang.

Ada beberapa orang yang menghampiri kami dan menyarankan untuk mengecek salah satu rak di mana banyak jamaah yang menemukan sandalnya yang hilang di sana. Saya masih belum menyerah untuk mencari sandal ibu. Namun setelah memakan beberapa waktu, kami masih belum bisa menemukannya. Akhirnya ibu menghentikan saya untuk mencari sandalnya sambil berkata, “Sudah tidak apa-apa, kalau memang rezekiku pasti akan kembali.”

Di pagi hari yang penuh genangan air itu, ibu saya pulang ke penginapan tanpa beralas kaki. Sesampainya di penginapan, kami terus mengherankan kejadian itu. Namun tanpa kecemasan, ibu saya lebih berlapang dada untuk ikhlas. Bapak saya yang mendengar itu hanya tertawa keheranan dan sudah mengatur rencana untuk mencarikan sandal baru. Sifat ikhlas yang dimiliki ibu adalah salah satu hal yang paling saya kagumi.

Ketika waktu dzuhur tiba, sebetulnya keheranan kami belum menghilang sepenuhnya. Saya, ibu, dan bibi kembali ke Masjid Nabawi lebih awal agar mendapatkan saf salat dzuhur di dalam masjid. Pada bulan itu, beberapa tempat salat untuk perempuan memang tengah direnovasi. Sehingga perlu usaha yang lebih untuk mendapatkan tempat salat di dalam masjid yang tidak seluas milik laki-laki. Kondisi di dalam masjid belum begitu ramai. Kami memilih salah satu tempat yang beralaskan karpet tebal sembari mengambil air Zamzam yang berlimpah di sana. Di sisi lain, tiba-tiba bibi saya mengusulkan duluan untuk berpindah tempat salat yang terletak agak kedepan. Kami pun berpindah.

Setelah sesampainya di tempat yang baru, kami justru memilih untuk berpindah lebih depan lagi. Entahlah mengapa kami berpindah-pindah, tapi jika mengingatnya sekarang, itu semua terasa seperti sebuah petunjuk. Berbeda dengan ketika salat subuh tadi, sekarang kami memilih untuk mengantongi sandal kami dalam satu wadah untuk diletakkan pada rak kecil sandal yang juga disediakan pada bagian dalam masjid. Pengalaman membuat kami menjadi lebih berhati-hati menjaga barang.

Tiba di tempat salat yang menjadi pilihan terakhir, ibu memerintahkan saya untuk meletakkan kantong sandal kami pada sebuah rak kecil yang terletak tidak jauh dari berdirinya saya. Tahukah apa yang saya temukan? Ya! Saya menemukan sandal ibu yang tadi hilang sudah berada di sana! Kami hanya tertawa bersama, dan rupanya sandal itu memanglah rezeki ibu saya.

Dari cerita ini, betapa mendalamnya arti dari sebuah rezeki. Allah SWT maha tahu apa yang dibutuhkan oleh hambanya daripada hamba itu sendiri. Segala hal yang baik akan didekatkan, dan yang buruk pastilah dijauhkan dengan cara-Nya. Namun memahami cara-Nya lah yang menjadi tantangan untuk terus bersabar.

Menurut saya, rezeki juga berdasarkan dari buah pikiran kita. Saya pernah membatin di dalam hati ketika sedang memakan makanan katering dari salah satu penginapan di Tanah Suci, saat itu saya berharap agar dapat mencicipi bakso paling tidak kuahnya saja. Dan yap! Beberapa hari setelah itu saya benar-benar mendapatkan sisa kuah dari menu bakso yang tersedia di penginapan karena datang lebih telat dari biasanya ketika menuju tempat makan.

Semoga kita semua dapat merenungi makna luar biasa dari rezeki yang ditujukan kepada kita. Selain itu, mari bersama-sama mencoba untuk senantiasa berprasangka baik dengan rencana Allah SWT kepada hambanya. Terus berprasangka sebaik-baiknya agar cerita seperti kuah bakso tadi tidak terulang kembali!

Syukron jazakumullahu khairan katsiron!

Advertisement

Tinggalkan Komentar